DKI Jakarta mempunyai Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, aneh juga sih namanya, gabungan Ejaan lama dan EYD, mungkin karena lahir di jaman transisi). Sang manusia ini cukup unik dan selalu saja menjadi berita sejak menjabat wakil gubernur DKI Jakarta dibawah Jokowi. Keunikannya yang sering diperbincangkan mulai dari suku, agama dan ras nya sampai pada tingkah laku dan omongannya yang dianggap melawan arus. Pejabat-pejabat yang dulu kita cuma tahu sedikit saja mengenai program kerja dan kemampuannya, sekarang berkat Ahok, semua pejabat mulai dilihat secara kritis. Ahokpun menjadi semacam standar pembanding dengan kepala daerah lain.
Pada masa awal Ahok bekerja, orang-orang terkaget-kaget. Mulai dari pejabat eselon I-IV, anggota Legislatif sampai masyarakat awam terganga. Gila ini orang! Bahkan dalam keluarga saya sendiri, sebelum dia naik menjadi Gubernur, kita hanya bilang semoga dia tetap hidup dan tidak dibunuh orang. Setelah menjadi Gubernur DKI, kakak saya sempat berucap kembali: Gila ini orang, nyawanya kaya kucing ada sembilan!
Mengapa Ahok begitu fenomenal untuk Indonesia? Apa yang membuat dia spesial? Kemampuan akademisnya kah? Komentar pedasnyakah? Blak-blakannya? Kog orang-orang banyak terkaget-kaget? Banyak yang pasti tidak senang tapi lebih banyak yang senang. Mengapa Ahok begitu penting dalam catatan sejarah perpolitikan Indonesia? Saya berani menjamin, Ahok tidak akan dilupakan dan akan menjadi perbincangan dan tonggak penting sejarah Indonesia bukan hanya setingkat DKI Jakarta, namanya akan tetap tercatat terlepas dari hasil akhirnya berhasil/tidak berhasil.
Secara pribadi, sebenarnya tidak ada yang luar biasa dan super dari cara Ahok memimpin Jakarta. Cara Ahok memimpin Jakarta itu boleh dikatakan cukup textbook approach. Yang belajar management 101, kalau dapat berpikir kritis saja sedikit seharusnya tidak perlu heran dan bingung dengan alur berpikir seorang Ahok. Mulai dari project management sampai ke control management Ahok cukup prinsipil dan tidak mengherankan. Cara Ahok ini menjadi luar biasa karena badan eksekutif dan legislatif juga masyarakat awam sudah lama terlena dan terbuai dengan status quo. Eksekutif dan Legislatif ibarat buaya dan harimau, masyarakat ibarat penduduk kampung yang dikuasai buaya dan harimau. Jangan lagi bicara lembaga Yudikatif, lebih garuk kepala lagi.
Istilah komisi atau kickback dari vendor (swasta) ke lembaga eksekutif/legislatif itu sudah mendarah daging. Semua kebaikan/keramahan pejabat-pejabat dua lembaga itu hanya karena pamrih. Mereka boleh menyangkal sampai mulut berdarah-darah, tapi kenyataan di lapangan berbicara lain.
Ketika Ahok datang, siklus atau mata rantai setan ini hendak diputus. Meradanglah mereka-mereka itu. Tidak heran pula ketika vendor sempat kebingungan waktu mengajukan proposal. Ketika suku dinas kebanjiran anggaran tetapi tidak tau (atau lebih tepat tidak mau tahu) program apa yang layak dilaksanakan dan semua diserahkan ke swasta untuk memberikan ide program. Cukup aneh bukan? Seorang kepala suku dinas tertentu tidak tahu harus ngapain. Begitu pula saat proyek-proyek dan instruksi Ahok langsung kepada bawahannya sering dipersulit, diperlambat, dll. Ahok disabotase bawahannya sendiri. Kasihan sekali Jakarta! Ini belum diperparah dengan sindiran-sindiran tidak bermutu dari Legislatif. Lengkap sudah.
Kembali ke topik cara Ahok menerobos siklus ini. Dia mengandalkan reward/punishment and control management yang saat ini, menurut saya, lebih pada crisis management control. Begitu kritisnya kondisi pemerintahan DKI sehingga harus semua kebijakan harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat. Itulah mengapa dia sering melakukan pergantian pejabat DKI yang dia anggap tidak becus. Ini sangat penting untuk menjaga kebijakannya supaya tetap berjalan dengan baik sesuai target. Contoh lain gerak cepatnya adalah begitu dia membuat keputusan, dia langsung jalankan dan tidak ditunda-tunda lagi. Seperti contoh penggusuran Kp. Pulo, pembatas sungai langsung dikerjakan seusai eksekusi pembebasan lahan. Ini yang tidak pernah ada dalam catatan sejarah DKI Jakarta. Pro Kontra soal pembebasan lahan adalah masalah lain dan tidak saya bahas karena saya membahas sepak terjang Ahok secara lebih luas.
Untuk sementara, Ahok sulit mendelegasikan kontrol yang ada pada bawahan-bawahannya. Sekarang, Ahok masih memegang kendali penuh kontrol yang ada. Sediki demi sedikit, lewat proses eliminasi, dia pasti akan mendapatkan staff yang dapat dipercaya untuk mengontrol sekian banyak bidang. Mengapa beliau ngotot dengan e-budgeting, smart city dan qlue? Hanya satu alasan: KONTROL. Orang Indonesia terkenal dengan akalnya, entah akal cerdik maupun akal bulus. Ada saja caranya mencari jalan. Syukur-syukur untuk hal baik dan kreatif, yang kita tidak mau adalah akal bulus. Orang Indonesia itu sangat sulit dikontrol, itulah mengapa e-budgeting, dst itu menjadi sangat krusial untuk pemerintahan daerah saat ini. Air itu susah dikontrol, tapi manusia lebih susah lagi dikontrol. Banjir bisa kog dihindari, tapi kalau orang-orangnya saja tidak mau berubah (mulai dari pejabat yang commission-oriented sampai masyarakat yang maunya instant) bagaimana mau cepat diatasi? Kontrol tinggi air lewat sensor-sensor yang sudah terpasang (ada cerita unik disini, saat salah satu vendor ingin presentasi, tapi oknum pemprov menolak memberikan data padahal Ahok sudah mau datang untuk melihat presentasi) lewat monitor-monitor besar sudah terarah ke jalan yang benar.
Rencana pemasangan CCTV di seantero Jakarta pun mempunyai fungsi yang sama, mengontrol penduduk Jakarta dari yang tidak disiplin sampai kriminal. Mungkin yang bisa menjadi masukan untuk Pemprov DKI adalah dibuatnya satu command centre utama untuk Gubernur mulai dari monitoring tinggi air, sampai smart city/qlue dan cctv nantinya. Satu lantai balai kota kemungkinan baru cukup. Sentralisasi command center sangat perlu bukan hanya untuk efektifitas tapi juga saat emergency. Dari informasi yang saya ketahui, command center belum di satu lokasi (mohon dikoreksi kalah tidak akurat).
Semoga sepak terjang Ahok ini menjadi pelajaran untuk kota-kota lain besar maupun kecil. Ingat bahwa manajemen kota itu mirip dengan manajemen usaha. Kontrol langsung dari atas ke jajaran paling bawah sangat penting. Jangan pernah mempercayakan laporan tertulis dari bawahan tapi lihat sendiri dan jalan sendiri ke lapangan. Sudah saatnya sistem lama dilupakan. Semoga istilah ABS (Asal Bapak Senang) menjadi sekedar lelucon usang yang tidak terulang.
Â