Kurban yang dilaksanakan pada musim Haji atau bulan Dzulhijjah sedianya datang mengahampiri kita di bulan Juni 2024 ini. Banyaknya trotoar di hamparan kota madani; area Jabodetabek memberikan saklar kehidupan bagi kaum Tawakkal di sektor Peternakan negeri tercinta. Tak ayal, jutaan bahkan miliaran kambing dan sapi-tapi tidak termasuk ayam dan entok ya,hehe- dijajakan setiap musim Haji ini datang. Gemerlapnya cuan di ibu kota serta wilayah penyangga ikut andil dalam skema impor peternakan di seantero Nusantara. Sebut saja wilayah penghasil ternak terbaik seperti; NTT, Lombok, Jateng, Jatim, serta wilayah lainnya. Mereka berduyun-duyun datang mengirimkan hasil produksi ternak terbaik untuk dapat ditransaksikan secara komersial di Jabodetabek. Walaupun potensi serta data statistik menunjukkan bahwa penjualan dan pembelian hewan Kurban banyak berasal dari Jabodetabek, tidak menafikan juga bahwa potensi ekonomi dari bisnis ini sangat dominan di seluruh negeri. Preferensinya sangat menggiurkan; dari skema Kurban Baznas RI tahun 2018 mengindikasikan bahwa; apabila umat muslim tiap kabupaten/kota seluruh Indonesia menyembelih sapi  sebanyak 300 ekor, maka totalnya akan mencapai 124.000 ekor (dikali 416 kabupaten/kota). Jika harga sapi mencapai rata-rata Rp 15.000.000 per ekor, maka diperoleh angka Rp 1.872.000.000.000. Sangat menggiurkan bukan?.
Dalam ekonomi Islam dikenal dengan skema filantropi yang menitikberatkan pada 4 macam hal yaitu; Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf. Apabila dirunut, Kurban sangat dominan dalam hal filosofis Ziswaf- Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf-tersebut. Dimana Zakat merupakan jenis filantropi yang hanya dikeluarkan oleh orang tertentu serta penerima tertentu dengan kadar tertentu pula. Walaupun berbeda dengan konsep serta hududiyat-ketentuan- Kurban, namun tetap syarat atas nilai yang terkandung dalam pelaksanaan. Memang Kurban tidak mensyaratkan ketentuan minimal Kurban-namun, batas maksimal- serta tujuan pemberiannya, akan tetapi tetap menitikberatkan pada konsep tazkiyatun nafs-pembersihan diri- bagi hamba yang memberikannya.
Begitu juga Infak yang mempunyai nilai kesamaan yang terkandung dalam Kurban. Infak mempunyai ketentuan bahwa apa-apa yang diberikan harus memuat unsur materi. Apabila melihat konsep dan realisasi Kurban, tentunya kita sudah tahu bahwa pelaksanaannya juga sangat erat dengan nilai komersial. Bagaimana tidak?, realitas tanpa batas bisnis ini bisa mencapai angka triliunan rupiah hanya dalam semusim saja. Tentunya, para peternak, pengepul, penjual hewan Kurban sampai kebutuhan komplementer seperti penyewaan lapak, penjual pisau potong, sampai jasa pemotongan, dan kurir akan merasakan economic impact dari realitas ritual musiman ini.
Tidak sampai di situ saja, nilai filosofis Sedekah dalam Kurban juga ikut membuat ritual musim Haji ini begitu dalam maknanya dan kesakralannya pula. Konsep sedekah pada dasarnya berbeda dengan infak dari ketentuan materi. Sedekah tidak harus berupa materi, bahkan dalam Hadits dikatakan bahwa "Senyum manismu di hadapan saudaramu adalah sedekah." (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi). Sudah barang tentu Kurban akan membawa kebahagiaan teruntuk kaum papa yang rela berjubel demi mendapatkan kebahagiaan di musim ritual ini. Tidak hanya kaum papa saja memang, para stakeholder yang berkepentingan juga mendapatkan senyuman dari keuntungan yang didapatnya.
Akan tetapi, nilai filosofis Wakaf yang terkandung dalam Kurban harus diproses dua kali penyaringan. Mengapa demikian?, karena Wakaf pada dasarnya harus berkembang tanpa mengurangi kadar modal pokok yang diserahkan oleh Wakif-orang yang berwakaf- serta nadzirnya-pengelola Wakaf- harus amanah. Berbeda hal dalam realitas hewan Kurban yang langsung dihabiskan pada saat proses penyembelihan dan pendistribusian. Hal ini tentunya membutuhkan dua kali proses agar Kurban dapat dikatakan Wakaf, contohnya; modal Wakaf bisnis peternakan di sebuah wilayah harus terus dikembangkan walaupun penjualannya untuk keperluan Kurban.
Dari aspek bisnis tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh lapisan stakeholder pada musim Kurban diantaranya; Bagaimana memberikan rasa adil terhadap peternak dan pengepul?Bagaimana menstabilkan inflasi?Bagaimana menjaga kebersihan trotoar dan jalan kota?Bagaimana mengawasi Kesehatan hewan ternak?Bagaimana membiasakan umat menggunakan jasa Rumah Potong Hewan (RPH)?
Keseluruhan pertanyaan tersebut sedianya perlu dijawab sebagai rekomendasi pelaksanaan Kurban dari tahun ke tahun agar lebih baik. Rutinitas tahunan ini tentunya sangat berdampak terhadap kebahagiaan seluruh umat bahkan bukan hanya muslim saja, melainkan saudara non-muslim ikut merasakan kue ritual tahunan ini. Pada nilai sosialnya, tentulah sangat terasa manakala kita telaah lebih lanjut melalui ekonomi berbasis sosial dalam skema filantropi Islam. Ziswaf merupakan skema andalan dan khusus dalam ekonomi Islam. Sudah barang tentu bahwa skema tersebut sangat memperhatikan efek ekonomi berkeadilan dan inklusif terhadap seluruh lapisan masyarakat. Sejatinya, skema filantropi Islam sudah diterapkan dahulu oleh para Anbiya Wal Mursalin -Nabi dan Rasul- sebagai dasar dan acuan umat Islam atas validitas kebenarannya. Sekarang, Kurban juga filantropi Islam memberikan warna dalam kancah ritual musim Haji ini dikala para penjaja hewan Kurban Bersama melaksanakan tugasnya.
Ahmad Afif, Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah Islamiyah (MUI-Pusat) dan Sekretaris Lembaga Amil Zakat (LAZ) Cendekia Amanah, Depok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H