Sore hari yang damai di kota Ambon manise selalu menjadi kesenangan kecil yang saya alami. Sembari meregangkan otot dan melepas penat seharian menunggu pembeli di toko kami, saya melangkahkan kaki di jalan Diponegoro. Bersitatap dengan ibu penunggu parkir yang ramah di samping rumah makan Istana Berkat, om-om berbaju cokelat yang menunggu buah hatinya mengasah ilmu di Ganesha Operation, melewati bapak pengayuh becak kelelahan yang sedang bersantai, bung-bung di usia pertengahan dua puluh hingga tiga puluhan yang ngobrol sambil sigap mencari calon penumpang ojek. Berjalan kaki beberapa ratus meter menuju toko buku merupakan kegiatan yang menyenangan buat bibliofili seperti saya.
Di kota kami yang permai ini Dian Pertiwi adalah sebuah toko buku yang setia menyediakan buku-buku untuk menyambangi rak, meja, bahkan tempat tidur para pembaca di kotanya. DP terhitung sebagai pionir toko buku. Silakan ralat bila saya salah. Setia menemani orang-orang yang butuh informasi dan pengetahuan. Seingat saya jauh sebelum kerusuhan 1999, toko buku ini telah berdiri di kawasan Urimessing. Sekarang bertahun-tahun semenjak berdiri kokoh di pusat kota Ambon ini, pemilik DP melebarkan sayap dengan membuka salah satu pusat perbelanjaan modern. Toko buku pun telah menempati lokasi yang baru. Dengan tempat yang lebih besar, lebih nyaman untuk disinggahi para pencari buku. Tidak sedikit rasanya yang juga melewatkan masa kasmarannya berkencan di Dian Pertiwi lawas, yang sekarang diisi oleh toko peralatan. Tak terkira berapa banyak kenangan yang tersublim di hati para pasangan nyong dan nona Ambon.
***
Saya salah satu orang yang menjadi pengagum toko buku ini. Hingga bulan lalu saya coba merintis lapak buku daring. Selain Post Santa milik Teddy & Maesy, toko buku indie lainnya di berbagai kota di pulau Jawa, Dian Pertiwi adalah salah satu pemicu kulminasi keinginan saya jualan buku.
"Saya ingin membuka..., menjual buku." ungkap saya tanpa basa-basi kepada papa suatu sore. "Jualan buku apa untung (laku)?" balas papa. "Laku, lihat saja Dian Pertiwi. Sekarang sudah seperti itu." balas saya dengan sedikit jengkel untuk meyakinkan papa. Waktu itu saya belum tersadar. Kalau selain buku, pernak-pernik stationery juga salah satu ujung tombak yang membuat sebuah toko berjalan lancar. Termasuk DP. Tapi niat saya sudah tak terbendung. Bukannya tidak berhitung. Saya mau ini bukan sekedar angan-angan belaka. Sejujurnya niatan awal saya cukup sederhana. Saya ingin mengenalkan buku-buku terbitan Marjin Kiri. "Sejarah untuk Pembaca Muda" tepatnya. Itu saja. Itulah musabab di suatu malam akhirnya saya mencoba memberanikan diri mengirim surel ke mas Robby. Menjajal kemungkinan mengambil buku dari penerbit ini.
***
Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Hingga memasuki Oktober. Ksatria Buku sudah dirilis di instagram. Saya meniatkan mendisplay buku di meja kecil. Di dekat meja kasir. Setelah satu minggu lebih, giliran buku di atas meja panjang beralaskan motif batik saya gelar di depan toko. Saya pun jarang berjunjung ke DP. Pertama kali jualan di depan rumah. Sembari menata buku. Wuih. Sungguh tak terbayang. Entah kenapa. Rasanya sungguh canggung. Keringat dingin terus menetes ke bahu. Di saat yang lain jualan nasi kuning. Nasi uduk (di mobil). Saya jualan buku dekat trotoar. Di samping jualan emas.
Di kesempatan ini saya tidak mau membahas soal promosi. Apalagi omset. Ada hal lain yang mengusik saya. Selepas membaca lecture Neil Gaiman soal perpus, minat baca (yang akan disertakan dalam antologi narasi #AkudanBuku), sebelum melihat orang di sekitar saya mencari buku, (seperti di tempat lain, buku belum jadi kebutuhan penting di sini) tentunya saya harus terlebih dahulu menumbuhkan kegemaran membaca-dengan menyediakan bacaan yang tepat- di lingkungan saya. Ada sekolahan beberapa meter dari rumah saya. Siswanya tiap kali lalu-lalang melewati lapak saya.
Dari Gaiman, saya kepikiran kalau ingin menumbuhkan kesukaan membaca, pertama-tama mulailah dengan memberikan akses bacaan yang -katakanlah- menarik bagi mereka. Dalam hal ini anak-anak SMA-SMP kira-kira novel ringan adalah titik mula yang pas. Buku-buku sastra dan Marjin Kiri mungkin belum menggugah perhatian mereka. Saya sempat berpikir kalau harus jualan novel Tere liye saja.
Dalam hal ini saya bisa menumbuhkan (memupuk, memangnya tumbuhan) kecintaan mereka akan membaca dengan menyediakan bacaan "starter" seperti Enid Blyton (kabarnya sudah cetak ulang), Tere Liye (iya benar), dsb. Saya rasa ada korelasi positif membaca karya lima sekawan dengan kegemaran membaca seseorang. Hal ini saya jumpai ketika mendengar cerita seorang dosen sastra yang baru kembali studi. Beliau bercerita dengan bangga koleksi perpustakaan milik orang tuanya waktu ia masih anak-anak. Si ibu mengaku melahap habis buku-buku Enid Blyton, majalah Bobo, disusul nama-nama pengarang yang terasa asing bagi telinga saya-namun tetap saya coba dengar seksama-disebutkan satu demi satu dengan penuh antusias. Bangga dengan bacaan yang disediakan sang orang tua. Saya segera membayangkan anak perempuannya yang santun juga seorang pembaca ulung. Buah hati "Bunda" ini pasti diberikan asupan bacaan yang cukup oleh sang ibu. Namun sayangnya koleksi berharga tersebut habis lenyap ketika kerusuhan melanda kota kami tercinta.
Setelah menjajal novel, buku cerita ringan, buku bergambar, komik apa pun itu. Kelak para pembaca akan "naik tingkat" mencari bacaan lainnya. Misalnya mereka akan mencoba membaca cerpen milik Kuntowijoyo, Eka Kurniawan, Bernard Batubara, dan Dea Anugerah. Tidak lagi canggung melahap puisi-puisi M.Aan Mansyur, Esha Tegar Putra, Joko Pinurbo, dan Theoresia Rumthe. Bagi saya begini. "Nggak apa-apa menyediakan buku-buku seperti itu untuk merangkul calon pembaca". Di samping tetap menyediakan buku-buku bagus yang saya rasa patut untuk dibaca.