Mohon tunggu...
Adolf Nugroho
Adolf Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dilahirkan di Kota Gudeg Jogjakarta. Seorang pendidik, trainer, penulis di majalah SDM dan psikologi. 2,6 tahun mengabdikan diri di bidang pendidikan di Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berharap Pendidikan Jauh dari Kekerasan Bercermin dari STIP dan JIS

29 April 2014   16:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berharap Pendidikan Jauh dari Kekerasan

Bercermin dari STIP dan JIS

Lagi, kekerasan terjadi di jantung dunia pendidikan. Kejadian ini menambah deretan peristiwa penganiayaan di sekolah sekolah yang notabene menitikberatkan pada pembentukan pola pikir bagi siswanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dunia pendidikan kita? Mengembalikan arah pendidikan kita, sebaiknya dimulai dari peran keluarga sebagai soko guru bagi individu yang memulai diri untuk siap dalam kiprahnya. Kemudian pihak sekolah sebagai satu institusi pembentuk karakter siswa, wajib berperan membangun kultur mendidik supaya menghasilkan orang–orang yang lebih mengedepankan konstruksi berpikir jauh dari kekerasan. Tonggak dasar ini harus dimiliki bukan saja pada slogan visi dan misi sekolah  melainkan bisa berkontribusi besar membangun jiwa, nurani serta kebebasan berpikir maupun bertindak sebagai insan pendidikan untuk lebih berkarakter. Termasuk didalamnya adalah guru, siswa dan individu yang terlibat dalam proses pendidikan.

Apa yang terjadi di STIP menegaskan bahwa pola pola pendidikan tradisional masih ikut andil membentuk peserta didik memiliki kebanggaan dengan mempraktekkan kekerasan sebagai cara mendidik juniornya. Ini jelas bukan sebuah kejadian yang tiba tiba, melainkan terbentuk karena pola pola lama tadi masih mentradisi begitu rupa. Sehingga menjadikan apa yang dikatakan sebagai pendidikan konservatif yang menerapkan budaya kekerasan, militeristik, maupun balas dendam selalu mewarnai proses terciptanya pendidikan kita. Apabila hal ini masih terjadi bukankah sangat memprihatinkan bahwa peserta didik kita secara mental menerapkan tindakan “konyol” yang seakan –akan perlakukan tersebut layak dilakukan. Disinilah letak “titik krisis,” apabila pola pikir siswa merasa tindakannya dibenarkan oleh karena ritual tahunan. Lalu bagaimana mata rantai kekerasan ini bisa diputus?

Karena peristiwa  ini menyangkut perilaku manusia, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah bagaimana institusi sekolah melihat kembali kultur melalui spirit yang selama ini mewarnai kegiatan belajar mengajar. Artinya pihak sekolah harus membangun warna pendidikan yang didasari semangat kemanusiaan untuk melahirkan orang orang yang mengedepankan nilai nilai kepribadian dan kehidupan. Pengenalan pada nilai ini, supaya siswa lebih terbuka untuk melihat realitas diri dan sumbangsihnya terhadap lingkungan dalam perspektif lebih universal. Dengan begitu, paradigma siswa dalam menterjemahkan pendidikan menjadi lebih humanis. Ini berlaku bukan hanya untuk siswa melainkan juga guru sebagai  teladan konkret. Karena dengan gerak langkah menterjemakan nilai-nilai  inilah, maka pihak sekolah dalam hal ini guru bisa melihat sebuah ekses ekses negative yang ditengarai bisa menimbulkan kekerasan. Bisa jadi selama ini, relasi antara sekolah (guru) dan siswa sebatas transaksional, artinya guru hanya membangun relasi sebatas tugas tugas mengajar di kelas, tanpa memerhatikan berkembangan siswa dari hari ke hari. Maka dalam peristiwa ini, kalaupun terjadi diluar sekolah, bukan berarti pihak sekolah kemudian lepas tangan. Seakan akan tidak atau enggan bertanggungjawab. Itu bisa terjadi karena tidak adanya nilai nilai yang seharusnya dirasakan oleh siapa saja di dalam sekolah.

Baru kemudian dalam proses pembentukan karakter melalui nilai nilai tersebut, system pengawasan dan control evaluasi melalui aturan dilakukan mengiringi proses belajar mengajar. Menjadi demikian karena, pihak sekolah tetap sebagai pihak  yang punya otoritas menjaga terciptanya belajar mengajar sesuai jalurnya. Seperti kasus kekerasan seksual di JIS ini, ada kondisi dimana prosedur yang seharusnya dijalankan, tetapi justru tidak dilakukan. Oleh karena itu, kita berkaca dari peristiwa yang sudah beberapa kali terjadi di beberapa institusi pendidikan terutama kedinasan. Selain itu, melalui peristiwa ini, merefleksikan menjadi cara yg paling bijak untuk menata kembali sistem pendidikan kita. Dan hal ini bukan hanya peran sekolah, tapi semua pihak termasuk orang tua, dinas terkait (diknas) serta pihak-pihak yang konsen pada  dunia pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun