Hal tersebut disampaikannya dalam pidato di Singapura pada Selasa, 24 Agustus 2021. Dia menyadari bahwa mata dunia sedang tertuju pada Afghanistan dan keputusan AS untuk hengkang dari sana.
Menurut Harris, selama 20 tahun lamanya banyak anggota militer AS memberikan nyawa mereka di Afghanistan, begitu pula dengan anggota sekutu dan mitranya. Dia pun mengatakan bahwa keputusan Presiden Joe Biden untuk mengakhiri perang merupakan keputusan yang berani dan benar
Senada dengan pernyataan Presiden AS, Kamala Harris menekankan bahwa tujuan AS telah tercapai. Sebelumnya, Biden mengungkap bahwa tujuan AS adalah mengalahkan Al-Qaeda, bukan untuk pembangunan negara.
Dalam lawatannya ke Singapura tersebut, Kamala juga menyatakan bahwa AS mendukung sekutu dan mitranya dalam kasus Laut Cina Selatan. Menurut dia, China terus memaksa dan mengintimidasi serta membuat klaim atas sebagian besar Laut Cina Selatan.
Klaim tersebut, lanjut Harris, telah pengadilan arbitrase pada 2016. Dia juga menyebutkan bahwa tindakan Beijing merusak tatanan berbasis aturan dan mengancam kedaulatan negara.
Wapres AS tersebut berujar, visi mereka mencakup kebebasan navigasi, yang sangat penting bagi semua bangsa. Pasalnya, mata pencaharian jutaan orang bergantung pada miliaran dolar dalam perdagangan yang mengalir melalui jalur laut ini setiap hari
Meski demikian, Harris menekankan AS tidak akan berusaha membuat negara-negara memilih harus berpihak pada siapa. Keterlibatan AS di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik juga tidak melawan satu negara.
Kemitraan AS di Singapura, di Asia Tenggara, dan di seluruh Indo-Pasifik merupakan prioritas utama, kata Kamala Harris. Ia menambahkan kawasan itu sangat penting bagi keamanan dan kemakmuran negara.
Ia juga mengumumkan bahwa pemerintah AS menawarkan untuk menjadi tuan rumah pertemuan tahunan forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 2023, sebuah kelompok yang mencakup Tiongkok dan AS
Tak hanya itu, dalam pidatonya, Harris juga menyinggung kondisi Myanmar. Dia pun mengutuk hilangnya demokrasi di sana. Seperti diketahui, sejak kudeta pada Februari, Myanmar berada di bawah kekuasaan militer.
Sementara itu, peneliti Milken Institute dan mantan Duta Besar AS untuk Bank Pembangunan Asia Curtis Chin menuturkan bahwa AS membutuhkan poros menyeluruh ke Asia.Â