The Voice Indonesia (Sumber gambar: http://www.dusunblog.com) The Voice U.S (Sumber Gambar:www.spreadrumors.com) Diadaptasi dari ajang pencarian bakat yang meledak di Amerika,” The Voice” menjadi salah satu talent show terbaru di Indonesia yang memberikan kesempatan suara-suaraterbaik untuk diadu mencapai kemaksimalan mereka (@TheVoice_ID) . Jika di Amerika, The Voice mengajak salah satu penyanyi yang memiliki suara yang dahsyat seperti Adam Levine, Christina Aquilera, Cee Loo Green, dan juga Blake Shelton untuk menjadi pelatih bagi para peserta, Di Indonesia, The Voice juga mengajak penyanyi yang memiliki suara yang tak kalah dahsyat seperti Glenn Fredly, Sherina Munaf, Armand Maulana, dan Nidji untuk melatih suara terbaik di Indonesia. Sejak pertama kali diluncurkan di Belanda, ajang ini memang menawarkan keunikan yang tidak dimiliki oleh ajang pencarian bakat yang lain. Ada beberapa perbedaan mendasar yang membuat The Voice beda dari berbagai talent show yang lain yang dapat diterapkan di dunia pendidikan Indonesia: 1. Coach, Not Judge Sepertinya istilah ‘juri’ yang kesannya hanya menilai, menghakimi kontestannya tampaknya digantikan dengan istilah baru bernama coach dalam The Voice. Dalam ajang kontestan ini, 4 Coach berusaha memperebutkan talenta-talenta terbaik yang dihasilkan dari suara kontestanya untuk dikembangkan bersama-sama menjadi maha karya yang luar biasa unik. Saya bermimpi sautu saat pendidikan Indonesia juga memiliki konsep yang serupa dimana guru-guru tidak lagi sekedar menilai performa siswanya tetapi dapat berkolaborasi menjadi pelatih yang bersama-sama menghasilkan karya-karya terbaik. Hakekatnya saya yakin tidak ada seorangpun yang dapat mengembangkan pembelajarannya sendiri, sepintar apapun. Guru pun demikian dalam mengembangkan karirnya sebagai pendidik, guru membutuhkan orang-orang yang mendukung mereka. Meskipun setiap hari bertemu, guru seringkali melupakan siswa yang ada di hadapan mereka yang menyimpan sejuta keunikan yang dapat dikembangkan bersama. Seringkali kita hanya menjadi ‘judge’ yang menilai karya, penampilan, dan sikap mereka. Lebih dari itu, saya percaya, guru juga dipanggil untuk menjadi coach yang melatih siswa untuk mempelajari bagaimana menghasilkan karya, penampilan, dan sikap mereka. Saya sendiri percaya yang terpenting dalam aspek penilaian bukanlah sekedar nilai 100, 90, ataupun 80 tetapi bagaimana mereka bisa mencapai nilai itu dengan proses yang dijalani mereka bersama kita, “Sang Pelatih”. 2. More Appreciation, Less Judgement Seringkali dalam ajang pencarian bakat, kita seringkali melihat kritik pedas mulai dari audisi sampai akhir episode yang kadang-kadang justru menjatuhkan mental dan karakter unik dari peserta. Langkanya di ajang ini, sejak audisi pertama kali, saya mendengar jauh lebih banyak pujian dibandingkan kritik. Pujian yang dilontarkan pun tidak main-main, bukan cuma sekedar pujian basa-basi, tetapi pujian yang spesifik, tepat, relevan dan membangkitkan keunikan peserta audisi the voice. Meskipun ada kekurangan sana sini dalam diri peserta, tetapi hal ini bukan ini bukan menjadi fokus dari para pelatih. Seberapa sering terkadang kita menjadi guru yang hanya melihat keburukan siswa tanpa mengapresiasi kelebihan yang dimiliki siswa? Ternyata fokus pada keunikan dan kelebihan siswa justru dapat memaksimalkan potensi siswa menjadi lebih maksimal menghasilkan karya yang dapat dikolaborasikan bersama pelatihnya. Apresiasi seringkali menjadi aspek yang sering diabaikan guru. Ketika mereka berbuat hal yang positif terkadang kita justru bilang “Ya sudah sepantasnya, Memang harus begitu.” namun jika mereka memiliki kelemahan, kesalahan, atau keburukan, kita lebih sering marah-marah dan mengatakan bahwa “kamu tidak pantas, kamu kurang ajar, dan sebagainya.” Jika dihitung, coba bandingkan lebih banyak apresiasi atau judgement? Pernahkah kita mengapresiasi karya, sikap, bahkan hasil yang dicapai siswa sekecil apapun dengan pujian yang spesifik dan relevan? Jangan pernah remehkan kuasa dari pujian kita terhadap murid. Dari kata-kata simpel dan sederhana, hal itu bisa menjadi kenangan terbaik siswa seumur hidup mereka. 3. Fokus pada Keunikan Fokus dalam ajang ini hanyalah talenta suara. Bukan usia, tampang, cerita mengharukan, masa lalu, posisi, gelar, pengalaman, relasi apapun yang dimiliki dari kontestan. Jelas ajang pencarian bakat ini memiliki goal yang spesifik fokus terhadap kelebihan, keunikan, dan kepiawaian suara kontestan yang dapat diasah oleh pelatih di ajang ini. Hal inilah yang juga perlu dimiliki seorang guru dalam mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Terkadang masih banyak guru yang yang seringkali memberi label “malas”, “nakal”, “tukang tidur”, dan berbagai label negatif berdasarkan kekurangan dan hal-hal negatif yang dimiliki siswa dengan mengabaikan kemampuan, bakat, dan talenta yang siswa miliki dalam dirinya yang dapat dielaborasikan. Sebagai guru, memang kita perlu melihat siswa secara holistik, tetapi yang terpenting bagaimana mereka dapat mengalahkan kelemahan mereka dan mencapai potensi terbaik mereka selama mereka hidup. Jangan pernah melabel siswa dengan keburukan dan kelemahan, fokus pada apa yang mereka bisa raih dan maksimalkan itu. 4. Kolaborasi Coach-Peserta Dalam ajang ini, kita dapat melihat coach dan peserta akan bekerja sama bersama menyajikan performance yang terbaik yang tentunya akan mengeluarkan keunikan masing-masing yang indah jika dikolaborasikan bersama. Ajaibnya, kolaborasi ini tidak hanya membuat peserta menghasilkan karya terbaiknya, tetapi coach juga dapat melihat peluang untuk terus belajar mengeksplorasi pengembangan dirinya. Inilah yang sulit ditemukan ajang pencarian bakat lain. Selain memberikan contoh langsung, mereka pun masuk bersama-sama para peserta untuk merasakan bagaimana tampil di hadapan penonton dalam ajang ini secara konsisten. Jika anda melihat versi Amerikanya, The Voice benar-benar menampilkan hubungan “partnership” yang begitu profesional antara para pelatih dan peserta hingga di akhir. Hal inilah yang jarang ditemukan di ajang lain karena hanya disinilah pelatih dan peserta bekerja sama menghasilkan karyanya bersama. Sama halnya dengan guru dan siswa pun sebenarnya menyimpan sejuta kesempatan untuk menghasilkan karya-karya penelitian, esai, artikel, gambar, video, bahkan berbagai hasil karya yang tak terbatas. Ide, pikiran, dan karya yang mereka hasilkan memiliki relevansi terhadap dunia masa kini membuat siswa mampu menghasilkan karya yang melebihi apa yang pernah kita pikirkan dan bayangkan sebagai guru. Dengan jiwa muda siswa yang mau belajar dipertemukan dengan guru yang berpengalaman yang melatih bakat siswa yang akan mencetak karya-karya terbaik. Paradigma inilah yang perlu ditanamkan kepada guru untuk mulai melihat siswa bukan lagi sebagai kertas kosong tanpa pikiran dan potensi. Ini saatnya guru bangkit dan mulai mengembangkan diri mereka. Jangan sampai murid kita berkembang, gurunya justru hanya tetap di posisi yang sama. Guru dan siswa harus membangun partnership yang profesional yang dapat memaksimalkan hidup mereka. 5. Spirit of Youth Satu perbedaan terakhir dari ajang ini adalah “SPIRIT OF YOUTH” yang dimiliki para coach. Umur memang bisa kepaa 3 atau 4, tetapi spirit youth yang dimiliki para coach ini mulai dari mendampingi, memahami, membimbing peserta menjadi “api” yang membakar semangat peserta untuk terus belajar dari para pelatih. Spirit of Youth ini tidak dibatasi seberapa tua usianya, tetapi bagaimana kita dapat menjangkau peserta dan memaksimalkan mereka bersama-sama. Anda bisa menemukan Spirit of Youth ini sejak di Blind Audition dimana para pelatih dengan begitu membara menampilkan semangat kreativitas mereka merebut hati para kontestan untuk dijadikan tim inti. Kita pun bisa melihat diskusi, keakraban, humor, dan juga hal-hal yang menyenangkan dan menyegarkan dari interaksi antar para pelatih dan juga peserta yang memberikan ruang untuk peserta bereksplorasi diri. Dengan kreativitas, kritis, fleksibilitas, keterbukaan, idealisme, dan juga keunikan yang ada dalam diri pelatih membuat mereka pun dapat lebih efektif mencapai hasil yang maksimal dengan para peserta. Sama halnya dengan pelatih “The Voice”, saya rasa guru perlu memiliki “Spirit of Youth” ini dimana mereka memiliki kreativitas, kekritisan, semangat, antusiasme, idealisme, humor, keakraban, dan hal-hal yang relevan, up2date, dan menyenangkan. Hal inilah yang justru membangun hubungan positif antara guru dan siswa yang tentu saja dapat efektif menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk belajar. Terkadang justru dengan menjadi “SOK TUA, SOK PENGALAMAN, SOK TAHU” justru hal ini menjadi tembok penghalang yang menyulitkan komunikasi antar guru dan siswa yang berdampak pada kurang efektifnya pembelajaran. Dengan mengajak mereka berpikir, berdiskusi, berbagi, dan berkolaborasi dengan semangat membangun, guru dapat lebih efektif menciptakan suasana belajar yang aman dan nyaman bagi mereka untuk belajar bersama. Memiliki “Spirit of Youth” tidak dibatasi dengan usia, siapapun bisa memilikinya dengan semangat terus belajar, berkarya, dan berbagi bersama. Pada akhirnya, keunikan yang dimiliki ajang “The Voice” ini tidak sekedar menantang para peserta untuk memaksimalkan potensi mereka sendirian, tetapi bersama para pelatih berbakat, ajang ini juga mengajak para pelatih dapat bersama-sama mengembangkan diri bersama pesertanya. Hal inilah yang membuat saya merasa bahwa guru dan sekolah perlu berani membuat gebrakan berbeda seperti yang telah dilakukan “The Voice”. Berani tampil beda, unik, dan menarik untuk memaksimalkan potensi siswa! Melalui keunikan yang saya tampilkan di atas, saya berharap dunia pendidikan Indonesia dapat belajar dari prinsip-prinsip di atas dengan menciptakan”atmosfer” pendidikan di Indonesia yang efektif memaksimalkan potensi siswa dalam kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H