Mohon tunggu...
Steve Elu
Steve Elu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

STF Driyarkara_2007; Wartawan Majalah HIDUP. Bergiat menulis puisi dan cerpen. Buku puisi pertama: sajak terakhir (Juni 2014)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untung Tidak Beruntung di Negeri Untung-untungan

4 Desember 2014   03:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:06 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tayangan "Hitam Putih" di Trans 7, malam ini, Rabu 3 Desember 2014, tentang Untung, si guru difabel yang menjadi guru honorer selama lebih dari 20 tahun dengan gaji Rp 300.000 per bulan, bagai oase di tengah hiruk pikuk Indonesia saat ini. Dengan segala keterbatasan fisik yang ia miliki, ia sudah memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Tidak punya tangan bukan berarti ia tidak bisa berbuat sesuatu atau berbagi dengan orang lain.

Tapi, yang menjadi target pengamatan saya adalah gaji yang ia terima. Rp. 300.000 untuk Untung yang sudah mengajar lebih dari 20 tahun. Selama beberapa minggu terakhir, saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa artis atau pemain sinetron dihargai lebih besar dari seorang guru. Saya sempat berpikir-pikir apa yang menjadi keunggulan seorang artis sehingga ia dibayar dengan miliran rupiah, sementara seorang guru hanya 300 ribu seperti yang dialami Untung?

Saya mencoba menganalisanya dengan beberapa pertanyaan perbandingan demikian. Apakah seorang artis dihargai mahal karena tampil di televisi setiap hari untuk menghibur penonton? Atau, karena para artis ini tampil di TV yang disaksikan hingga ke dunia internasional, sementara seorang guru yang mengajar hanya disaksikan oleh murid-muridnya?

Melihat kondisi Untung dan gaji yang ia terima, saya langsung teringat pada Sony Wakwaw dalam sinetron "Emak Ijah Pengen Ke Mekah". Secara fisik, kedua orang ini memiliki keterbatasan fisik. Lapangan dan intensi pekerjaan berbeda. Kalau Untung, dengan keterbatasan fisiknya ia mengajar atau mendidik anak-anak yang adalah masa depan dan harapan Indonesia. Sementara Sony Wakwaw, muncul di televisi tiap malam menghibur para penikmat sinetron selama satu setengah jam (berdasar pada jam tayang) lalu selesai. Intensinya ialah menghibur.

Apakah secara bayaran keduanya sama? Jelas beda. Kalau Untung Rp. 300.000 per bulan, maka Sony sudah pasti lebih. Saya tidak tahu pasti, ia dibayar berapa. Tapi saya bisa memastikan bahwa Sony dibayar setiap satu episode atau sekali tayang. Saya mengandai-andai berdasarkan ukuran nominal yang diterima Untung. Tiap episode katakanlah Sony menerima bayaran sebesar Rp. 300.000. Sinetron ini tayang setiap hari, pada pukul 21.00-22.30 WIB. Dari jadwal tayang tiap hari ini, maka dalam sepekan Sony menerima bayaran sebesar Rp. 2.100.000. Dalam sebulan, Sony dibayar Rp. 9.300.000.

Sekali lagi ini hanya perhitangan nominal yang coba saya buat dengan pengandaian yang muncul begitu saja di pikiran saya. Tapi saya yakin bahwa bayaran untuk Sony pasti lebih. Itu pasti.

Nah, justru di sinilah telak keterusikkan saya. Mengapa guru yang mengemban tugas mencerdaskan bangsa dibayar sangat rendah bila dibandingkan dengan baryaran untuk penghibur bangsa. Kalau dipikir-pikir, seharusnya bayaran untuk tenaga guru di negara kita yang tercinta ini paling tidak mendekati bayaran yang diterima para artis. Entah itu gaji guru yang ditingkatkan atau bayaran untuk para penghibur bangsa yang dipangkas. Meminjam istilah sekarang, ya paling tidak 11-12 lah. Bila perlu, menurut saya, guru perlu dihargai 12, artis 11.

Mungkin ide saya ini tidak akan diterima oleh masyarakat, terutama oleh para artis atau pengagum artis. Tetapi, jika pemerintah punya kebijakan yang akomodatif terhadap ide ini akan sangat menyenangkan. Artinya, seorang guru yang setiap hari memeras tenaga dan pikirannya untuk mendidik bangsa ini perlu dihargai setinggi-tingginya.

Saya tidak tahu persis, apakah lembaga perfilman Indonesia bisa perlahan-lahan mengontrol hal ini? Bila mereka menjalin komunikasi intensif dengan para pengelola Production House dan pemerintah, saya pikir, meski butuh waktu lama, namun hal ini bisa perlahan-lahan diperbaiki. Dengan demikian, kita sedang membangun suatu bangsa yang mencoba menjaga keseimbangan di antara masyarakat. Sehingga guru-guru di Indonesia tidak hanya untung-untugan mengadu nasip dengan bayaran yang sangat rendah.

Nasib Untung, si guru difabel yang dihargai jasanya Rp. 300.000 per bulan, tidak benar-benar beruntung di negeri yang untung-untungan bernama Indonesia ini. Mengapa saya katakan negeri ini untung-untungan? Lihat saja, nasib baik jadi artis bisa kaya raya. Punya duit banyak jadilah politisi, punya banyak bisnis, lalu jadi milarder. Seorang teman saya baru-baru ini mengatakan, Gedung DPR itu bukan tempat berkumpulnya orang-orang yang mau mengabdi kepada masyarakat, tapi lumbung untuk melindungi bisnis dan ambisi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun