Di bawah langit yang mendung, hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan irama monoton yang memecah keheningan sore itu. Desir angin membawa aroma tanah basah ke dalam kamar, di mana Nia duduk merenung di atas ranjang. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menembus tirai kelabu yang membayangi kenangan yang terus menghantuinya.
Nia, seorang wanita muda berusia 28 tahun, baru saja kehilangan ibunya, Bu Sri, dua minggu yang lalu. Kematian itu datang begitu tiba-tiba, seperti tamparan dingin di tengah kehangatan. Bu Sri adalah segalanya bagi Nia; dia bukan hanya ibu, tapi juga sahabat, penasehat, dan pelindung. Ketika Bu Sri meninggal, dunia Nia runtuh. Rasanya, separuh jiwanya ikut terkubur bersama ibu yang disayanginya.
Meski begitu, bukan rasa kehilangan yang membekukan hati Nia, melainkan rasa bersalah yang menggerogoti setiap sudut jiwanya. Malam itu, sebelum Bu Sri meninggal, mereka sempat bertengkar hebat. "Kenapa Ibu tidak pernah mau mendengarkan aku? Aku juga punya hak atas hidupku!" bentak Nia, suaranya pecah karena amarah dan frustasi.
Bu Sri hanya diam, menatap putrinya dengan tatapan yang begitu dalam, seolah mencoba menembus amarah yang menyelubungi hati Nia. "Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, Nia. Ibu ingin kamu bahagia."
Namun, Nia tak mau mendengarnya. Dengan emosi yang meledak-ledak, dia meninggalkan rumah, membanting pintu di belakangnya. Pagi harinya, Bu Sri ditemukan terkulai di atas lantai dapur, nyawanya tak lagi tertolong.
Kenyataan bahwa itu adalah pertemuan terakhir mereka menghancurkan Nia. Setiap malam, dia terjaga, dihantui oleh bayangan wajah ibunya, suara lembut yang memanggil namanya, dan penyesalan yang tak pernah bisa ia hapus.
***
Suara bel pintu yang tiba-tiba berbunyi membuyarkan lamunan Nia. Dengan langkah gontai, dia menuju pintu depan dan membukanya. Di sana, berdiri seorang pria paruh baya dengan setelan hitam. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Pak Heru, seorang pengacara yang ditunjuk untuk menangani warisan peninggalan Bu Sri.
"Kami menemukan beberapa barang pribadi yang perlu Anda lihat," kata Pak Heru dengan suara tenang namun tegas.
Nia mengangguk lemah, mempersilakan pria itu masuk ke dalam rumah yang kini terasa begitu sepi dan dingin. Pak Heru menyerahkan sebuah kotak kayu kecil yang terlihat usang kepada Nia.