Dalam memahami pernikahan antara wanita muslimah dan pria non muslim, para ulama sepakat bahwa hukumnya haram, namun pernikahan pria muslim dengan wanita non muslim berbeda, karena perbedaan penafsiran ayat-ayat dalam al-qur an. Telah terbentuk tiga pendapat di kalangan ulama yang menafsirkan ayat di atas, yaitu tentang laki-laki muslim yang menikah dengan wanita Ahli Kitab. Â
Pendapat pertama adalah laki-laki muslim dilarang menikahi wanita Ahli Kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah bin Umar dengan menggunakan tafsir surat al-Baqarah ayat 221 yang menyatakan bahwa istri-istri Ahli Kitab termasuk kaum musyrik di kalangan Nasrani dan Yahudi karena menyembah Isa bin Maryam dan Uzer. Jadi, mereka tidak halal dinikahi karena orang musyrik haram dinikahi.Â
Pendapat kedua dikemukakan oleh Atha' bin Rabbah. Beliau menjelaskan bahwa menikah dengan Ahli Kitab adalah rukhsah karena saat itu wanita muslimah sangat sedikit. Sedangkan saat ini sudah banyak wanita muslimah, sehingga tidak perlu lagi menikah dengan wanita ahli kitab dan otomatis rukhsah menikahinya hilang, termasuk ahli kitab. Pendapat ketiga diberikan oleh mayoritas ulama yang membolehkan perkawinan dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan Firman Allah dalam Surat al-Ma'idah ayat 5, sedangkan Ahli Kitab adalah wanita Yahudi dan orang Kristen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dua pendapat tentang penyelenggaraan perkawinan beda agama di Indonesia. Pertama, UU Perkawinan Beda Agama tidak boleh dan dilarang karena merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Agama yang Diakui di Indonesia, seperti Islam, Katolik, dan Hindu.
Sedangkan dalam Buddhisme dan Konfusianisme, penerapannya tidak dilarang. Kedua, UU Perkawinan Beda Agama di Indonesia dapat dilaksanakan karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengubah UU Nomor 1 Tahun 1974, tidak secara khusus mengatur perkawinan beda agama di Indonesia, sehingga terjadi kekosongan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Undang-undang perkawinan secara relatif jelas menolak kebolehan menikah antara orang yang berbeda agama, karena dianggap sah jika mempelai tunduk pada undang-undang yang tidak melarang perkawinan dalam agamanya bukan berarti bebas dari masalah. Sebaliknya ia mengundang berbagai penafsiran terhadap ketentuan itu. Pertama, penafsiran bahwa perkawinan beda agama melanggar Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menurutnya perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Penjelasan undang-undang tersebut menegaskan bahwa susunan kata Pasal 2(1) tidak mencakup perkawinan di luar hukum agama atau kepercayaan apapun.
Kedua, Perkawinan beda agama sama sekali tidak ada dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 masalah perkawinan beda agama dalam tatanan perkawinan campuran dapat dirujuk karena tidak diatur dalam undang-undang perkawinan.
KESIMPULAN
Agama-agama yang berkembang dan diterima oleh masyarakat Indonesia selain Islam ada Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Khonghucu dapat digolongkan sebagai ahl al-kitab karena agama-agama tersebut menganut paham tauhid dan sesuai dengan praktik keagamaannya. Mereka memiliki dan membaca kitab suci.
Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berlaku. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah kebijakan hukum Mahkamah Agung. Selain itu, perkawinan beda agama di Indonesia terus terpecah belah.
Setelah dilakukan penelitian atau ijtihad dengan pendekatan ushul-fiqh terhadap perkawinan beda agama di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan adalah mubah (boleh) asalkan memenuhi kriteria kebolehan yang tercantum dalam nash yaitu al-muhshanat  (merdeka dan menjaga kehormatan diri).