Mohon tunggu...
Steven Saunoah
Steven Saunoah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Filsafat UNWIRA-KUPANG
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Terkadang menulis membuat saya mengekspresikan segala jiwa. Tulisan yang saya senangi adalah puisi. Jika jatuh maka bangkit lagi. Never Give Up.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetangga yang Bercerita tentang Gembala

4 Februari 2023   09:04 Diperbarui: 4 Februari 2023   09:08 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TETANGGA YANG BERCERITA TENTANG GEMBALA

*Fr. Rein Fereinto

Pada mulanya adalah misa. Misa itu memperdengarkan aku sebuah lagu dan aku kenyang. Setiap kali mengikuti misa, aku sering sekali mendengar lagu Tuhanlah Gembalaku pada saat komuni. Ada banyak versi dari lagu itu untuk dinyanyikan namun liriknya begitu indah dan meneguhkan bila dihayati secara mendalam. 'Tuhanlah Gembalaku, aku terjamin selalu. Jika Ia berkenan menjadi gembala, maka kita akan makan dan mium tanpa henti, kita akan dipuaskan.' Aku selalu membayangkan dan merenungkan lirik lagu ini bahwa Tuhan sungguh luar biasa, hidup di dalam Tuhan adalah kelimpahan dan kepuasan, dan dengan lagu itu aku percaya, maka aku kenyang. Seperti yang ditetapkan, Uskup adalah juga seorang gembala umat di gereja lokal, dan sebagai gembala pula tugasnya memberi makan domba-domba yang adalah umat di keuskupannya, karena Allah telah mempercayakan kepadanya harta yang sesungguhnya. Aku yakin ia akan berusaha sekeras kristus yang berusaha keras memberi makan domba-domba-Nya Pak Lode, tetanggaku bekerja di keuskupan sebagai karyawan. Tentu setiap hari ia selalu melihat bapak uskup, mungkin ia juga bangga dengan pekerjaannya itu. Aku selalu merasa penasaran apa yang dilakukan oleh bapak uskup setiap hari, bercermin dari motto penggembalaannya, 'Per Transit et Benefaciendo.' Berkeliling sambil berbuat baik. Apakah ia lelah berkeliling? Aku harap ia menikmati perjalanannya. Apakah ia lelah berbuat baik? Aku harap perbuatan baik selalu menjadi misi hidupnya yang terusmenerus. Ada pepatah latin mengatakan "Nomen Est Omen", nama adalah tanda, namun lebih dari itu nama juga adalah misi, "Your Name Is Your Mission", maka motto hidup juga adalah misi hidup karena menyingkapkan sebuah arti dan makna dalam menapaki tujuan hidup. Aku tahu bahwa dia punya motto, tapi semoga dia menjalani hidup yang adalah proses pengembaraan, di dalam tujuan. Itu adalah pilihannya. "Pak Lode, apakah kamu pernah bertanya kepada bapak uskup perihal perwujudan tugasnya yang mulia ini, yang lahir dari mottonya yang sederhana itu?" "Seringkali aku bertanya, untuk apa yang mulia menjalani hidup yang seperti itu, dan dia selalu menjawab bahwa karena itu adalah hadiahnya yang paling sahih. Kuk yang paling enak dipasang di kedua bahunya. Aku pikir ia ingin mewujudkan dan mengajarkan kasih yang sederhana." Waktu mengubah banyak hal, tapi tidak mampu mengubah kenangannya. Dua puluh lima tahun adalah perjalanan perak yang luar biasa, dia juga sudah tua, banyak perjalanan, cerita, kesan dan kenangan. "Apakah kau tahu kebiasaan gembala itu?" "Ya. Dia sering berbagi, tepatnya suka berbagi.

 Cinta Tuhan yang luar biasa menuntun cintanya pula bekerja dengan cara yang tak biasa, yang sulit kita pahami dan temui. Cintanya melahirkan kerja keras dan cintanya seperti Kristus, menjadi habitus. Sebagaiman Kristus membuat mujizat dengan memberi makan 5.000 orang, demikianlah gembala itu termotivasi untuk memberi makan dombadombanya yang begitu banyak, lebih banyak dari 5.000 orang yang diberi makan roti sampai kenyang oleh Kristus. Maka ia putuskan untuk mengelilingi padang rumputnya yang amat luas, memperhatikan domba-dombanya untuk diberi makan. Terus-menerus sampai akhirnya pola itu menjadi motto hidupnya, berkeliling sambil berbuat baik, artinya mengunjungi dan memberi makan supaya domba-dombanya terus hidup. Tapi ternyata bukan hanya makanan jasmani saja yang ia bawa melainkan pula makanan rohani, santapan terpenting bagi jiwa yang lapar, agar dombadombanya semakin kuat menapaki padang rumput yang amat luas. "Tapi umur hanya sekadar angka kan?" sambung pak Lode lagi, "Kalau dia masih bisa bekerja, mengapa tidak terus menggembala saja sampai ia merasa lelah?" "Fardori eee, kamu terlalu naif, umur itu tanda, tanda bahwa kamu itu sudah tua. Menjadi pemimpin itu selalu bicara juga soal tenaga, butuh yang lebih segar. Jangan memberi pemakluman yang memperhalus sesuatu yang semestinya disingkapkan." Sesuatu yang sistematis tidak dapat ditolerir.

Setelah perjalanan Panjang dia memang sudah harus berhenti pada tapal batas yang disematkan dengan semestinya. Namun ini bukanlah ironi penanggalan, dia bukan berhenti menjadi gembala yang berbuat baik, tapi seperti sudah seharusnya padang rumput selalu butuh gembala baru yang lebih muda, agar ia lebih semangat dan sanggup memikul kuk yang terkadang semakin ke sini semakin tidak enak, dan untuk menjangkau semua domba-dombanya, dan yang terpenting adalah supaya dia kuat menjaga domba-dombanya dari ancaman serigala. Ini yang sering membuat umat salah kaprah dengan berpikir bahwa bapak uskup pensiun karena mengundurkan diri, padahal inilah aturannya yang sahih. Tentu ia tidak bisa berhenti berbuat baik apalagi kasih, karena kasih adalah dia sendiri dan adalah 'Jalan Yang Tak Ada Ujung' seperti judul novel Mochtar Lubis. Sebenarnya ia itulah kasih yang tampak. Jiwa dan raganya selalu untuk kasih. Dan melihat kasihnya aku bergetar." Dengan pakaian uskup dan salib yang masih digantungkan di depan dadanya, menandakan bahwa ia masih akan tetap dan terus menyebarkan kasih, karena ia membawa terang kristus yang menguatkan dada sampai hatinya, ruang kasih paling dalam. Setelah dia akan ada yang lain, dan yang lain itu juga punya cahayanya sendiri yang akan dibagikan kepada setiap orang yang membutuhkannya sebagai penunjuk arah. Tak tahu apakah yang akan datang ini juga suka berkeliling dan mengunjungi atau tidak, tapi yang selalu menjadi harapan adalah semoga ia juga tekun merawat domba-domba bukan hanya lewat berita, koran atau jalan pintas lainnya tapi juga menyapa dan bertemu langsung. (itulah magisterium.

Percakapan dengan pak Lode membuat saya tenggelam dalam kepahaman, banyak mengerti apa itu tugas gembala, dan menyadari bahwa gembala sangat berempati terhadap domba-dombanya, bukan hanya dengan dahi yang rajin berpikir, ia mengajarkan iman yang penting sebagai kekuatan dan ketahanan bagi domba-domba saja, tetapi juga ia mendapat tugas dan kepercayaan untuk menjamin hidup kawanan dombanya.

Seorang gembala itu pekerja keras, musafir yang berkelana untuk menghidupi kebutuhan cinta dalam dorongan Roh Tuhan, bukan kemauan manusiawinya sendiri. Suatu tugas yang mulia, pernah dipercayakan menjadi gembala, dan kebanggaan bahwa tugas itu selesai dan berhasil dilaksanakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun