Mohon tunggu...
Febyana Suryaningrum
Febyana Suryaningrum Mohon Tunggu... -

pengejar bintang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ich bin fünf!!!

10 Maret 2012   03:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:16 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat awal bertempat tinggal di Jerman , yang terasa berbeda adalah kesunyian.Di mana-mana sebegitu sunyi,di bus,di trem, di kereta,bahkan di jalan dan pasar swalayan.Apa karena suhu yang dingin,ya?Sampai-sampai tak terdengar suara bayi. Maklum, saat itu pertengahan musim dingin. Tidak terdengar rengekan apalagi tangisan bayi ataupun anak-anak, di manapun.

Memasuki musim panas, mulai terdengar suara riang anak-anak yang bermain di taman-taman kota. Tapi, tetap saja tak pernah terdengar anak-anak yang menangis apalagi menjerit-jerit. Beberapa teman dari Amerika Latin bercanda, bahwa anak-anak di Jerman pasti di otaknya sudah ditanam microchip sehingga mereka bisa sebegitu tenangnya,bahkan ketika bermain.

Satu yang mengesankan adalah ketika suatu kali kami berbelanja di Toys r Us, sebuah toko mainan anak yang besar. Seorang anak berusia sekitar 3 tahun, berjalan menuju mamanya dengan membawa sebuah mainan yang masih terbungkus dalam kemasan. Si anak bertanya pada mamanya apakah boleh membeli mainan tersebut. Mamanya memeriksa label harga yang tertempel dan bertanya kembali pada si anak berapa harga mainan tersebut. Harga mainan tersebut sekitar 20 Euro, harga yang cukup mahal. Mamanya mengingatkan bahwa mereka telah sepakat bahwa hari itu sang Mama akan membelikan mainan seharga 10 Euro dan menanyakan kembali komitmen anaknya. Anaknya mengangguk dan kembali mencari mainan berharga sekitar 10 Euro.

Ketika seorang profesor mengajak kami berpiknik di sebuah taman kota, beliau membawa anaknya yang berusia 5 tahun. Kami berdebat menentukan tempat yang tepat untuk meletakkan barang-barang sementara kami berenang di danau yang terletak di tengah taman. Putri kecil profesor berkeras dengan usulannya. Seorang teman setengah bercanda menyeletuk , ” Anak kecil, jangan ikut ribut,ya “. Karuan si gadis kecil berseru dengan lantang, “Ich bin fünf (Saya sudah lima tahun)! Kenapa saya tidak boleh ikut berpendapat?”

Wah, ternyata di negara tersebut anak-anak diperlakukan sebagai “manusia” sejak usia yang sangat dini. Mereka berani berpendapat dan ikut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.Tentu saja, ke”manusia”an anak-anak Jerman bukan merupakan hal yang otomatis diperoleh ketika anak-anak itu lahir.Isu adanya “microchip” tentu saja tidak benar.Karena penasaran, maka seringkali saya membandingkan pola asuh anak Jerman dengan Indonesia.

Salah satu contoh yang jelas terlihat adalah, bahwa anak-anak di Jerman tidak dibiasakan untuk di”gendong”.Bahkan karena adanya beberapa teori “trauma goncangan”, maka anak-anak di sana tidak terbiasa untuk diayun-ayunkan sebelum tidur. Masalah gendong menggendong, juga tidak pernah dibiasakan.Beberapa teman saya mengatakan bahwa polisi akan memperingatkan ibu-ibu yang membawa anak/bayinya tanpa membawa stroller / kereta bayi. Si ibu hanya menggendong si bayi sesekali jika keadaan memaksa (misal, memeriksa kondisi si anak, memindahkan stroller untuk diangkat naik tangga, dll). Secara umum, hampir semua fasilitas transportasi menyediakan ruang bagi stroller, baik dalam bis, kereta bawah tanah (U-Bahn) dan kereta atas tanah (S-Bahn). Jamak untuk dilihat bahwa si ibu mendorong stroller yang berisi bayi dengan anak batita atau balitanya tertatih-tatih berjalan di sampingnya, sementara si ibu menggendong tas atau ransel besar berisi laptop atau dokumen pekerjaan. Berbeda dengan di Indonesia, di mana si ibu pasti membawa pembantu yang menggendong si bayi, dan si ibu atau bapak menggendong si anak batita atau balita.Belum lagi, Jerman, di dalam bis dan kereta disediakan tempat duduk 1,5 atau tempat duduk untuk seorang ibu dan seorang anaknya yang ukurannya 1,5 tempat duduk normal, untuk memberi ruang bagi si Ibu agar tidak harus me"mangku" si anak. Beda dengan Indonesia di mana meskipun si anak tidak harus membayar penuh atau malah gratis, namun harus tetap dipangku oleh si ibu atau Mbak Babysitter nya; di mana membuat si anak merasa sebagai "bagian" dari orang dewasa, bukan seorang individu tersendiri yang memiliki hak yang "hampir" setara dengan orang dewasa; pun dengan kewajiban yang sama (harus membuang sampah di tempatnya, harus menghormati hak orang lain, dan macam-macam hak-kewajiban kecil yang sudah harus dipenuhi oleh anak-anak kecil di Jerman).

Beberapa kali dimintai tolong membantu Profesor saya dalam menjaga bayi,maka terlihat perbedaan yang sangat jelas antara bayi Indonesia dan Jerman. Bayi-bayi di Jerman tidak dibiasakan untuk diangkat dari tempat tidurnya/strollernya dalam rengekan kedua atau bahkan tangisan. Si ibu membiasakan si bayi bahwa tangisan tidak akan membuat si ibu datang dan menggendong si bayi. Bukan berarti bahwa ibu-ibu Jerman tidak memiliki perasaan. Dengan sistematis, para ibu membiasakan mengganti popok si bayi setiap 4 jam sekali (kecuali malam, dipakaikan popok yang tahan hingga 8 jam), memberi makan/menyusui si bayi setiap 2 jam sekali (mayoritas Ibu Jerman memberikan ASI ekslusif hingga anak berusia 2 tahun!), dan menidurkan si bayi di jam yang sama setiap harinya. Karenanya, bayi-bayi di sana tidak terbiasa untuk menangis. Kalau sampai mereka menangis, maka si ibu akan tahu bahwa terjadi kondisi yang darurat, misalnya si anak merasa sakit atau terancam.

Salah satu teman Indonesia saya sangat keberatan dengan system Jerman yang mendisiplinkan anak bahkan sejak bayi tersebut. Menurutnya, si anak akan merasa kesepian.Oleh karena itu,teman saya ini selalu menggendong bayinya, membuainya dan tidak membiarkan si anak kehilangan wajah si ibu dalam waktu lama. Tentu saja saya mendukung teman saya yang tidak membiarkan si bayi kesepian.Tapi, sekali lagi, ibu-ibu di Jerman bukannya tidak memiliki perasaan. Tapi kenyataannya, hidup di Jerman membuat para ibu (dan juga semua orang) harus terbiasa hidup mandiri. Di sana tidak ada pembantu atau nenek dan kakek yang akan membantu si ibu dalam merawat bayinya. Kenyataan bahwa pemerintah federal memberikan cuti hingga 3 tahun bagi ibu melahirkan serta adanya tunjangan elterngeld (tunjangan orang tua) dan kindergeld (tunjangan anak) sebagai support bagi ibu dalam membesarkan anak, tidak mengurangi beban seorang ibu hingga setengahnya. Bagi saya, justru ibu dan bapak di Jerman adalah contoh orang tua yang dekat dengan anak,penyayang,perhatian dan selalu memiliki waktu dengan keluarga.

Kembali lagi dengan pola asuh yang berbeda dengan Indonesia. Beratnya beban si ibu di Jerman untuk membersihkan rumah, berbelanja, memasak dan bekerja; sementara juga harus berbagi peran mengasuh anak dengan suami; membuat keluarga Jerman mengembangkan system asuh kemandirian sebagaimana saya contohkan di atas. Si anak dibiasakan untuk bermain sendiri meski dalam jangkauan pengawasan orang tua; sementara si ibu dan bapak bekerja di dekatnya. Ketidakadaan pembantu atau babysitter (yang di Indonesia diterjemahkan sebagai ibu angkat si anak karena menemani si anak lebih banyak daripada orang tuanya), menjadikan orang tua berinteraksi lebih banyak dengan si anak. Si anak pun sudah terbiasa untuk mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya, misalnya terbiasa membereskan kamar sendiri, menyimpan mainan-mainannya serta mendiskusikan kebutuhannya secara terbuka dengan orang tuanya.

Di masa depan, maka kemandirian yang dipupuk sejak bayi ini memiliki imbas yang sangat besar bagi perilaku anak. Seperti saya contohkan di paragraph-paragraf awal, anak-anak di jerman tidak terbiasa untuk merengek atau merajuk di jalanan atau di toko mainan. Adanya kultur diskusi membuat mereka mengatakan secara terbuka keinginan mereka, dengan didasari oleh data dan fakta penguat; jadi tidak asal meminta atau berpendapat. Belum lagi kalau membicarakan kultur makan di jerman di mana anak-anak tidak terbiasa jajan dan bisa dididik untuk makan makanan sehat di waktu-waktu makan (!) Rasanya terlalu hebat kalau dibandingkan dengan anak-anak Indonesia yang selalu saya temukan merengek-rengek di jalan meminta ini itu dari orang tuanya atau berguling-guling di sembarang tempat ketika keinginannya tidak dipenuhi.Seperti monster saja! Bagi banyak ibu Indonesia tentulah anak-anak di Jerman seperti robot atau justru malaikat. Mereka berjalan atau duduk tenang-tenang di samping orangtuanya yang membaca buku di kereta. Atau bermain sendiri dan sibuk mengamati jalan. Atau kalaupun orang tuanya sedang sempat untuk menemani si anak, maka orang tua dan anak akan terlibat dalam percakapan yang tenang dan ngasyikkan,tanpa teriakan dan tangisan seperti di Indonesia.

Bukan berarti semua pola asuh Jerman memberikan kebaikan.Tentu ada banyak hal yang tidak saya setujui secara pribadi.Tapi,tetap,untuk urusan pendidikan kemandirian, saya salut. Selalu.

13313494492136769427
13313494492136769427

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun