"Cicip dulu baru tahu rasanya" adalah kata-kata yang sering diucapkan oleh nenek saya yang konteksnya adalah makanan, namun ternyata juga bisa relate dengan kasus plagiarisme yang menimpa saya beberapa hari lalu.
Sebelum menjadi content writer atau penulis di Kompasiana, saya cenderung menganggap enteng plagiarisme. "Halah cuma nyomot beberapa kalimat doang, gak apalah" pikir saya dahulu. Akhirnya, mungkin sekarang saya diberi ganjaran dari pemikiran saya tersebut.
Bagaimana tidak, dalam tempo waktu 2 hari saya menemukan ada 2 artikel saya di Kompasiana diplagiat oleh Youtuber yang tidak bertanggung jawab. Kata Mas Irfan, akhirnya saya ngerasain juga bagaimana rasanya karyanya dijiplak. Bukan kaleng-kaleng memang rasanya, jengkel sejengkel-jengkelnya.
Bukan main-main, artikel saya dicomot utuh hampir 100% dan digunakan sebagai sebuah script video Youtube. Parahnya lagi, pelaku malah tidak mengakui bahwa dirinya sudah melakukan tindakan plagiarisme.
Firasat saya, si pelaku mengira artikel yang dipakai sebagai script video Youtube tidak tergolong sebagai tindakan plagiarisme, meskipun dijiplak bulat-bulat hampir 100%. "Toh yang dijiplak juga dalam bentuk artikel, bukan video, kalau video baru plagiat" mungkin pikir si plagiat.
Padahal, menurut kajianpustaka.com, Plagiarisme atau plagiat adalah "Suatu perbuatan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain yang selanjutnya diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya".
Jadi, jelas bahwa mau dalam bentuk apa pun (artikel, video, slide presentasi, foto, jurnal, dll.), menjiplak ide, gagasan, atau karya orang lain tanpa mencantumkan sumber, itu disebut plagiarisme.
Hal ini pun tidak hanya terjadi pada saya dan bukan pertama kalinya terjadi pada Kompasianer. Pak Hendro, Mas Yose Revela, Mas Irfan, Bang Gui, dan banyak Kompasianer lain sudah merasakan bagaimana emosinya ketika artikel diplagiat.
Hal ini kemudian membuka mata saya bahwa plagiarisme ini sering kali dianggap remeh terutama di Indonesia. Entah karena memang tidak mengerti apa arti plagiarisme, sengaja melakukan plagiarisme karena malas, atau karena UU yang mengatur plagiarisme ini kurang ditegakkan di Indonesia alias kurang membantu/berpihak para kreator (termasuk penulis).
Maka dari itu, untuk mengurangi angka plagiarisme di Indonesia, saya berpendapat bahwa penting bagi masyarakat untuk dikenalkan sedini mungkin dengan pembelajaran atau pengetahuan mengenai plagiarisme tersebut.