Mohon tunggu...
Steve Gaspersz
Steve Gaspersz Mohon Tunggu... lainnya -

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Coret Kecil Kuasa Transaksional

3 Mei 2015   09:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiba-tiba sadar ketika dalam percakapan ringan di kafe perpustakaan seorang teman berujar: "Well, tell me a bit about your president today." Waduh, kok bisa blank sama sekali bahwa Indonesia sudah punya presiden ya. Lha, hampir semua tautan berita mempertontonkan ini republik seperti tanpa "panglima tertinggi". Semua bisa ngomong, semua bisa demo, semua bisa marah dan... semua bisa ditangkap. Jangan-jangan kelak hanya karena dianggap "merusak generasi muda" semua layak ditembak mati. Maap masbro/mbaksis, ini pasti gara-gara saya kelamaan nongkrongin pesbuk daripada riset.

Jelas, saya setuju bahwa jumlah teman-teman muda - juga yang "tua-tua keladi" kata madam Anggun de la France - penikmat narkoba yang kian membengkak di negeri ini adalah sesuatu yang memprihatinkan karena saya juga tidak mau anak-anak saya menjadi salah satunya. Tapi apa soalnya hanya bisa dipagari pada aspek individual si  "pengedar"? Saya jadi ingat kata mister Howard Dick & Jeremy Mulholland yang ngomong soal "the state as marketplace" (Aspinall & Van Klinken, The State and Illegality in Indonesia 2011). Apa iya begitu? Kalau memang begitu, berarti pengedar hanya satu matarantai dari rangkaian panjang lainnya: penikmat, pembeli, penjual, calo, dst. Berarti ada sistem dan operator sistem yang bergoyang dumang di situ toch? Trus gimana? Harusnya atas nama sabda moral "merusak generasi muda" mereka semua digiring dan ditembak. Ngeri kan? Atau lebih pas: Beranikah? Kata mas Jaduk sih "begini ya begini tapi mbok yo jangan begitu". Artinya, ini jelas bukan soal "pengedar" yang harus di-dor demi petuah heroik menyelamatkan generasi [muda] bangsa.

Konon mbah jenggot bilang "agama adalah narkoba", tapi sekarang tampaknya "narkoba adalah agama". Kisah narkoba mengalir dari slempitan "barang haram" yang lolos-mulus di perhentian parkiran udara antarnegara, laris-manis transaksi dari penjara-penjara, kisah sukses para ambtenaar yang jadi calo dan penikmatnya, mengalir dan mengalir hingga "amazing grace" di arena pesakitan, dari artis yang sok-Prancis dan ngajari tentang Endonesa hingga Kang-Guru yang bermurah hati katanya mau mbiayai sekolah anak-anak Endonesa. Matur tengkyu masbro. Enaknya sih, jika diniatin, mbok dikirimi saja duitnya untuk mahasiswa kere kayak saya ini daripada repot-repot ngurus ke tempat sampeyan. Atau gimana kalau ongkos itu dihibahkan untuk anak-anak yang dulu bapak-bapaknya juga ditembak mati karena "terorisme"? Wani po ra? Narkoba jelas bukan masalahnya. "Kecanduan" dan "kemungkinan untuk menjadi pecandu" itu masalahnya. Di balik "state as marketplace" jelas terjadi transaksi atau yang lebih budayawi kata eyang Marcel Mauss "gift as exchange" - loe jual gue beli, gue jual loe musti beli dong. Patron-client dan pertemanan yang terbentuk oleh "trust" (Eisenstadt, Patron, Clients & Friends: Interpersonal relations and the structure of trust in society) yang menyuburkan dan menghidupi praktik-praktik clientelistik di Endonesa Raya ini (S.N. Eisenstadt, Patron, Clients and Friends: Interpersonal relations and the structure of trust in society 1984).

Yo wes lah, masbro. Untuk soal "about president" disimpul sendiri aja. Hiduplah Endonesa Raya!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun