Mohon tunggu...
Ferri Melson Tafzi
Ferri Melson Tafzi Mohon Tunggu... -

Menulis dan membaca adalah memperkaya khasanah hidup dan memberi nuansa buat kehidupan itu sendiri. Pengalaman adalah langkah nyata dalam menisik jalan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Maling Teriak Maling...

16 Desember 2009   12:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:55 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari belakangan ini, kita semakin akrab dengan kata-kata sakti seperti judul diatas. Maling teriak maling, adalah ekspresi dari individu atau masyarakat dalam melihat kenyataan yang tidak disepakati. Bisa jadi itu satu klausal pembelaan terhadap kasus yang berlawanan dengan opini yang berlawanan.

Diujung senja ini diambang maghrib ini, terus terang saya senang mendengar klausal itu diperdengungkan akhir-akhir ini, terutama berkaitan dengan kasus Century.

Di Indonesia ini untuk memperdendangkan kata maling sebenarnya tidak lah susah amat. Cobalah lihat sekeliling kita, maka itu dengan gampang bisa kita lihat dengan jelas dengan mata telanjang. Tapi berhubung kita mempunyai toleransi yang tinggi untuk bermaling ria maka hal itu tidaklah begitu kita permasalahkan. Bisa jadi kita takut dibilang usil atau bisa jadi kita juga menikmati permalingan itu.

Sebelum melanjutkan marilah kita persamakan dulu persepsinya. Maling dalam definisi yang sederhana tentunya adalah mengambil hak orang lain dengan cara tidak benar atau tanpa seizin si empunya hak.  Contoh sederhananya; apabila kita tidak senang melihat orang ngebut di jalan depan rumah kita, maka kita dengan seenak udelnya membangun polisi tidur didepan rumah kita tanpa ba bi bu kiri dan kanan. Padahal kita tahu setahu-tahunya bahwa jalan itu bukan milik kita atau warisan dari mbah kita. Begitu juga sebaliknya, karena melihat jalan di lingkungan kita bebas hambatan dengan senak udel gas ditekan sampai habis tanpa mempertimbangkan hak orang lain terhadap jalan tersebut. Ini bisa saja kita jadikan salah satu contoh mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar walaupun mungkin maksudnya benar. Maka dari itu tidak heran diberbagai tempat banyak kita temui polisi tidur.

So..., teriakan maling teriak maling yang berkumandang belakangan ini, terutama berkaitan dengan kasus Century. Terus terang saja bisa membuat hati kita senang luar biasa. Kenapa? Dengan kondisi bangsa Indonesia yang menduduki posisi atas dalam rangking pengkorupsian negara-negara sedunia, maka hal itu akan sangat menguntungkan. Seandainya ada keberanian mengumandangkan klausal sakti itu maka bisa dipastikan seantero jagat Indonesia akan berkumandang teriakan-teriakan ini, karena kita juga tahu betapa masifnya kesukaan kita mengambil atau melanggar hak-hak orang lain. Tentunya kondisi ini akan memudahkan kita untuk melihat permaling riaan itu dan ini juga membantu tugas para polisi untuk menangkapi para maling.

Tentu tidak sesederhana itu pelaksanaannya dan saya tidak tahu persis apakah ada korelasinya dengan kesenangan kita membagun polisi tidur. Bukankah membangun polisi tidur berarti kita tidak ingin kesenangan kita terganggu oleh pengendara mobil atau motor? Mungkin Polisi paham akan kondisi psikologis seperti ini sehingga tidak ada kita dengar gaung massal untuk menangkap para maling, selain tidak ada bukti yang meyakinkan akibat kepintaran para maling juga disebabkan polisi juga bingung berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk menghidupi dan menyiapkan penjara untuk para maling ini.

Jadi tidak heranlah bila kita melihat bis metromini yang disopiri oleh Bang Sianturi dengan keneknya Robert Sidabutar ngetem sembarangan dengan seenak udelnya, kita bisa memakluminya dengan alasan kasihan, khan Bang Sianturi ini lagi cari makan juga buat anak isterinya dirumah walaupun kadang-kadang kita dongkol dibuatnya karena telah membuat macet perjalan kita.

Diambang senja ini akhirnya saya teringat kisah tauladan dari Khalifah Umar Bin Khatab karena begitu takutnya dosa yang akan ditanggungnya, rela mati-matian mengotong sekarung besar beras ke rumah simiskin yang sedang menangis karena tidak kuat lagi menahan lapar. Semoga di awal malam ini kita bisa mengingat kembali agar mata tetap bisa digunakan untuk melihat dan telinga tetap bisa digunakan untuk mendengar. Amin.

Kramatjati di awal senja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun