Mohon tunggu...
Stephanie Dinda
Stephanie Dinda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang tertarik dengan isu kebijakan publik, terutama yang bersinggungan dengan dinamika partai politik, tata kelola pemerintah, hukum, lingkungan, dan gender.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kekejian Genosida Rwanda 1994 Terhadap Kaum Perempuan

21 Desember 2023   09:07 Diperbarui: 21 Desember 2023   09:16 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Genosida adalah suatu tindakan terstruktur untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, suatu kelompok bangsa, ras, agama, atau etnis tertentu. Istilah ini pertama kali dipopulerkan di tahun 1944 oleh Raphael Lemkin, seorang pengacara Yahudi-Polandia. Dalam konteks hukum pidana internasional, kejahatan genosida merupakan kejahatan luar biasa dan sudah menjadi tindakan yang dilarang yang kemudian tertulis pada Konvensi Genosida 1948, International Criminal Tribunals for the Former Yugoslavia (ICTY), serta Rome Statute 1998. Konvensi ini menetapkan genosida sebagai kejahatan internasional dan mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk mencegah dan menghukum pelaku genosida.

Salah satu landmark case genosida yang pernah terjadi dalam sejarah manusia di muka bumi ini adalah Genosida Rwanda pada tahun 1994. Genosida Rwanda adalah peristiwa pembantaian sistematis terhadap kaum etnis Tutsi, serta Hutu moderat, yang terjadi di Rwanda selama 100 hari, terhitung sejak awal dimulai dari tanggal 6 April hingga 15 Juli tahun 1994. Peristiwa ini diperkirakan telah menewaskan sekitar 800.000 orang atau sekitar 70% dari populasi Tutsi di Rwanda. Berdasarkan data United Nations International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dari total 800.000 korban genosida Rwanda, sekitar 70% atau 560.000 orang korban di antaranya adalah perempuan.

 Bentuk kekerasan terhadap perempuan di genosida Rwanda sendiri terbagi menjadi dua. Adapun yang pertama adalah pemerkosaan massal (mass rape). Mass rape ini dilakukan oleh pasukan militer Hutu dan menyasar perempuan muda dari kalangan Tutsi. Menurut beberapa laporan, pemerkosaan paksa ini merupakan suatu bentuk non-killing crime of Genocide yang dapat berimbas pada psikis perempuan Tutsi serta menebarkan teror di kalangan perempuan Tutsi. Tak tanggung-tanggung, menurut data yang dirilis oleh PBB tahun 2014, jumlah perempuan yang mengalami pemerkosaan mencapai 250.000 perempuan dalam rentang waktu 3 bulan masa genosida di tahun 1994.

Tidak hanya pemerkosaan, laporan juga menyebutkan bahwa pemerkosaan sering diikuti juga dengan penyiksaan dan bahkan pembunuhan perempuan Tutsi setelah mereka diperkosa. Meskipun pemerkosaan dalam peperangan merupakan cara umum yang digunakan sebagai non-killing methods, pemerkosaan dalam konteks Rwanda juga didorong oleh pandangan patriarki etnis Hutu yang cenderung melihat perempuan sebagai properti dan barang jarahan hasil peperangan. Mass rape ini dipandang sebagai salah satu bentuk senjata dalam peperangan yang menargetkan psikis para prajurit perang (dalam hal ini kalangan pejuang Tutsi) dan juga turut berdampak, baik psikis maupun fisik, kepada perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. 

Penelitian dari Sentinel Project tahun 2013 menjelaskan salah satu dampak dari mass rape ini bahkan masih hadir dan dirasakan oleh penyintas atau korban setelah konflik berakhir, seperti misalnya kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), stigmatisasi, dan beban psikologis yang berat karena adanya labelling. Labelling yang dirasakan oleh korban setelah konflik berakhir berupa pandangan bahwa dirinya sudah kehilangan keperawanan dan harga diri. Bahkan, tidak sedikit yang merasa bahwa dirinya tidak layak hidup karena ketiadaan harga diri akibat pemerkosaan yang terjadi. Tidak hanya itu, menurut Amnesty International, pemerkosaan ini pada nyatanya juga menjadi sarana penyebaran penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS. Menurut studi African Rights pada tahun 2001, ditemukan bahwa sebanyak 70% dari penyintas mass rape teridentifikasi positif HIV.

Bentuk kekerasan berikutnya juga ternyata berasal dari kalangan sesama perempuan itu sendiri, baik itu seorang pemimpin perempuan, ibu, dan lain-lain. Fenomena ini lebih akrab dikenal dengan Misogini yang mana menyebabkan seseorang membenci perempuan, baik dari pria maupun sesama perempuan. Misogini mengakibatkan seseorang cenderung membenci, merendahkan, dan seringkali mendiskriminasi perempuan. Berbeda dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya, yang mana perempuan sebagian besar menjadi korban dari dampak perang, kali ini terdapat fakta menarik lainnya yang menyebutkan bahwa ada sejumlah perempuan Rwanda yang turut andil menjadi bagian dari pelaku kejahatan terhadap perempuan itu sendiri dalam konteks genosida. 

Fakta ini dikutip dari sejumlah literatur mengenai hal tersebut, salah satunya yang paling ternama berjudul Women's Participation in the Rwandan Genocide: Mothers or Monsters? oleh Nicole Hogg dalam terbitan jurnal International Review of the Red Cross tahun 2010. Dalam literatur disebutkan setidaknya terdapat tiga bentuk yang dapat menggambarkan hal tersebut. Pertama, perempuan sangat mungkin melakukan pembunuhan kepada perempuan lainnya sebagai sikap untuk mempertahankan atau melindungi diri dari ancaman juga mencuri sumber pangan dan sebagainya demi kelangsungan hidup keluarganya.

Kedua, adanya beban identitas multilayer yang sering dialami oleh perempuan membuat perempuan bersuku Hutu secara sengaja melaporkan keberadaan perempuan Tutsi dalam daftar target pembunuhan kepada kelompok bersenjata. Perempuan bersuku Hutu juga memberikan label atau stigma buruk terhadap perempuan bersuku Tutsi; tidak jarang perempuan Hutu secara eksplisit memberikan serangan sosial-verbal kepada perempuan Tutsi, menggambarkan mereka sebagai perempuan tidak bermoral, perempuan berdarah pembunuh dan sebagainya. Ketiga, ada sejumlah perempuan yang berkedudukan sebagai elite politik di pemerintahan yang sama-sama berpartisipasi bahkan menjadi inisiator dan provokator dalam gerakan genosida. Hal ini setidaknya terbukti dari kolusi istri Presiden dan Menteri Urusan Keluarga dan Perempuan Pauline Nyiramasuhuko yang mendorong perempuan Hutu ikut ambil bagian dalam pembantaian perempuan Tutsi.

Lantas, timbul sebuah pertanyaan oleh Penulis bagaimana sebenarnya kejahatan perempuan dalam konteks genosida Rwanda di tahun 1994 terjadi? Pertama-tama, Penulis ingin menyampaikan data yang telah dikumpulkan. Pertama, dalam setiap situasi dan kondisi terburuk kemanusiaan, seperti peperangan, wabah penyakit, dan termasuk diantaranya genosida atau pembunuhan massal, perempuan sebagian besar selalu terperangkap dalam posisi yang paling rentan. Apabila mengacu pada tambahan data yang ada dalam sejumlah artikel, hal ini besar kemungkinan dapat terjadi karena perempuan tidak pernah memperoleh pembekalan edukasi yang memadai mengenai isu-isu sosial-politik di sekitarnya. Selain itu, para perempuan ini besar kemungkinan juga sangat minim pembekalan atas keterampilan untuk berwirausaha dan dalam bidang ekonomi lainnya. Dengan demikian, perempuan tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertindak kritis untuk dapat memobilisasi sumber daya yang potensial sebagai modal dan kendaraan politis dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan perempuan dan anak.

Kedua, Penulis juga menemukan sejumlah data yang bisa dikatakan dapat membuka pikiran para pembaca lebih luas bahwa terjadinya kejahatan perempuan saat genosida di Rwanda adalah adanya fenomena di mana perempuan satu sama lain tidak saling menjaga sebagaimana propaganda semangat yang sering disebarkan seperti saat ini, seperti #WomenforWomen. Hal ini tidak lain bersumber dari terlampau lama terpendamnya permasalahan beban identitas multilayer yang harus dibawa oleh seorang perempuan. Perempuan dari suku Tutsi tidak hanya termarjinalisasi karena identitas mereka sebagai perempuan, tetapi juga masih harus ditambahkan identitas tindihan lainnya sebagai bagian dari kaum suku Tutsi.

Ketiga, satu hal lainnya yang Penulis temukan dan pelajari dari konteks studi kasus ini adalah bagaimana elite politik perempuan yang sudah memiliki privilege dapat memengaruhi kebijakan strategis sekalipun belum tentu menyuarakan opini-opini yang mencerminkan keberpihakannya sebagai perempuan. Fakta ini menunjukkan bahwa konsep keterwakilan politik, baik yang berbentuk formal maupun informal, tidak berjalan sebagaimana mestinya dan bisa dibilang kurang ideal dalam penerapannya. Rekam jejak sejarah Rwanda memperlihatkan bagaimana tidak adanya jaminan bahwa elite politik perempuan akan sama-sama turut memperjuangkan sesama kaumnya di level dasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun