Jauh di tahun 1919, setelah Perang Dunia 1, Mesir menuntut kemerdekaannya dari Inggris yang telah menjajah Negara tersebut sejak 1882. Pemimpin partai nasional saat itu, Saad Zaglul, yang berencana memimpin delegasi ke konferensi Versailles, ditangkap dan dipenjarakan. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial menunjuk Youssef Wahba, seorang Koptik, untuk menjadi perdana menteri pertama dengan tujuan memecah belah persatuan antara umat Islam dan Koptik. Pengangkatan Wahba saat itu justru membuat kedua umat turun ke jalan dan melakukan demonstrasi massif melawan kolonialisme Inggris dengan slogan “Egypt for Egyptians”.
Awal Januari 2011, ketika gerakan melawan diktator mulai bergerak di Timur Tengah, terjadi pengeboman gereja Koptik di Alexandria, Mesir , tepat pada tahun baru Koptik. Disulut dengan isu pembunuhan seorang muslim oleh seorang Kristen Koptik yang notabene merupakan permasalahan pribadi, bukan agama; isu pengeboman itu sempat dikhawatirkan akan menjadi pangkal perang antar agama di Mesir saat itu. Beberapa hari kemudian, pecah Revolusi Mesir yang secara sistematis digerakkan oleh sebuah organisasi Islam terbesar dunia. Di awal revolusi, pihak pemerintah menyusupkan kelompok pro Mubarak yang mengaku sebagai Kristen Koptik yang selalu ditindas oleh mayoritas muslim dan selama ini dilindungi oleh Mubarak. Namun, insiden pengeboman maupun penyusupan isu minoritas tersebut gagal memecah belah kedua kelompok agama tersebut, justru membuat kedua kelompok bersatu padu dalam perlawanan meruntuhkan rezim mantan presiden Husni Mubarak. Dalam ilustrasi yang banyak digambarkan, para penganut Koptik menjadi tameng yang mengelilingi para demonstran muslim saat pecah kekerasan antara demonstran dengan pihak militer.
Kini, menjelang pemilihan umum nasional Mesir dan di tengah isu masyarakat yang menolak perpanjangan masa pemerintahan sementara militer, tiba-tiba muncul kisah Maspero di Mesir. Dimulai dengan serangan terhadap gereja dan beberapa bangunan milik kaum Kristen Koptik di Aswan, terjadilah unjuk rasa besar besaran yang diakhiri dengan pertumpahan darah akibat bentrokan antara pengunjuk rasa dan militer. Hingga 10 Oktober, dinyatakan 25 orang meninggal dan ratusan yang lain luka-luka. Harian-harian asing memberitakan bahwa kerusuhan ini adalah “kerusuhan religius” seperti yang “selalu” terjadi selama ini di Mesir. Menyulut bara api, di jaringan-jaringan social seperti Facebook, Twitter, Tumblr dan berbagai blog, banyak yang memberitakan bahwa pelaku perusakan gereja minggu lalu adalah kelompok muslim fundamentalis dan bentrokan yang terjadi pada tanggal 9 Oktober terjadi antara kelompok Islam dan Koptik. Pernyataan Menteri Informasi, Osama Haikal, semakin memperuncing situasi dengan menyebutkan bahwa demonstran Koptik memicu kekerasan dengan menyerang polisi terlebih dahulu. Kenyataannya, menurut harian local Al Masry al Youm berdasarkan keterangan para saksi mata, yang terjadi adalah serangan militer dengan amunisi lengkap terhadap ribuan protestan yang tidak hanya Koptik melainkan juga Muslim. Secara terbuka, Al Masry , menunjuk pada pemerintahan transisi, menyatakan bahwa kerusuhan ini “bukan sektarian, bukan religius, namun refleksi dari kegagalan mengelola krisis yang pada akhirnya menuju penggunaan kekerasan yang melebihi batas terhadap masyarakat yang damai”.
Banyak pengamat menyepakati bahwa yang sebenarnya terjadi di Mesir adalah State Terrorism atau Terorisme Negara dengan pelaku teror adalah negara. Seperti dikemukakan oleh Raymond Aron (1966) :”Setiap aksi kekerasan yang efek psikologisnya melebihi proporsi efek fisiknya disebut terorisme.” Pemerintah sebagai sebuah regyme, memerlukan tindakan-tindakan untuk mempertahankan atau menunjukkan kekuasaannya terhadap masyarakat. Meskipun kekuatan tersebut pada awalnya dimaksudkan sebagai penegakan hukum untuk menimbulkan kekerasan dan ketakutan dengan tujuan melindungi hak masyarakat yang lebih luas, namun di banyak negara kekuasaan tersebut justru disalahgunakan sebagai legitimasi kekerasan yang cenderung kepada kriminalitas pemerintah.
Dalam buku State Terrorism And Political Identity In Indonesia, Ariel Heryanto menyatakan bahwa state terrorism sebagai tindakan yang dinamis, bergerak untuk mengamankan kepentingan politik pada tataran social yang variatif. Tujuan utamanya adalah menanamkan kesadaran akan adanya kekuasaan pada masyarakat secara latent. Dengan jenis hantaman yang jarang dan berjangka pendek, state terrorism diharapkan cukup dramatis dengan efek yang konstan dan berjangka.
Ironisnya, setiap kali pemerintah melalukan aksi teror yang selama ini selalu dilakukan dengan menyulut isu sensitive antar sekte atau antar agama, namun dalam kasus Mesir justru terjadi hal yang sebaliknya. Meski sempat membuat suasana sosial memanas dan meruncing menuju perselisihan sipil, namun setiap aksi pemecahbelahan oleh pemerintah Mesir selalu berakhir dengan semakin masifnya persekutuan masyarakat antar agama dalam melakukan perlawanan terhadap regyme pemerintah (dalam hal ini kubu Mubarak).
Sangat disayangkan bahwa di Indonesia,Ariel Heryanto menyatakan bahwa state terror diindikasikan berperan penting dalam “uncontrollable series of inter-religious and inter-ethnic killings between 1990 dan 2000.” Masyarakat yang menghasung toleransi dalam kehidupan social, dinilai mudah terpancingdalam setiap isu kekerasan yang dibumbui isu perbedaan agama atau etnis. Dalam hal ini, pemerintah dapat diartikan berhasil untuk menanamkan efek dramatis yang mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu penyimpangan pemerintah. Setiap kali ada isu korupsi atau penyelewengan dana di lingkaran pejabat negara, maka akan ada isu kriminalitas atau kekerasan yang memilukan. Dikaitkan dengan jangka waktunya yang berbarengan dengan proses pengusutan korupsi-korupsi kelas atas, bukankah terlalu kebetulan jika tidak bisa dikatakan sebagai “state terrorism”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H