Surat untuk Tuan Presiden SBY
Tuan presiden yang budiman,
Di tengah kegalauan yang tuan rasakan menghadapi persoalan demi persoalan kebangsaan yang menggelombang tiada henti, izinkan saya mengusik kesibukan tuan dengan surat kecil ini. Tentu saja tuan presiden dapat mengabaikannya karena dibandingkan dengan surat-surat kenegaraan yang tuan terima dari berbagai pihak, surat saya ini tiadalah berarti. Namun demikian, saya tetap ingin menulisnya bukan sekadar sebagai curahan hati yang cengeng, bukan pula puja-puji gombal, melainkan sebagai panggilan nurani saya yang selama hidup saya hingga saat ini memilih untuk menjadi seorang warga negara Indonesia. Saya menyadari bahwa di luar sana banyak kritik pedas yang diarahkan kepada negeri yang tuan pimpin, Indonesia, yang dianggap gagal menjalankan amanat proklamasi kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Saya juga menyadari bahwa tidak mudah mengemban amanat perubahan atau reformasi sebagaimana semangat itu menyala sejak tahun 1998. Bahkan kata “perubahan” atau “reformasi” itu sendiri kian menjauh dari percakapan kebangsaan kita belakangan ini. Banyak orang menolak perubahan atau reformasi menyeluruh lantaran tak rela kehilangan kuasa dan harta yang telah mereka tumpuk sekian lama, lantas lebih memilih mempertahankan apa yang telah mereka peroleh dan nikmati sebagai hasil kecurangan yang kian telanjang terjadi di hadapan publik rakyat Indonesia.
Tuan presiden yang budiman,
Jauh dari maksud saya untuk menggurui tuan yang jauh lebih berpengalaman dan berpengetahuan daripada diri saya. Tetapi justru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan tuan itulah saya meyakinkan diri saya bahwa tuan akan lebih arif menanggapi surat dari orang kecil seperti saya ini. Sebagai orang kecil, saya sungguh bingung dengan banyak kesimpang-siuran penyelenggaraan pemerintahan di bawah kepemimpinan tuan. Begitu banyak peraturan dan undang-undang yang diterbitkan selama kepemimpinan tuan tetapi nyaris hukum tak bertuah di republik yang tuan pimpin ini. Tafsir hukum dan undang-undang begitu ramai dibincangkan di mana-mana tapi tak tampak pengaruhnya secara konkret bagi reformasi hukum di negeri ini. Saya, orang kecil ini, malah lebih banyak melihat hukum menjadi tameng melindungi para pembesar yang berduit milyaran daripada membela kaum hina-miskin yang makin terjepit tak berdaya di hadapan hukum dan aparatnya.
Oh ya, hampir saya lupa. Saya ingin mengucapkan selamat kepada tuan yang baru saja pulang dari luar negeri untuk menerima penghargaan atas jasa-jasa tuan menjaga toleransi dan keharmonisan di republik ini dan gelar “knight” yang disematkan oleh Ratu Inggris kepada tuan. Saya percaya gelar itu hanya diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki reputasi keberanian luar biasa menghadapi ancaman dan bahaya demi membela kebenaran hakiki serta nasib kaum tertindas. Ah, sungguh saya bangga punya pemimpin seperti tuan yang dihargai tinggi oleh komunitas internasional. Tetapi tuan, lagi-lagi saya sebagai orang kecil bingung dengan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara selama masa kepemimpinan tuan. Mengapa negara besar yang dipimpin oleh seorang “ksatria” besar seperti tuan ternyata tak kunjung menikmati keamanan dan kenyamanan hidup sebagai warga negara yang sah? Apakah rakyat yang tuan pimpin ini yang dengan ikhlas memilih tuan sebagai presiden tak layak mendapatkannya? Apakah rakyat yang tuan pimpin ini memang hanyalah segerombolan manusia keras kepala yang tak mau diatur? Ataukah ada yang tidak beres dalam pola kepemimpinan tuan sehingga sering sekali terjadi konflik, pengusiran kaum miskin, penindasan kaum hina-dina dan penyingkiran sesama anak bangsa di republik yang tuan pimpin ini?
Tuan presiden yang budiman,
Maafkan saya jika saya tak mahir mengemas kata-kata dalam kalimat yang manis dan santun. Saya hanyalah orang kampung dari satu kawasan nun jauh dari istana tuan yang megah; kawasan kepulauan di sebelah timur Indonesia yang selalu dianggap kampungan karena proyek pembangunan fisik selama puluhan tahun hanya menghasilkan jalan-jalan dan jembatan-jembatan yang rusak parah; kantong-kantong kemiskinan tersebar di mana-mana, di gunung dan di pantai, di tengah-tengah kekayaan alam yang telah dirampas oleh keserakahan perusahaan-perusahaan transnasional menyisakan tanah-tanah gersang dan terumbu kerang yang hancur; pendidikan pada semua jenjang hanya proyek-proyek tambal sulam tanpa visi yang membuat kami makin terperangkap jaring-jaring ruwet pembodohan dan pemerasan; perbaikan transportasi umum antarpulau yang hanya menyediakan kapal-kapal rongsokan seakan-akan kami hanya hewan-hewan yang sedang berpindah tempat dari pulau satu ke pulau lainnya; derita kemiskinan di kampung saya telah membuat banyak orang frustrasi sehingga emosinya cepat terbakar jika diprovokasi oleh isu-isu panas yang mengadu-domba… Ah, tuan presiden, maafkan saya kalau apa yang saya katakan menyinggung perasaan tuan. Tapi itulah yang saya dan saudara-saudara saya di kawasan timur Indonesia alami, nikmati dan rasakan sebagai warga negara dari republik yang tuan pimpin ini. Apalagi yang bisa saya katakan? Hanya itu yang bisa saya sampaikan kepada tuan.
Tuan presiden yang budiman,
Sebagai seorang jenderal TNI bergelar “ksatria” dari Ratu Inggris, tuan tentu lebih paham makna keberanian daripada saya. Hanya dengan keberanian yang tinggi, kesatuan negara ini berhasil dipertahankan oleh TNI kendati menghadapi berbagai gelombang pergolakan protes dalam negeri maupun ancaman dari luar negeri. TNI, tempat tuan mendedikasikan hidup tuan, telah membuktikan keperkasaannya menjaga Pancasila sebagai pilar-pilar utama kebangsaan sepanjang sejarah republik ini sejak 1945 hingga kini. Rongrongan politik terhadap Pancasila selalu berhasil dipatahkan oleh TNI dengan gagah berani demi keberlanjutan Indonesia dari masa ke masa. Pancasila yang dipertahankan oleh TNI dan dukungan segenap rakyat Indonesia ini adalah perjanjian politik kita bahwa Indonesia yang kita hidupi bersama ini adalah Indonesia yang sungguh-sungguh menghormati perbedaan budaya, etnis, bahasa dan agama. Saya sungguh bangga menjadi bagian dari negara yang menghargai keanekaragaman identitasnya dan menjadi bangsa yang besar karena kekayaan perbedaan warga negaranya.
Tetapi, tuan presiden, saya cemas dan bertanya-tanya mengapa tuan dan segenap aparat negara kepolisian dan militer di bawah kepemimpinan tuan makin surut keberaniannya menghadapi ancaman-ancaman yang menggerogoti kekayaan perbedaan Indonesia kini. Apakah tuan punya alasan mendiamkan segala bentuk rongrongan terhadap nilai-nilai solidaritas sosial hanya karena desakan segelintir petualang politik yang ingin menyeragamkan seluruh perbedaan menjadi identitas tunggal etnis maupun agama di republik ini? Sebenarnya saya dan warga negara Indonesia lainnya sudah lama sekali menunggu tuan bersuara lantang dengan gagah berani menghadapi ancaman berupa tindakan-tindakan destruktif yang memberangus nilai-nilai dan praktik-praktik solidaritas sosial yang sudah sejak dulu kita bangun dengan susah-payah bahkan berdarah-darah. Kalau tuan berdiam diri, kami kehilangan orientasi. Kalau tuan tiada peduli, kami merasa jalan sendiri. Bukankah tuan semestinya berdiri di pihak kami, rakyat yang memberi mandat kuasa kepada tuan? Makin tuan tenggelam dalam kegalauan sendiri, makin banyak rakyat yang berkelahi. Bukankah tuan tidak menginginkan hal itu terjadi?
Tuan presiden yang budiman,
Jika surat ini terlalu berbelit-belit, mohon tuan memakluminya. Saya pun galau dengan situasi tak menentu yang menggempur hidup sehari-hari. Ingin rasanya menghibur diri tapi mulut kami tak kuasa melantunkan nyanyian pelipur lara. Besar harapan kami membagi keprihatinan melalui media sosial yang tuan punya, namun butuh energi listrik ekstra untuk selalu menyalakan komputer dan internet di rumah kami. Sementara untuk tarif BBM saja kami sudah terengah-engah, apalagi diikuti harga-harga barang yang kian membengkak pasti. Ah, tuan presiden, rasanya nafas saya sudah cukup lega setelah menceritakan sedikit apa yang saya rasa kepada tuan. Saya tahu rasa itu hanya sementara karena gelombang masalah hidup saya dan rakyat Indonesia terus menggempur tanpa jeda. Biarlah ini menjadi cerita kecil saya. Jikalau tuan berkenan membacanya saya sangat berterima kasih meskipun saya tidak berharap banyak tuan berkesempatan bahkan untuk meliriknya.
Salam hormat dari saya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H