Sebelum memulai tulisan ini, saya merenung, pantaskah sebagai awam Katolik menilai kehidupan sosial kaum religius di tengah masyarakat? Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, lebih dikarenakan ketidaksempurnaan dan ketidakpantasan, selain tentu sebagai orang yang berdosa serasa kurang pas apabila kaum religious masuk dalam kriteria penilaian seorang awam. Ya tulisan ini tak lebih dari sebuah refleksi kehidupan dan perjumpaan maupun relasi sosial yang sungguh nyata dapat dilihat oleh siapapun.
Kembali pada pantas tidak pantas yang saya sampaikan diatas, "panggilan" sebagai religius bukan perkara remeh temeh yang begitu mudah diterima tanpa kerendahan hati yang mendalam. Begitupun bagi kaum awam yang terpanggil untuk hidup berkeluarga. Panggilan ini tentu dterima dengan cara yang berbeda, serta penghayatan yang berbeda pula. Keduanya bagi saya tetap memiliki kemuliaan yang sama di mata Allah. Tinggal bagaimana tantangan menghayatinya.
Bagi kaum religius tentu memunyai tantangan tersendiri. Saya sebagai awam sungguh memahami bagaimana praktek hidup kaum religius yang hidup ditengah umat lingkungan. Pun dengan kaum religius yang menghayati panggilannya dengan cara hidup kontemplatif dan doa. Mereka sungguh seorang pribadi yang terpilih dalam karya penyelamatan Allah didunia. Namun sebagai manusia pada umumnya hadirnya konflik baik berasal dari internal atau eksternal menjadi hal yang lumrah.
Saya tidak menyangsikan praktek rohani kaum religius secara vertical dengan Allah Bapa. Mereka memang dilatih untuk menghayati kehadiran Tuhan dalam doa dan keheningan, walaupun ada juga yang menghayatiNya dalam hidup keseharian. Kaum religius baik itu suster, bruder dan imam dalam tataran rohani begitu dekat dengan Allah. Sebagai awam tentu bisa menimba inspirasi dari mereka supaya dapat di praktekkan dalam kehidupan keluarga dan juga relasi sosial di tengah masyarakat yang plural. Pertanyaanya adalah apakah kehidupan rohani mampu memberikan cerminan inspirasi di tengah kehidupan sosial?
Imam Jesuit yang juga seorang teolog ini juga mengakui ada banyak pastor yang sekedar pintar bicara bagus. "Seperti gajahdiblangkoni. Bisa berkotbah bagus, tapi tak pernah bisadilakoni (dihayati dan dipraktikkan sebagai sikap hidup)," begitu isi pantun singkat Romo Kris disambut gelak tawa peserta acara."Saya bilang ke novis yesuit di Girisonta: Jangan-jangan di dalam surga isinya hanya mulut. Karena mulut kita berkata-kata yang bagus, tetapi selebihnya tidak menjalankannya," sambungnya. Ini sekedar kutipan dari Launching buku spiritualitas Yesuit dalam keseharian yang saya ambil dari www.sesawi.net
Saya hendak memberi gambaran bahwa, terkadang ada praktek hidup religius tak selamanya simiteris dengan praktek keseharian. Saat ibadah dan doanya begitu terdengar indah dan sangat kental sisi rohaninya. Tetapi situasi bisa berbalik 180 derajat tatkala dihadapkan pada kehidupan relasi sosial. Tak semua mudah untuk dipraktekkan.
Bahkan terkesan tidak mencerminkan kehidupan religiusnya. Mungkin dalam hati, kita bertanya --tanya, "kok seorang suster bicaranya begitu kasar". Dan kita pun bertanya pula, "bukankah mereka dewasa secara rohani?" . "Lalu dimanakah cerminan panggilan hidup religiusnya?". "tentu tak cukup hanya dengan jubah bukan?"
Baiklah, seseorang religious yang sungguh sungguh terpanggil bisa dilihat dari buah karyanya. Dan tentu saja membawa perubahan dan memberi manfaat bagi siapapun. Bagi saya, karya ini ibarat wujud nyata panggilan yang sesungguhnya. Nah, dalam terminologi kristiani keberhasilan sebuah karya tak lepas dari kehendak Allah dan praktek kerja para religius ini. Sudah pasti praktek kerja ini membutuhkan kemampuan intelektual yang mendukung keberhasilan karya, selain tentu saja doa.
Artinya, tak sekedar hanya bisa berdoa bagus, berkotbah yang indah indah, tetapi juga bisa kerja. Ya kerja, kerja tangan , otak, imajinasi, strategi apapun itu. Dan saat ini kita bisa lihat bagaimana karya karya misionaris di Indonesia kehadirannya sangat memberikan manfaat. Di dalam Injil, "bukankah Yesus juga bekerja?"
Mungkin kita perlu merefleksikan kembali apa yang pernah disampaikan oleh Uskup Purwokerto waktu itu yang saya kutip dari penakatolik. Saat itu, Mgr Sunarko juga menyampaikan keprihatinan tentang kerasulan para religius yang kurang menampakkan wajah Kristus yang penuh sukacita, gembira dan terbuka. "Jangan seperti orang yang pulang dari kuburan dengan wajah muram, hendaklah kaum religius menampakkan wajah Kristus yang penuh sukacita," kata uskup seraya berharap agar di Tahun Hidup Bakti kaum religius membaharui diri dengan menampilkan wajah Kristus yang berbeda dari "awam".
Dengan seruan itu, Uskup Purwokerto mengajak kita untuk refleksikan hidup, diri dan panggilan sebagai religius yang menghayati hidup bakti, seraya menampilkan wajah Allah yang merupakan perwujudan cinta Allah kepada sesama manusia, terutama dalam karya yang dipercayakan kepada kita, agar semakin banyak orang terselamatkan, semakin banyak kaum muda tergerak hatinya untuk bergabung dalam kongregasi religius, melanjutkan karya kerasulan, menjadi penyambung lidah Allah dengan cara hidup dan bertindak yang berbeda.