17 Agustus 1945, naskah itu dibacakan. Didepan para pejuang-pejuang rakyat Indonesia, dua bapak proklamator kita yaitu Soekarno dan Hatta membacakan naskah yang bisa dibilang menjadi tonggak awal berdirinya republik yang kita tempati sekarang ini. Â
Hari tersebut merupakan hari yang sangat sakral bagi bangsa ini. Hari itu merupakan puncak dari segala perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme bangsa asing. Hari dimana hampir seluruh manusia bahkan seluruh organisme yang ada di Indonesia menitikkan air mata kebahagiaan karena berhasil menyatakan sikap akan menentukan nasib sendiri.
Tujuh puluh empat tahun berselang, tepat 17 Agustus 2019 kemarin bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke- 74. Seperti biasa, lomba-lomba, dan segala jenis peringatan lainnya dilaksanakan untuk memperingati hari yang sangat sakral ini. Namun pada sekiranya tanggal 15-19 Agustus 2019 ditengah maraknya perayaan tujuh belasan, bangsa kita mengalami ujian yang bisa dibilang cukup serius. Ujian itu bukan lahir dari moncong senjata bangsa asing, atau dari embargo ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara utara, ujian itu cukup serius karena lahir dari bangsa Indonesia itu sendiri.
15-19 Agustus 2019, terjadi sejumlah peristiwa yang terjadi di lima titik kota di Indonesia yaitu Surabaya, Malang, Semarang, Monokwari, dan Sorong. Peristiwa tersebut bermula ketika masyarakat Papua mengadakan aksi unjuk rasa di berbagai titik di Indonesia dalam rangka memeringati New York Agreement tahun 1962. Khususnya di kota Malang, aksi itu mendapat sambutan dari ormas reaksioner yang menghadang peserta aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sehingga terjadi bentrok antar keduanya. Setelah aksi di kota Malang, keesokan harinya tanggal 16 Agustus 2019 terjadi peristiwa di Surabaya. Bendera Indonesia yang dipasang oleh pemerintah kota Surabaya ditemukan sudah berada dalam saluran air yang berada di depan asrama papua. Hal tersebut menyebabkan berbagai reaksi amarah dari gabungan aparat dan massa reaksioner yang berada di lingkungan tersebut. Berkali-kali gas air mata ditembakan, diikuti dengan makian rasial yang tak kunjung henti diucapkan oleh mereka yang sudah terpancing emosi akibat rusak/jatuhnya bendera di depan asrama papua tersebut. Puncaknya ialah ketika aparat TNI merangsek masuk kedalam asrama papua dengan menggunakan atribut lengkap layaknya sedang menyerbu sebuah markas teroris. Hal itulah yang memicu kemarahan rakyat Papua yang diikuti aksi unjuk rasa di beberapa titik di pulau yang berada di paling timur Indonesia itu.
Peristiwa ini sebenarnya dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Diantaranya ialah sudut pandang aparat penegak hokum, masyarakat Papua, warga kota Surabaya, Organisasi Massa reaksioner, Â hingga sudut pandang seorang warga negara yang cinta pada keadilan dan peduli pada hak asasi manusia. Oleh karena itu, saya akan mencoba menganalisanya melalui berbagai sudut pandang agar cukup adil dan berimbang dalam beropini.
Kasus ini mungkin terlihat sepele pada awalnya, namun sudut pandang aparat, warga setempat serta ormas reaksioner-lah yang membuat peristiwa ini menjadi besar. Berawal dari rusak dan jatuhnya bendera merah putih kedalam selokan, tanpa basa-basi dan dialog apapun aparat dan ormas reaksioner secara membabi buta melontarkan gas air mata disertai berbagai makian berbau rasis kepada mahasiswa Papua yang sedang berada dalam asrama tersebut. Jiwa nasionalisme mereka yang sangat tinggi mungkin dapat kita lihat sebagai alasan dari berbagai tindakan mereka. Sehingga saat melihat adanya bendera yang rusak dan jatuh didepan asrama, amarah mereka langsung mengambil alih fikiran dan hati sehingga terjadilah peristiwa ini. Stereotip yang berkembang di warga setempat dan aparat mengenai isu Papua merdeka pun mungkin bisa dilihat sebagai alasan mengapa mereka secara "tidak manusiawi" mengepung asrama yang berisi saudara-saudara mereka sendiri. Apabila mereka bersabar dan masih menggunakan sifat manusia yang ada pada dirinya, mungkin konflik tidak akan ber-ekskalasi menjadi seperti sekarang ini.
Melihat saudaranya dilakukan semena-mena, rakyat Papua khususnya mahasiswa pun berang dan melakukan berbagai unjuk rasa sebagai bentuk protes bahkan diantaranya berakhir dengan kericuhan. Jika menganalisis dari sudut pandang masyarakat papua, mereka jelas tidak terima saudaranya diperlakukan layanya setengah hewan. Bahkan jika kita tarik lagi, pada awalnya mereka hanya ingin berdemonstrasi dalam rangka memeringati New York Agreement yang juga mendapat hadangan dari berbagai organisasi massa. Sudah sulit untuk menyampaikan pendapat, teman satu sukunya di persekusi didalam asrama, pemerintah yang dianggap kurang memperhatikan Papua sejak lama, sumber daya alam yang terkuras habis, kejanggalan PEPERA 1969, dll. Lengkap sudah alasan masyarakat Papua untuk meluapkan kemarahannya. Bukan hanya kepada pemerintah, tapi kepada seluruh masyarakat diluar Papua.
Papua dapat dibilang sebagai salah satu wilayah di bumi pertiwi yang paling termiliterisasi. Berbagai operasi militer telah terjadi di bumi timur ini diikuti oleh berbagai akar masalah yang telah terjadu. Tidak luput dari apresiasi bahwa pembangunan di era pak pertama Pak Jokowi cukup signifikan dengan adanya trans-papua dan berbagai infrastruktur lainnya. Namun, permasalahan di papua tak sesederhana infrastruktur. Masih banyak persoalan lainnya. Setidaknya menurut LIPI ada beberapa akar masalah yang terjadi di Papua seperti diskriminasi, kurangnya apresiasi atas jasa Papua bagi NKRI, sumber daya alam pun dikeruk oleh negara asing dengan persetujuan kontrak yang bahkan tidak melibatkan warga papua itu sendiri, banyaknya kekerasan politik yang terjadi, rendahnya pelaku ekonomi asal papua, hingga kejahatan HAM yang belum terselesaikan. Terlalu banyak masalah yang terjadi di bumi paling timur ibu pertiwi. Tak heran jika mereka terus berteriak untuk memisahkan diri.
Sebagai seorang warga negara Indonesia biasa, saya sejujurnya cukup kecewa dengan reaksi dan pernyataan Presiden Jokowi mengenai peristiwa tersebut. Secara garis besar beliau hanya meminta untuk saling memaafkan. Dan saya rasa itu tidak cukup untuk membendung konflik yang terjadi akhir-akhir ini. Konflik tersebut dapat kita katakan sebagai puncak dari tekanan menahun, bahkan puluhan tahun sejak Papua resmi menjadi bagian dari NKRI. Presiden seharusnya menjamin bahwa seluruh masyarakat Papua akan mendapatkan perlindungan hukum serta kebebasan berekspresi, bukan alih-alih hanya meminta untuk saling memaafkan.
Sebagai provinsi yang bisa dibilang "diusahakan" untuk masuk kedalam bumi pertiwi, negara ini seharusnya adil dan melakukan aksi nyata jika memang cinta terhadap Papua dan tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada didalamnya. Mulailah dengan memperbaiki kebebasan pers yang ada disana, menghentikan segala pengerukan sumber daya alam yang merugikan, serta yang paling utama hentikan segala tindakan berbau militer untuk mengatasi segala permasalahan di Papua. Sudah terlalu banyak langkah militeristik yang diambil dalam mengatasi konflik yang ada di Papua. Sudah saatnya negeri ini berhenti untuk melakukan diskriminasi kepada mereka yang selama ini diucap sebagai saudara se-NKRI. Pola pikir seperti itu sudah using, dan harus segera dihentikan. Geliat kemerdekaan yang ada di ujung timur Indonesia akan selalu ada jika pemerintah tidak segera menunjukan aksi nyata dan hanya mengandalkan omong belaka serta operasi militer dalam menangani semua kasus yang ada disana. Buktikan jika persaudaraan itu bukan hanya ada di ujung bibir saja.
Tak lupa, bahwa negara kita tercinta merupakan negara hukum, sehingga saya sebagai warga negara biasa sangat meminta bahwa segala sesuatu yang terkait harus segera diproses secara transparan dan seadil-adilnya melalui hukum yang berlaku. Tak peduli siapapun itu, baik aparat, mahasiswa, atau ormas setempat. Tak luput juga komnas HAM saya harap dapat mengidentifikasi mengenai apapun yang terkait dengan pelanggaran HAM yang dapat terjadi dalam peristiwa tersebut.