Mohon tunggu...
Adolf Nugroho
Adolf Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dilahirkan di Kota Gudeg Jogjakarta. Seorang pendidik, trainer, penulis di majalah SDM dan psikologi. 2,6 tahun mengabdikan diri di bidang pendidikan di Papua

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kesan yang Muncul dalam Ucapan Selamat Natal

26 Desember 2012   03:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:02 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesan yang muncul dalam Ucapan Selamat Natal

Hampir setiap tahun, menjelang Natal tiba muncul kembali pernyataan-pernyataan yang terkait dengan boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal. Baik itu dari lembaga resmi, semisal MUI atau kementrian agama, atau lembaga yang berkompeten dalam halal dan haramnya. Apapun itu saya pribadi tidak terlalu menghiraukan, ataupun dengan menyikapi secara berlebihan. Biarkanlah mereka yang berwenang dan berkompeten mengkajinya.

Saya lebih berfokus pada perilaku orang dalam mengucapkan “selamat” pada hari raya keagamaan tertentu. Perilaku ini bisa saja terjadi pada semua orang dengan latar agama masing-masing. Saya Kebetulan Katolik yang dibesarkan dalam keluarga mayoritas Protestan. Dan tentu saja kita merayakan Natal bersama dengan tidak ada perbedaan signifikan. Semua menyambut Natal dengan sukacita. Disaat itu pula, ada salah satu saudara kami yang Muslim. Tentu saja saudara kami ini ingin ikut ambil bagian dalam kegembiraan Natal dengan mengucapkan “Selamat Natal”. Apa yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana perilaku mengucapkan saudara kami dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Artinya, pada awalnya muncul kesan kurang ikhlas dalam mengucapkankan. Contohnya: Ucapan tersebut hanya muncul kata “selamat”!. Kata selamat ini bisa saja ditafsirkan bermacam-macam. Tapi saya bisa memahami bahwa ucapannya yang dimaksudkan adalah “Selamat Natal”, walaupun tidak lengkap. Hal lain adalah intonasi yang terdengar  saat mengatakan kata “Natal”. Intonasinya berbeda dan lebih datar, sekaligus pelan. Ada kesan kurang mantap saat mengucapkannya. Lambat laun saya mengamati perkembangannya, dan sampai terakhir kami bertemu, perubahannya drastis dan semakin mantap mengucapkannya.

Kisah lain, terjadi dengan teman saya. Ketika libur selesai, kami bertemu kembali dalam ruangan kantor. Beberapa teman yang kebetulan Muslim mendatangi saya dan mengucapkan “selamat ya”!. Teman yang lain juga mendatangi saya dengan mengucapkan lengkap, yaitu “selamat Natal”, dibarengi dengan intonasi yang lirih pelan, tidak diikuti dengan ekspresi sama seperti kegembiraan yang saya rasakan. Ada pula yang mengucapkan dengan mantap, “Selamat Natal ya!”. Tentu dibarengi ekspresi kegembiraan yang terlihat dari raut wajahnya. Teman yang lain ikut senyum dan tertawa tanpa tahu harus berbuat apa. Lebih tepatnya bingung ikut mengucapkan atau tidak. Dari peristiwa ini, Saya berusaha menafsirkan dari sudut pandang pribadi, bisa saja salah atau benar. Tafsiran saya muncul kesan ada “jarak”, ada sesuatu yang memisahkan, karena latar ketidaktahuan agama tersebut juga hari-hari besarnya. Mungkin juga kesan yang saya peroleh adalah rasa canggung, dan tidak biasa mengucapkan “Selamat Natal”. Rasa canggung ini muncul dikarenakan kebutaan pribadi terhadap agama lain. Kebutaan ini bisa jadi, pengetahuan terhadap agama-agama kurang dan tidak terlalu penting untuk dikenal. Mungkin juga pandangan-pandangan negatif, karena sejarah masa lalu. Selain itu latar history bahwa kekristenan hadir bersamaan dengan kolonialisme masih kuat di dalam benak masyarakat kita. Mungkin ini tafsiran terlalu jauh sekali, tetapi kita harus tahu bahwa hubungan harmonis antara Kristen dan Islam selama 1000 tahun lalu patut untuk disimak kembali. Banyak kisah-kisah haru hubungan ini terjalin dengan sangat menyentuh kemanusiaan.

Sebaliknya terjadi juga dengan teman-teman yang Kristen, disaat hari lebaran tiba, kami juga turut merasakan kegembiraan yang sama karena kemenangan itu telah tiba. Kegembiraan tersebut kami tunjukkan dengan mengucapkan, “Selamat Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin”. Disini terjadi juga, seperti apa yang saya sampaikan di atas, yaitu ada intonasi, ekspresi dan eye contact yang mengesankan kurang ikhlas. Saya pun pada awalnya demikian, ada perasaan canggung, aneh dan kuatir tidak direspon apabila saya mengucapkan. Perasaan demikian muncul bisa dikarenakan ketidaktahuan saya tentang “Islam”. Pada akhirnya saya berusaha untuk tahu tentang Islam dengan hari-hari besarnya. Apa makna “Idul Fitri” bagi teman Muslim? Begitupun apa makna Natal? Saya pikir, sembari mengucapkan, kita harus tahu apa makna implikasi ucapan yang kita berikan. Dan tentu saja saya pribadi berharap, supaya kesan formalitas bisa terkikis pelan-pelan. Benar-benar bahwa kita mengucapkannya dengan ketulusan hati. Salam Damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun