Pernahkah teman-teman punya sahabat yang terlihat tenang dan santai, namun tiba-tiba orang tersebut mentalnya drop atau nyatanya sahabat tersebut justru sedang stress atau depresi? Bila pernah, bisa jadi orang tersebut sedang mengalami "Duck Syndrome".Â
Apa itu duck syndrome? Menurut Stanford University selaku pencetus frasa ini, duck syndromeadalah istilah yang menggambarkan perilaku seseorang yang tetap tenang dan terlihat baik-baik saja, meski sebenarnya ia sedang menghadapi banyak persoalan atau tekanan.Â
Hal tersebut sama seperti bebek yang terlihat berjalan dengan tenang di air, namun nyatanya kaki-kakinya sedang berusaha keras di bawah air untuk bergerak.
Gejala duck syndrome sendiri sering ditemui pada murid SMP, SMA, mahasiswa universitas, hingga orang-orang yang baru saja memasuki dunia kerja atau yang baru membangun bisnisnya sendiri.
Pemilik channel Youtube Korea Reomit yakni Jang Hansol merupakan salah satu Youtuber atau selebriti yang menurut saya terkena duck syndrome. Hansol selama ini dikenal sebagai pribadi yang ceria, semangat, dan selalu terlihat antusias dalam vlog yang dibagikan ke akun Youtube miliknya.
Namun siapa sangka, pada 12 Juni 2020 yang lalu ia membuat video curhat, yang mengindikasikan bahwa mentalnya sedang down dikarenakan tuntutan pekerjaan yang berat sebagai Youtuber/Content Creator. Hal itu pun sempat membuatnya vakum membuat video beberapa saat.
Untungnya, Hansol segera mencari bantuan medis ke psikolog. Setelah konsultasi tersebut, ia kini dapat melanjutkan aktivitas vlognya seperti biasa, meski masih tetap mengkonsumsi obat-obatan. Dari kasus Hansol, kita tahu seberapa mengganggunya duck syndrome ini bila tidak ditangani secara benar.
Meski cenderung ditemui pada remaja, namun duck syndrome pun tak menutup kemungkinan terjadi pada orang dewasa mau pun lansia. Secara umum, ada 3 gejala yang menunjukan tanda-tanda kamu sedang mengalami duck syndrome, antara lain:
1. Kesulitan Konsentrasi
Biasanya, orang yang terkena duck syndrome akan cenderung sulit berkonsentrasi. Hal itu sebab mereka seringkali merasa terbebani dengan ekspektasi dan target yang harus mereka capai, padahal kemampuan atau ilmu mereka belum cukup mumpuni untuk mencapai target tersebut.
Nah, banyak orang yang mengakali kesulitan konsentrasi ini dengan cara yang bervariasi. Di luar negeri, narkotika, alkohol, dan rokok adalah beberapa "pelarian" yang lazim.Â
Sementara di Indonesia, alkohol dan rokok pun dijadikan solusi bagi beberapa orang, namun kebanyakan dapat berkonsentrasi setelah menenggak segelas kopi saja.
2. Stres/Depresi
Bila rokok, kopi, atau alkohol yang dianggap sebagai solusi nyatanya gagal membuat penderita sindrom bebek berkonsentrasi, maka tak jarang kita temui beberapa dari mereka ujung-ujungnya mengalami stres/depresi berat, sebab mereka seakan sudah kehilangan solusi (harapan), sementara ada goals yang harus mereka capai.