Tanggal 30 Mei 2020 lusa kemarin, menjadi salah satu momen bersejarah bagi Chelsea sebab mereka berhasil mengalahkan Manchester City dengan skor 1-0, yang membuat tim asal London ini meraih gelar UCL keduanya sepanjang sejarah.
Capaian ini tentu menjadi angin segar bagi anak asuhan Thomas Tuchel, setelah mereka sebelumnya kalah di babak awal EFL Cup, kalah di final FA Cup, dan "hanya" mampu finish di urutan keempat ajang Premier League 2020/2021.
Namun, bila berbicara mengenai laga final melawan Manchester City lusa kemarin, justru penulis menilai kendali permainan lebih didominasi oleh Manchester City. Namun memang, mereka terlihat sangat kesulitan menerobos area pertahanan Chelsea.
Sebaliknya, Chelsea terlihat tak begitu banyak memegang kendali permainan, terbukti dari ball possession yang hanya mereka kuasai sebesar 39% saja, namun mereka sangat efektif dalam memanfaatkan peluang ketika menguasai bola.
Puncaknya adalah di menit ke-42 di babak pertama, dimana Mason Mount yang sangat jeli melihat ruang kosong di pertahanan City. Mount dengan sigap melepas throughball yang sukses disambar oleh Kai Havertz dan dikonversikan menjadi gol di gawang yang sudah kosong ditinggal oleh Ederson saat ingin merebut bola dari Havertz.
Namun, Chelsea dapat mengalahkan Manchester City di final UCL ini bukan semata-mata karena hanya mampu bermain lebih efektif saat memegang bola saja. Setidaknya ada 3 alasan pokok yang menurut penulis berandil besar dalam kemenangan Timo Werner dkk tersebut.
Pertama, hampir semua pemain Chelsea bermain dalam top performance, terutama Kai Havertz dan N'Golo Kante. Kedua nama ini sengaja secara spesial saya sebut, karena memang keduanya adalah 2 aktor utama kemenangan Chelsea selain pelatih mereka, Thomas Tuchel.
Kai Havertz sendiri kembali bermain sebagai starter, setelah di 3 laga sebelumnya posisi Havertz diisi Christian Pulisic atau Hakim Ziyech. Havertz pun membayar tuntas kepercayaan Tuchel dengan bermain fantastis dan mencetak satu-satunya gol kemenangan Chelsea.
Tak hanya soal gol, Kai Havertz juga menjadi salah satu sumber kreativitas Chelsea di laga final tersebut dengan menciptakan beberapa peluang penting, salah satunya adalah umpan kunci ke Timo Werner di babak pertama, lalu juga kepada Christian Pulisic di babak kedua. Sayang, keduanya gagal berbuah gol tambahan untuk Chelsea.
Catatan impresif Havertz ini sekaligus membungkam para media yang diawal musim kerap melabelinya dengan sebutan "Flop", ketika membandingkan prestasinya di Chelsea dengan harga fantastis yang dikeluarkan Roman Abramovich untuk dirinya.
Di lain sisi, N'Golo Kante pun tampil tak kalah apik dari Kai Havertz. Penghargaan "Man of the Match" yang diberikan kepadanya seusai laga menjadi saksi bisu penampilan gemilangnya pada malam itu. Itu pun menjadi penghargaan "Man of the Match" keempatnya secara beruntun di pertandingan UCL bersama Chelsea.
Kante yang kembali bermain seusai pulih dari cedera, menampilkan top performance seperti yang selalu ia lakukan seperti biasa. Kesigapannya dalam memutus serangan City sangat jelas membuat para pemain The Citizens frustasi.
Selain itu, Kante juga tergolong cepat dalam membantu build-up serangan. Karena keberadaan Kante yang bisa meng-cover area yang sangat luas, banyak memes mengenai Kante bermunculan di sosial media, semisal ungkapan "70% of Earth is covered by water, the rest is covered by N'Golo Kante".
Tak hanya Havertz dan Kante, pemain The Blues lainnya pun menunjukkan determinasi yang tak kalah tinggi, seperti Reece James, Antonio Rudiger, dan Edouard Mendy yang bermain gemilang mengawal lini belakang Chelsea sehingga bisa menghasilkan clean sheet di akhir laga.
Kedua, kematangan formasi Thomas Tuchel akhirnya membuahkan hasil. Yup, mematenkan formasi 3-4-2-1 sejak menggantikan posisi Frank Lampard di Chelsea, akhirnya kematangan formasi Tuchel ini berhasil membawa trofi UCL ke Stamford Bridge.
Chelsea yang "dipaksa" bermain 4-3-3 dibawah asuhan Lampard, menyebabkan mereka dilanda kekalahan beruntun. Namun, semua berubah semenjak kedatangan Tuchel dan formasi 3-4-2-1 miliknya diimplementasikan di Chelsea.
Formasi 5 bek tersebut sukses mereformasi gaya permainan Chelsea, dan seketika membuat mereka menjadi tim yang ditakuti, sesuai harapan Tuchel di awal masa kepelatihannya di Chelsea. Meskipun harus mengorbankan salah satu dari Havertz atau Ziyech untuk duduk di bangku cadangan, tapi Tuchel terbukti paham betul apa yang ia lakukan.
Dan di laga final lusa kemarin, terlihat jelas bagaimana pertahanan berlapis yang solid dari Chelsea membuat City yang bahkan sudah bermain dengan 6 pemain menyerang sekalipun, tak mampu menciptakan 1 gol pun.
Hal itu tercermin dari bagaimana terkuncinya posisi Kevin De Bruyne di lini tengah Chelsea. Sementara di sisi sayap, Ben Chilwell selalu siaga menghadang pergerakan Riyad Mahrez dan Reece James membuat Raheem Sterling tak berkutik.
Kalaupun kedua sayap City tersebut lepas dari markingnya masing-masing, masih ada Antonio Rudiger atau Cesar Azpilicueta yang meng-cover posisi kedua bek sayap Chelsea tersebut.
Jadi mau tidak mau, Manchester City tidak bisa memainkan permainan umpan pendek yang biasa mereka mainkan untuk menembus pertahanan berlapis dari Chelsea, sehingga long-pass menjadi jawaban.
Masalahnya, Guardiola sedang memakai strategi false-nine, sehingga tidak memainkan Aguero ataupun Gabriel Jesus sebagai target-man. Situasi serba salah inilah yang penulis sinyalir menjadi sumber kebuntuan Manchester City, sampai akhirnya Aguero dan Jesus dimasukkan di babak kedua.
Ketiga, kebiasaan rotasi Guardiola di laga penting terbukti menjadi sebuah blunder. Yup, di laga ini Guardiola lebih memilih Ilkay Gundogan sebagai pivot alih-alih Fernandinho atau Rodri, dan menjadi salah satu faktor penting kekalahan Manchester City di laga final UCL hari Minggu kemarin.
Ya, Tuchel sendiri dalam wawancara seusai laga, mengakui bahwa dirinya terkejut ketika melihat tak ada nama Fernandinho dalam line-up Manchester City. Tuchel juga mengatakan bahwa Guardiola memilih line-up yang sangat offensive.
Namun, nyatanya perubahan formasi Pep tersebut justru menjadi boomerang bagi timnya. City dengan 6 penyerang tetap tak mampu menjebol pertahanan ketat Chelsea, sementara Chelsea memanfaatkan absennya Fernandinho dengan cemerlang pula.
Hal itu karena Ilkay Gundogan yang menggantikan posisi Fernandinho, bermain lebih banyak di area permainan Chelsea dan meninggalkan celah di lini tengah Manchester City.
Biasanya apabila Fernandinho yang bermain, gap antar lini belakang dan lini depan City tak akan terlalu kentara, sebab Fernandinho bermain lebih kebelakang dan cenderung berada di garis tengah lapangan. Ibaratnya Fernandinho menjadi jembatan penghubung, sekaligus pemutus aliran bola lawan.
Jadi, absennya Fernandinho menurut penulis justru membuat para penyerang bekerja ekstra keras untuk mengembangkan permainan. Maka dari itu, dimasukanlah Fernandinho di babak kedua. Sayangnya, pergantian tersebut cukup terlambat dan gagal membuat perubahan di papan skor.
***
Sebagai penutup, Chelsea memang menurut penulis secara keseluruhan pantas menjadi juara karena kematangan formasi Tuchel dan kerjasama tim yang apik, serta ditambah dengan adanya blunder krusial Pep Guardiola dari segi taktik. Congratulations, Chelsea!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H