Sebagai orang yang puritan, kadang-kadang untuk bergaya saya suka pakai kaca mata kuda. Menurut saya ini lebih pas dengan saya yang memiliki wajah lebar bak Gajah mada, bukan kayak kepala kuda. Kaca mata kuda banyak orang yang tidak suka karena membuat kesusahan dalam berbelok. Makanya yang suka berbelok-belok seperti para pereli lebih lebih senang memakai kaca mata merek cartier atau kaca mata yang harganya tidak akan terbeli oleh saya. Karena saya hanya punya uang pas-pasan saja. Maksudnya bisa jadi pas buat beli mobil, pas buat beli rumah atau bisa jadi hanya pas buat ongkos naik mikrolet saja.
Sebagai orang sedikit banyak pernah bersinggungan dengan 'art', saya sangat suka melihat sesuatu yang indah-indah. Salah satunya adalah songket. Saking indahnya sebagai karya seni songket ini banyak digemari orang. Oleh karena itu tidak heran kalau dikampung saya, songket ini bisa menunjukan status pemakainya. Hal ini tidak diperlu dipertanyakan karena selain citra seninya, harganya juga selangit.
Songket punya harga tinggi karena dikerjakan oleh tangan trampil juga bahan yang digunakan juga berkualitas tinggi. Salah satunya adalah benang sutra berwarna emas.
Pada suatu kesempatan, seorang penenun tampak lagi kebingungan. Persoalannya benang emas yang digunakannya sedang kusut sedangkan songket yang sedang kerjakannya sudah hampir setengah jadi. Jelas kondisi ini tidak menguntungkan dia karena kerjanya menjadi terhambat. Oleh sebab itu dia mencoba menceritakan kepada temannya tentang kekusutan ini, berbagi dalam kebingungan. Sang teman dengan lagak sok tahu ingin coba membantu, mana tahu kekusutan itu bisa dituntaskan. Sebagaimana diketahui, dikampung tesebut bagaimana tabiat temannya ini sudah banyak yang tahu. Sangat berhitung dengan segala sesuatu.
Dari apa yang saya dengar, ada kebiasan kurang baik dikampung tersebut, terutama bila ada suatu kejadian yang menarik perhatian, banyak yang ingin tahu. Bisa jadi ini disebabkan oleh tingginya solideritas di kampung para penenun itu. Ada yang benar-benar ingin membantu tapi ada juga yang hanya sekadar menghangat-hangatkan suasana sambil mencari kesempatan, mana tahu dapat order baru.
Kembali ke persoalan, benang yang kusut itu benar-benar berkualitas paling bagus maklum ini order khusus dari salah satu juragan terkaya di kampung itu. Ini yang membuat penenun ini semakin bingung. Kusutnya memang parah. Dari sekian banyak yang datang ketempat penenunan itu, ada yang bilang potong saja benang itu biar tuntas dan bisa pakai benang yang baru lagi. Ada juga yang bilang telusuri benang itu supaya ketahuan dimana ujungnya. Dan banyak lagi usulan-usulan yang diberikan sehingga membuat sipenenun semakin bingung mana yang harus dikerjan.
Dalam kebingungan itu sipenenun itu terus berkali-kali dan ini kelebihan orang di kampung sipenenun itu sangat jago berkali-kali. Benang diputus bisa rugi besar karena harus beli benang baru lagi dan mulai diawal lagi, ditelusuri bisa memakan waktu lama dan ini jelas tidak menguntungkan kalau dihitung secara ekonomi, bisa rugi tidak mendapat untung padahal waktu dijanjikan sudah semakin dekat. Stres berat. Tiba-tiba sipenenun tersennyum sendiri seolah-olah mendapat wangsit. Dengan dada membusung sipenenun mendekati orang yang masih ramai berdiskusi dan membisiki sesuatu. Semuanya terperanjat dan terperangah.
Kini semua mata orang tiba-tiba melihat ke pojok sudut kampung sana, lupa didepan mata ada benang yang kusut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H