Mengedepankan Kecerdasan Emosi dalam Memimpin
Cerdas bukan saja menjadi klaim intelektual. Bukan pula klaim dari spiritual. Cerdas emosi menyangkut hati dan kepedulian pada alam, manusia dan lingkungan sekitar. Untuk bisa cerdas secara emosi membutuhkan latihan. Jadi kecerdasan emosi tidak lepas dari proses atau tahap belajar maupun melatih diri supaya merasakan kepekaan-kepekaan yang dapat membantu diri maupun lingkungan sekitar menjadi lebih baik. Apabila menyangkut kepemimpinan, maka tidak cukup seorang pemimpin hanya cerdas secara intelektual. Namun nihil dalam kecerdasaan emosi. Di negeri ini banyak pemimpin cerdas, pintar, namun apakah cukup cerdas dalam mengelola emosi sehingga bisa dikatakan seorang pemimpin yang baik?
Dalam buku Leadership 3.0, emosi menjadi salah satu aspek dalam memengaruhi orang lain. Sebagai seorang pemimpin, hendaknya baik apabila yang pertama harus dilakukan adalah mengenal emosi diri terlebih dahulu. Mengapa? Sebelum memimpin orang lain, sebaiknya diri sendiri lah yang harus dikenali. Mana mungkin kita tidak kenal diri sendiri, sedangkan justru orang lain yang malah mengenali kita. Dengan mengenali emosi diri seorang pemimpin akan tahu kelemahan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup. Di dalam buku Heroicleadership dikenal empat pilar yaitu salah satunya Kesadaran diri. Yang mana seseorang dapat membiasakan diri untuk merefleksikan diri dan belajar tanpa henti dan hanya orang yang tahu siapa dirinya dan apa yang diinginkannya dapat dengan penuh semangat untuk mengilhami orang lain. Begitupun dengan mengenal emosi diri, seseorang yang dapat mengenali kelemahan-kelemahan diri yang membuat sang pemimpin terus belajar sepanjang waktu. Karena untuk menjadi seorang pemimpin yang baik tidaklah sekali jadi.
Mengapa kepemimpinan membutuhkan kecerdasan emosi?
Kecerdasan emosi bagi seorang pemimpin begitu penting, karena membawa banyak manfaat positif bagi diri dan orang-orang yang dipimpinnya. Tak mengherankan apabila kecerdasan emosi menjadi salah satu yang utama dalam proses seleksi mendapatkan seorang pemimpin. Di banding kecerdasan yang lain, kecerdasan emosilah yang menjadi pilar menentukan apakah orang tersebut akan sukses dalam memimpin kedepannya. Apalagi di era sekarang, yang mana di dalam organisasi ada begitu permasalahan kompleks yang membutuhkan sosok-sosok inspiratif. Sosok yang bukan saja “tahu”, “bisa” namun juga “mau” untuk membangun visi tentang masa depan yang jauh. “Mau” dalam hal ini merupakan sikap yang dipenuhi emosi untuk melecut diri menggerakkan orang lain. Dan tentunya membuka cakrawala berpikir sehingga di dalam benak masing-masing timbul harapan untuk juga melecut diri bertindak dalam konetks yang sama. Nah inilah gambaran ideal seorang pemimpin. Bukan mustahil di era yang serba terbuka dan memudahkan orang untuk mengakses serta belajar akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang terlatih untuk cerdas dalam emosi.
Mengutip dari buku Heroicleadership, setiap pribadi hendaknya memunyai kekuatan yang tak terhingga nilainya yaitu
-Kemampuan untuk berefleksikan secara sistematis atas kelemahan pribadi, terutama yang mewujud pada kecenderungan yang sudah terbiasa
-Pandangan hidup yang terintegrasi, visi dan sistem nilai
-Penghargaan yang mendalam terhadap orang lain dan seluruh ciptaan
-Apresiasi terhadap diri sendiri secara pribadi yang dicinta dan penting
-Kemampuan untuk mengatasi gangguan sehari-hari yang dapat memecahkan perhatian agar dapat berefleksi dan melakukan kebiasaan hal seperti itu setiap hari
-Sebuah metode untuk mempertimbangkan pilihan dan membuat keputusan.
Hal yang saya kutip ini, lebih menekankan aspek personal yang menyeluruh. Dimana setiap pribadi wajib mengolah diri, mengelola emosi, melihat ke dalam dan keluar, serta mampu menerjemakan perubahan-perubahan ke dalam pandangan positif. Bukankah hal-hal seperti yang saya uraikan ini menyangkut kecerdasan emosi? Memang kecerdasan emosi bukan perkara mudah. Berlatih dan melatih diri adalah proses yang wajib dilalui dengan tindakan-tindakan konkret. Nah ketika hal ini bisa dilakukan oleh seorang pemimpin, masih belum cukup apabila tidak diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan refleksi. Seperti yang saya kutip Buku Leadership 3.0 yaitu
-Sosok pemimpin seperti apakah yang aku cita-citakan?
-Sosok pemimpin seperti apakah aku saat ini?
-Bagaimana aku bisa berubah menjadi pemimpin yang aku cita-citakan?
Seandainya pertanyaan reflektif ini pun nihil dalam benak kita, sama saja kita berjalan tanpa arah dan dorongan semangat untuk mewujudkan setitik harapan. Ya, yang jelas kepemimpinan hanya dimaknai sebagai symbol tanpa makna dan arti. Tentu kita tidak akan seperti itu bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H