Bedak ku tabur di telapak tanganku. "Sini-sini!" seruku, kemudian ku lapkan bedak itu di pipi Key sambil tertawa menggoda.
"Ayo, main lagi!?" imbuh Key penuh semangat.
"Tak," bunyi kartu terakhir yang dilempar Key ke meja. Senyumnya begitu lebar, menunjukkan kepuasannya memenangkan permainan.
"Kasih-kasih aja itu," kataku meremehkan, sambil tertawa geli. Aku pura-pura tidak terima, tapi sebenarnya senang melihat Key bahagia.
"Kan kalah lagi!" seruku dengan nada menggoda, sementara bedak putih di tanganku siap mendarat di wajahnya. Key menutup wajahnya, berusaha menghindar, tapi takdir berkata lain. Bedak itu mendarat dengan sempurna di pipinya, membuatku tertawa terbahak-bahak.
Namun, tiba-tiba Key berdiri dan tanpa berkata apa-apa, langkah kakinya begitu cepat hingga ia sudah tidak terlihat lagi di hadapanku. Candaanku sepertinya membuatnya begitu kesal.
Aku berdiri dan mengejarnya. Key tidak ada di depan rumah. "Waduh..." gumamku panik. Ku berlari menuju halte bus di depan gang, berpikir mungkin Key akan kembali ke kostnya. Namun, setibanya di halte bus, Key tak terlihat.
"Huff," aku menghela napas, merasa bersalah telah membuat orang yang kusayangi sedih dan marah. Aku tak bisa menghubungi Key karena HP-ku sedang rusak, membuatku semakin cemas dan menyesal.
Dengan hati yang gundah, kuputuskan untuk kembali. 'Nanti begitu sampai di rumah, kan ku pinjam HP adikku untuk mencoba menghubungi Key,' pikirku.
Saat melewati sebuah toko boneka di seberang jalan, aku melihat Key keluar dari sana. Aku mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik tiang halte bus. Kedua tanganku mengatup di sekitar mulut, lalu aku berteriak sekeras-kerasnya, "Nona Besar dari mana!"
Key terkejut, mencari sumber suara yang familiar di telinganya. Ketika melihatku keluar dari persembunyian dengan senyum di wajah, Key tersenyum lega.