Mohon tunggu...
Steve Elu
Steve Elu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

STF Driyarkara_2007; Wartawan Majalah HIDUP. Bergiat menulis puisi dan cerpen. Buku puisi pertama: sajak terakhir (Juni 2014)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadi Saksi Iman Di “Pasar” Kita Masing-masing

25 Oktober 2014   02:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:50 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kita sering mendengar ungkapan “dari altar hingga ke pasar”. Ungkapan ini meringkaskan makna utama Ekaristi. Ekaristi yang kita rayakan setiap Minggu, atau juga setiap hari, bukan saja perayaan liturgis yang selesai di depan altar tetapi harus dibawa sampai ke pasar. Ekaristi justru mendapat maknanya ketika ia diaplikasikan dalam kehidupan nyata seperti terangkum dalam perikop Matius 25:35-36: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; Ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; Ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”

Melalui ajarannya ini, Yesus mengajak umat Katolik untuk terlibat aktif dalam mengaktualisasikan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu, pasar adalah perjumpaan orang dari barbagai daerah, suku, bangsa, dan kebudayaan. Di pasar setiap pribadi mencari dan memenuhi kebutuhannya.

Dalam filsafat Yunani Kuno, pasar atau yang mereka sebut agora adalah salah satu tempat yang sangat penting dalam hidup bermasyarakat (polis). Agora (bahasa Yunani: Ἀγορά, Agorá) adalah tempat pertemuan terbuka. Dalam sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, Agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar Agora.

Lantas, apa makna pasar bagi kita saat ini? Apakah yang dimaksud adalah pasar tradisioanal seperti yang diharapkan banyak orang Jakarta dari pemerintahan Joko Widodo ketika masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, yaitu memperbanyak pasar tradisional dari pada membangun mall dan pusat perbelanjaan mewah? Ataukah pasar bagi kita adalah mall dan pusat perbelanjaan mewah itu sendiri?

Pasar Kita

Apapun asumsinya, pasar yang dimaksud adalah realitas kehidupan. Pasar adalah kondisi sosial masyarakat yang saban hari memanggil kita sebagai orang Kristiani untuk mengakatakan sesuatu, berbuat sesuatu, atau mengusahakan sesuatu demi kemajuan masyarakat dan kesejahteraan bersama.

Perayaan Ekaristi adalah perayaan syukur atas rahmat Tuhan yang memampukan kita untuk terjun ke pasar atau pula dalam bimbingan Roh Kudus kita diutus untuk kembali ke pasar. Saya masih ingat pesan pesan Paus Fransiskus saat memimpin Ekaristi penutup Asian Youth Day di Daejeon, Korea Selatan, 17 Agustus 2014. Saat hendak mengakhiri kotbahnya, Paus berpesan kepada orang muda Katolik demikian: “Sakramen-sakramen yang kita rayakan dalam gereja mendapatkan maknanya ketika Anda terlibat dalam persoalan dan pergulatan hidup masyarakat kalian. Karena itu, jadilan orang muda yang terlibat aktif dalam mengatasi persoalan-persoalan di negara kalian masing-masing. Wake Up!” kata Paus Fransiskus dengan tangan teracung memberi isyarat untuk bangkit dan dengan wajah yang berbinar-binar.

Ini berarti bahwa setiap umat Katolik, baik muda maupun tua, punya tanggung jawab yang sama untuk menjadi saksi iman di pasar, mengaplikasikan imannya dalam realitas masyarakat. Praktik iman tidak memandang orang miskin atau kaya, orang sukses atau kere, orang profesional atau petani. Masing-masing kita mempunyai misi yang sama yakni mengambil bagian dalam kehidupan di pasar (medan kerja) kita masing-masing.

Seorang petani menanam dan memanen ladangnya dengan ulet dan senyum terurai sehingga orang-orang yang makan malam di Grand Hyatt Sudirman, Jakarta, dengan tawa lepas dan pulang tidur dengan aman dan tentram. Seroang anggota pasukan kuning menyapu dengan kesabaran ekstra dan kepala dingin, meski tidak kebagian makanan gratis di sepanjang Jalan Sudirman hingga ke Monas saat pesta rakyat usai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sehingga kita berharap bahwa musim hujan yang sebentar lagi akan tiba tidak merendam Bundaran Hotel Indonesia dan sekitarnya.

Demikianpun seorang profesional mampu menjaga stabilitas bisnis, usaha, serta kinerjanya sehingga nilai rupiah semakin menguat setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Tentu tidak sebatas ilustrasi di atas. Masih banyak hak yang bisa kita lakukan sebagai jalan untuk terjun ke pasar. Misalnya, suatu ketika saya datang mengikuti Misa Jumat Pertama di Perkantoran Arkadia, Jakarta Selatan. Di situ saya bertemu dengan Direktur Pertamina Hulu Energi, Ignatius Tenny Wibowo.

Sepintas, kita tidak akan mengenalnya sebagai orang paling utama di PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang berkantor di situ. Ia mengikuti Misa seperti biasa, mengobrol dengan para karyarawan tanpa canggung. Sebetulnya, itu bukalan kesempatan pertama kami berjumpa. Sekitar sebulan sebelum itu, saya pernah ikut Misa Rabu Abu di tempat yang sama untuk mengamati bagaimana Tenny – demikian biasa ia dipanggil – menjalin relasi dengan para karyawannya.

Dari yang saya lihat dan dari pengakuan beberapa karyawannya, Tenny dikenal sebagai sosok yang akrab dengan karyawan-karyawannya. Ia memperlakukan mereka layaknya sahabat. Hal ini juga terkonfirmasi ketika saya berjumpa langsung dengannya. Di tengah-tengah kesibukannya, ia selalu menyempatkan waktu untuk hadir dalam Misa Jumat Pertama bersama karyawannya atau datang ke acara keluarga karyawan. Di hari Lebaran tak sungkan ia mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa kepada mereka yang merayakannya. Lebih dari itu, berkat bantuan Tenny pula pengelola perkantoran Arkadia mau meyediakan tempat Misa dan sholat bagi umat Katolik dan Islam yang bekerja di situ.

Tenny hanyalah salah satu contoh dari ribuan orang yang kita jumpai di kehidupan sosial yang entah sadar atau tidak sudah menjalankan pesan Kristus yakni mengasihi orang-orang yang ada di sekitar kita di pasar. Lantas, adakah kita merupakan salah satu orang yang sudah tampil benar-benar sebagai seorang saksi Kristus sejati di pasar?

Kalau memang kita belum memulainya, hendaklah kita memulainya sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk memulai, tapi juga sebuah ingkar besar akan identitas kekatolikan kita jika kita masih mau menundanya hingga hari esok. Si penyamun yang disalibkan bersama Yesus dijanjikan kebahagiaan Firdaus bukan karena ia buru-buru bertobat sebelum ajal menjemputnya melainkan di hadapan Kristus tak ada lagi pertibambangan teologis, moral, dan hukum selain berserah diri dengan seluruh dirinya. “Yesus, ingatlah aku ketika Engkau datang sebagai raja” (Luk 23:42).

Pasar utama

Dalam Sinode Luar Biasa tentang Keluarga awal Oktober 2014, para Bapa Sinode kembali menegaskan bahwa keluarga adalah awal mula sekolah kemanusiaan, sekolah iman, dan sekolah moral. Karena itu, persoalan keluarga zaman ini hendaknya pula menjadi persoalan Gereja. Kesulitan ekonomi, pendidikan, dan keutuhan janji suci perkawinan haruslah menjadi titik perhatian Gereja dalam menjalankan tugas perutusannya.

Karena itu sinode ini sekali lagi merupakan kesempatan bagi para pemimpin Gereja untuk merumuskan model dan metode evangelisasi yang tepat sasar dalam menyikapi segala dinamikan kehidupan keluarga di zaman ini. Memang, hasil sinode kali ini bukanlah sebuah keputusan final. Karena hasil sinode ini masih akan dipelajari dan direfleksikan oleh semua uskup di seluruh dunia untuk didiskusikan lagi pada sinode pada Oktober 2015 mendatang.

Dengan memberi perhatian besar pada keluarga di awal masa kepemimpinannya, Paus Frasiskus seolah memberi isyarat bahwa pasar kita yang paling pertama adalah keluarga. Jika kita mengamati siklus kehidupan manusia pada umumnya yaitu anak lahir dalam kelurga, didik dan dibesarkan, kemudian membentuk keluarga baru dan seterusnya, maka kita menemukan bahwa pasar yang paling dekat dan bahkan menjadi bagian dari diri kita sendiri adalah keluarga kita. Maka bukanlah sebuah keberanian tanpa arti bila kita merumuskan padanan ungkapan soal relasi Ekaristi dan keluarga seperti di atas yaitu “dari altar hingga ke dapur.” Roh Ekaristi harus berasap hingga ke dapar rumah kita masing-masing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun