Mohon tunggu...
Steve Gaspersz
Steve Gaspersz Mohon Tunggu... lainnya -

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencabut Akar Jogjakarta

19 Februari 2014   09:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Oleh karena itu, tampaknya terlalu gegabah untuk cepat-cepat menyimpulkan bahwa akar-akar multikulturalisme Jogja sudah tercerabut. Namun, pada sisi lain, terlalu naïf pula untuk menyatakan bahwa semua berjalan biasa-biasa saja. Malioboro dan Pasar Kembang yang selama ini menjadi ruang publik masyarakat Jogja kini sedang bergeser menjadi arena konstestasi identitas, otoritas, dan politik – dan dipastikan agama selalu siap menunggangi atau ditungganginya. Salah satu “ormas” ternyata dengan mudah mendeterminasi instrumen[-instrumen] negara untuk memenuhi syahwat politiknya sendiri. Semua itu dilakukan bahkan dengan “teror”.


Ini adalah pelajaran mahal untuk Jogja yang selama ini bisa jadi terlena dalam buaian julukan “kota budaya” semata-mata karena otoritas politik Sultan Jogja yang memayungi semua pihak agar hidup bersama tapi tidak berinteraksi bersama. Apa yang terabaikan, menurut saya, adalah proses-proses saling mengakarkan perbedaan sebagai nomenklatur bersama dalam relasi-relasi sosial pada aras akar-rumput justru berlangsung secara fragmentaristik, sehingga belum menjadi pengalaman sempadan (frontier).


Dengan perkataan lain, multikulturalisme Jogja baru berhenti sebatas benturan perbatasan (boundaries) atau dalam istilah Victor Turner, “mere experience” tapi belum menjadi “pengalaman sempadan” itu sendiri atau “an experience”. Demikian lanjut Turner: “Mere experience is simply the passive endurance and acceptance of events. An experience, like a rock in a Zen sand garden, stands out from evenness of passing hours and years and forms what Dilthey called a “structure of experience.” In other words, it does not have an arbitrary beginning and ending, cut out of the stream of chronological temporality, but has what Dewey called “an initiation and a consummation.” (Victor Turner, “Dewey, Dilthey, and Drama: an essay in the anthropology of experience” dalam V. Turner & E. Bruner [eds.], The Anthropology of Experience, with an epilogue by Clifford Geertz” [Chicago: Univ. of Illinois Press, 1986], hlm. 35). Semoga saja peristiwa Jogja ini menjadi pembelajaran penting bahwa multikulturalisme pada hakikatnya adalah “pengalaman sempadan”. Hanya melalui pengalaman sempadan kita belajar untuk terus-menerus mempertimbangkan keberbedaan (otherness) bukan semata-mata sebagai diskursus tetapi lebih sebagai the logic of practice (Bourdieu) bersama kita. Entah di Jogja atau di mana saja.


Jogjakarta, 10 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun