Harga buku (luar) impor yang terjangkau bukanlah sekedar mimpi. Kemarin education evangelist Kreshna Aditya (KA) berbagi pengalamannya berkunjung ke India. Pengamatan @kreshna yang menarik dapat dibaca disini. Berkaca dari apa yang terjadi di India, KA menuliskan beberapa alasan mengapa secara umum buku impor di India lebih murah ketimbang Indonesia. Bagi saya hal tersebut seakan mencelikkan mata semua orang. Ternyata ada toh "formula" untuk membantu menekan harga buku impor yang beredar di pasaran.Â
Bayangkan buku-buku akademik bermutu dapat diakses oleh perguruan tinggi kita. Tidak lagi lazim seorang mahasiswi menenteng buku-buku berat bersampul hitam putih. Karya-karya masterpiece sastrawan dunia dalam bahasa Inggris terserak rapi di meja kala perbincangan hangat siswa-siswi di sekolah. Beragam buku impor berada berdampingan dengan buku lokal untuk memuaskan hasrat bacaan semua lapisan masyarakat. Sekali lagi coba kita bayangkan akhirnya buku impor tidak lagi menjadi monopoli masyarakat kelas menengah atas Indonesia.
Industri perbukuan kita dapat diupayakan untuk melahirkan kebijakan buku impor dengan harga yang bersahabat. Dengan harga buku yang jauh lebih murah dapat dipastikan profit per buku akan jauh lebih sedikit. Hal ini tentu saja akan membuat banyak penerbit melakukan kalkulasi bisnis. Melengkapi catatan tersebut, Prof Iwan Sanoto dari ITB memberi pernyataan menarik. Kalau buku "Capital in the 21st Century" yang ditulis Thomas Piketty tersedia di toko buku Indonesia seharga secangkir kopi di kedai kopi modern. Buku ini belum tentu akan dibeli khalayak umum. Apakah dengan harga jauh lebih murah, lantas banyak orang akan antusias membeli buku ekonom Prancis itu?
Selayaknya India, Indonesia pun bisa memberikan kemudahan yang sama kepada masyarakatnya. Asalkan ada sebuah pemicu/trigger yang lebih besar yaitu minat membaca masyarakat. "Daya baca masyarakat Indonesia harus lebih tinggi dari saat ini untuk memungkinkan model India bisa diadopsi Indonesia. Daya baca tinggi dimulai dari mendorong gemar membaca." tulis Kreshna Aditya soal prasyarat murahnya buku impor.Â
Menurut saya minat baca merupakan pekerjaan rumah besar bagi semua orang yang memiliki kepedulian terhadap kemajuan bangsa. Ada harapan yang bertumbuh. Sedikit demi sedikit gerakan literasi menunjukkan perkembangan yang berarti. Kita dapat melihat banyaknya gerakan membaca di banyak daerah. Lahir komunitas membaca. Maraknya kesadaran membaca di masyarakat lewat kehadiran Taman Bacaan Masyarakat. Bahkan di Bandung ada wacana tiap kelurahan punya 1 perpustakaan. Namun menurut pandangan saya perlu diperhatikan beberapa faktor lain yang tidak kalah penting selain menumbuhkan minat membaca. Faktor ini saya kira akan saling beririsan bagi terwujudnya buku impor murah.
 Biaya logistik Indonesia masih cukup tinggi.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah biaya logistik di Indonesia. Menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) yang dikutip dalam infografis Intisari September (2015), biaya logistik di Indonesia mencapai 24% dari Produk Domestik Bruto. Jika diuangkan akan senilai Rp.1,8 Triliun per tahunnya. Logistic cost ini termasuk tertinggi di dunia, jika dibandingkan dengan negara tetangga kita, Malaysia hanya 15% dan kekuatan ekonomi dunia US & Jepang yang hanya 10%. Mahalnya biaya logistik cukup memberatkan pembeli buku impor. Sebagai contoh bagi saya yang berada di Ambon, buku-buku baru baik lokal atau impor harus dikirimkan lewat Jakarta. Books & Beyond atau Periplus akan mengirimkan buku pesanan saya dari Jakarta. Keduanya memakai jasa pengiriman TIKI yang "memaksa" saya merogoh kocek sebesar Rp.50.000 per kg paket. Biaya logistik termasuk faktor komponen penentu harga buku yang dijual. Kita juga tidak menutup mata bahwa biaya logistik adalah faktor penghambat ekspansi perusahaan dalam memperluas penyebaran gerai ritel.
Satu hal menarik lainnya adalah masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Dikutip dari Intisari September (2015), tingkat pengangguran terbuka nasional saat ini mencapai 5,94%. Dan persentase tertinggi ada di Maluku yaitu sebesar 10,21%. TPT yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak angkatan kerja yang tidak terserap pada pasar kerja. Kelompok ini adalah salah satu segmen pasar yang besar bagi penjual buku impor. Berada dalam umur produktif, masih energik, punya mobilitas tinggi, haus akan pengetahuan dan informasi baru. Indikator ini sedikit banyak akan memproyeksikan seberapa banyak buku yang bisa diserap pasar.
Kita pikirkan, ketika kelak harga buku impor sudah semakin terjangkau. Apakah daya beli masyarakat terhadap buku impor sudah ada? Dengan belum meratanya ekonomi masyarakat dikhawatirkan sebanyak apapun buku bagus yang beredar di toko buku. Tidak begitu banyak mempengaruhi minat orang-orang untuk membelinya. Akhirnya, kita semua berharap kelak fenomena ini tidak terulang lagi. Buku impor lebih mudah dinikmati masyarakat yang dekat dengan pusat distribusi buku dan uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H