Hidup di kota besar dengan ritme kerja harian yang hampir sama, menjadikan waktu begitu penting. Seperti rutinitas pagi yang selama ini kita lihat di hampir seluruh wilayah terutama Jakarta menandakan bahwa waktu memang tak bisa dikompromikan. Seakan akan semua terjadi dengan satu tujuan yang sama. Umumnya sebagai tenaga kerja, saya pun sekarang hampir setiap pagi berangkat pukul 06.15 untuk menuju ke St kereta terdekat.Â
KRL menjadi moda transportasi utama saat ini, karena jalur yang biasa berkendara selama ini sedang berubah karena pembangunan jalan. KRL dengan waktu tempuh kurang lebih 45 -- 60 menit tanpa ada gangguan signal merupakan moda transportasi yang diminati para kaum Urban.Â
Walaupun KRL penuh sesak, masih saja menjadi alat transportasi yang tiada duanya. Hampir setiap hari aktifitas seperti ini saya jalani. Berjumpa dengan begitu banyak orang di dalam kereta memunculkan pertanyaan, bagaimana mereka menghayati hidup rohani dalam keseharian?
Beberapa kali saya sempat melihat mereka membuka aplikasi yang berbau rohani, bacaan rohani, ayat kitab suci dsbnya. Bahkan symbol rohani pun tak luput dari pandangan mata saya. Mereka melakukannya dalam situasi KRL yang dipenuhi dengan banyak orang. Ada beberapa teman yang saya amati setelah sampai di Kantor kemudian berdiam diri dan berdoa.Â
Bahkan di kantor, setiap 2 minggu sekali ada kegiatan rohani bagi karyawannya. Inisiatif ini memang muncul dari beberapa karyawan yang rindu untuk menemukan Allah lewat kegiatan rohani. Di beberapa kantor lain pun kegiatan seperti ini juga dilakukan di tengah kesibukan kerja yang padat. Tempat ibadah seperti masjid juga mudah dijumpai di sekitar tempat kerja, begitu pun gereja yang menyasar kaum perkantoran dengan mengadakan ibadah pada jam jam istirahat.Â
Dalam realitas situasi seperti ini, saya melihat ada kerinduan besar untuk menemukan kehendak Allah di tengah pekerjaan. Realitas kerohanian kaum urban ini dihayati dengan begitu rupa dikarenakan beberapa sebab seperti arus hendonis maupun budaya material yang sedang menggejala seperti saat ini. Pun mungkin ada sebab yang lain.
Permasalahanya adalah tak semua orang mampu menemukan realitas rohani di tengah kesibukan kerja. Di tengah tekanan pekerjaan yang padat, terkadang hal seperti ini dikesampingkan. Kecenderungan untuk mengabaikan dan tidak focus bisa terjadi tanpa disadari. Sampai sampai kemudian menganggap pekerjaan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan lahiriah.Â
Mari kita bersikap realistis, bahwa kenyataannya sebagian besar orang hanya melakukan rutinitas kerja tanpa menemukan jalan panggilan. Ya tentu ada banyak alasan untuk mereka yang sulit menemukan jalan panggilannya, seperti karena tuntutan gaji, persaingan kerja, keterbatasan fisik, dan pendidikan. Â Bagi saya atau siapapun, situasi dunia kerja memang menjadi tantangan tersendiri selain ada tantangan lain yaitu bagaimana menyeimbangkan karya dan doa.
Buku The Jesuit Guide (almost) Everything: A spirituality For Real Life memberikan panduan bagaimana menemukan Allah dalam kehidupan. Pertama melalui mereka yang berada di sekitar Anda. Ada sebagian orang yang merasa bosan dan jemu melakukan pekerjaan sehari harinya. Yang lebih parah mungkin ada orang yang benci melakukan pekerjaan tertentu. Atau bagian tertentu pada pekerjaan tersebut yang tidak disukainya.Â
Di dalam situasi yang mungkin tidak menyenangkan bagi sebagai orang, bersosialisasi, ngobrol di luar jam kerja, bertukar informasi, berbagi kisah lucu merupakan cara untuk merasakan bagaimana Allah hadir melalui mereka semua. Cara kedua adalah ada tujuan besar dari pekerjaan Anda. Dibalik segala sesuatu pekerjaan yang kita lakukan selama ini memiliki tujuan yang lebih besar.Â
Percayalah dan yakinlah pada pekerjaan kita jalani sampai hari ini, sekalipun kita melakukan pekerjaan yang kurang mengenakkan. Maka tetap focus pada tujuan yang lebih besar dari pekerjaan ini seringkali dapat membantu. Cara yang ketiga adalah bertindak sebagai ragi. Harus kita akui terkadang situasi kerja tidak sehat. Saling sikut sana sini bisa terjadi di lingkungan kerja kita. Belum lagi sistem kerja yang dirasa kurang menyejahterakan karyawan sehingga bekerja pun sebatas hubungan transaksional.Â