"إرادَتُكَ التَّجْريدَ مَعَ إقامَةِ اللهِ إيّاكَ في الأسْبابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الخَفيَّةِ، وإرادَتُكَ الأَسْبابَ مَعَ إقامَةِ اللهِ إيّاكَ فِي التَّجْريدِ انْحِطاطٌ عَنِ الهِمَّةِ العَلِيَّةِ"
"Kehendakmu untuk tajrid (mengisolasi diri, tidak melakukan usaha) sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam asbab (seorang yang harus berusaha) itu adalah bentuk syahwat atau nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha (asbab) padahal Tuhan memberimu maqam sebagai orang yang seharusnya tidak melakukan usaha (tajrid) itu adalah bentuk kemerosotan kelas."
Penjelasan kutipan ini akan agak panjang karena mengingat topik yang diangkat adalah permasalahan tasawuf (ilmu mistis islam) yang cukup pelik, karena banyak membahas mengenai maqam yang dimana disana dijelaskan lebih detail lagi oleh Ibnu Ajibah mengenai perbedaan antara dua maqam tersebut, mengapa disebut tajrid dan asbab, dan mengapa kita tidak boleh berpindah maqam dari tajrid ke asbab dan begitupun sebaliknya. Tapi setidaknya mari kita ulas bersama-sama dengan menggunakan pendekatan konteks kekinian.
Sebenarnya kita itu pernah ga sih berpikir bahwa untuk tujuan apa kita diciptakan? Kadang ketika kita di posisi yang lebih banyak berdiam diri di rumah suka iri dengan orang yang sehari-hari sibuk bekerja ataupun sebaliknya. Timbul rasa iri adalah bentuk sifat yang sangat manusiawi, tetapi akan menjadi berbeda jika dengan keadaan "iri" tersebut kemudian naik ke level selanjutnya yaitu menegasikan rasa syukur pada tempat atau posisi kita saat ini, entah dalam keadaan lebih banyak berdiam di rumah atau lebih banyak bekerja dan bersosialisasi diluar.
Terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang dalam penggalannya berbunyi
"كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ"
"Setiap orang dimudahkan kepada yang dicipta baginya"
Kanjeng Rasul berusaha menjelaskan kepada kita bahwa setiap manusia itu diciptakan sesuai porsinya masing-masing. Maksudnya bagaimana? Bahwa setiap dari diri kita manakala kita ternyata menjadi manusia yang lebih cenderung banyak bekerja dan bersosialisasi diluar maka itu adalah tujuan kita diciptakan, jangan coba-coba kita memilih jalan lain untuk berubah menjadi manusia yang lebih cenderung banyak berdiam di rumah dengan melakukan kontemplasi.
Dan sebaliknya pula manakala kita ternyata menjadi manusia yang lebih cenderung banyak berdiam di rumah atau mengisolasi diri jangan pernah coba-coba untuk berubah menjadi manusia yang lebih cenderung banyak bekerja dan bersosialisasi diluar. Ini yang ingin coba disampaikan oleh Ibnu Athaillah!
Setidaknya ke dua macam tipe inilah Ibnu Athaillah membagi tingkatan kondisi manusia. Kita bisa melihat 2 tipe ini dalam konteks kekinian yaitu dengan menganalogikan kepada manusia "ekstrovert" dan manusia "introvert".