Mohon tunggu...
Adolf Nugroho
Adolf Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dilahirkan di Kota Gudeg Jogjakarta. Seorang pendidik, trainer, penulis di majalah SDM dan psikologi. 2,6 tahun mengabdikan diri di bidang pendidikan di Papua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa yang tak Pernah Berubah

8 November 2018   16:58 Diperbarui: 8 November 2018   17:05 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     

  Aku tak pernah berharap "rasa" itu muncul sepanjang aku mengenalmu. Tak sangka, "rasa" ini kurasakan semakin hari tumbuh bagaikan bunga yang sedang mekar. Aku memang bukan siapa siapamu, aku hanya sedang merasakan hangatnya perasaan itu. Dan kau pun sepertinya memberikan balasan itu.

Dari bahasa tubuhmu, ekspresi dan tatapanmu semakin menguatkan hal itu. Bersamamu sepanjang malam, nonton, makan tak membuatku gelisah dan kuatir. Karena semua itu terselimuti hatimu yang tulus. Apa yang saat ini membuatku menyayangimu? Entahlah, tak pernah terjawab pasti. Hanya saja yang aku rasakan saat berada didekatmu, semua relung hati yang kosong ini terisi, bagaikan ceruk menampung air.

Aku sebenarnya tak mengharapkan banyak dari komitmen yang sudah kita sepakati. Apa yang kita jalani memang tak memberikan kejelasan masa depan. Aku dan kamu tak mungkin bersatu, kamu memang tak bisa aku peluk sepenuhnya. Menggandeng tanganmu saja sudah membuatku melihat kemilau bintang. Itu lah mengapa kamu memintaku untuk menjaga perasaan masing masing. Itu bukan aku banget!. 

Tapi ya sudah, aku coba menjaga ini sepanjang waktu. Walaupun dorongan untuk ketemu kamu begitu besar, tapi apa daya waktu memang selalu mengganggu ku untuk melangkah ke hatimu. "Maaf" kalau aku memang tulus menyayangimu, aku tidak minta apa apa darimu. aku juga tak minta balasan yang sama saat ini. Dengan tahu kabarmu saja, bagiku sudah cukup. Kabar mu adalah kabarku juga. "Maaf' kalau aku tidak bisa berdusta soal "rasa" itu.

Ya saat ini kita membatasi diri untuk tidak melangkah terlalu jauh, terutama soal "rasa". Kita sepertinya tak ingin terjebak pada perasaan yang semakin dalam. Lalu untuk apa ini semua? Semua yang sudah kita jalani, toh tidak akan ada ujung pangkalnya? Aku memang membutuhkanmu, tapi untuk apa kalau semua pada akhirnya tak pernah menyatukan kita. Mungkinkah kita hentikan semua ini? Tak semudah saat kita mengawalinya, kedekatan itu sepertinya sebuah tanda. 

Aku dan kamu tak bisa mengembalikan waktu, perjumpaan itu memang sudah digariskan. Seandainya bisa, aku akan kembali ke masa lalu, beberapa bulan lalu. Di malam di mana aku memulai memberanikan diri untuk menghubungimu. Kalau jadinya seperti ini, malam itu aku urungkan niat untuk tidak mengontakmu. "Sayang", sekalipun saat ini kamu melihat masa depan yang lebih baik, aku iklaskan kamu untuk meraihnya. 

Raihlah semua yang kamu impikan selama ini. Masa depan itu adalah hakmu. Demi masa depanmu. lupakanlah aku, jauhkanlah bayang wajahku dari kehidupanmu. Tapi kamu harus ingat, rasa itu tak pernah berubah. Sampai kapanpun!

               

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun