Mohon tunggu...
Steve Elu
Steve Elu Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta; Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ciri Mahasiswa Milenial

17 April 2017   13:50 Diperbarui: 17 April 2017   22:03 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mengengal istilah remaja milenial. Istilah ini dialamatkan kepada para remaja yang lahir di tahun 1990an dan 2000an. Mereka disebut milenial karena lahir dan tumbuh di sebuah masa dimana segala lini kehidupan serba digital. Kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi, terutama internet menjadi ciri utamanya.

Mungkin karena pengaruh internet ini begitu besar, kebiasaan milenial ini pun ikut terbawa ke dalam lingkungan kampus. Orang tidak mau membaca pengumuman atau pemberitahuan di kampus, tapi lebih suka ber-WA ria. Di grup WA sering ramai memperbincangkan banyak hal, atau mempertanyakan jadwal ujian, kuliah, tugas dan macam-macam. Padahal, kalau mampir ke papan pengumuman atau membaca di website kampus, sebetulnya semua sudah tersedi di sana.

Saya punya pengalaman konkret soal ini. Baru hari Minggu kemarin, saya kuliah. Di pengujung kelas, dosen memberi soal untuk persiapan ujian tengah semester. Soal sudah diketik dosen dengan sangat jelas, ditampilkan di layar, dan minta di-coppy usai pelajaran. Dari pertanyaannya sudah jelas, apa yang mesti dilakukan oleh para mahasiswa.

Tapi, begitu dosennya meninggalkan kelas, semua pada membahas bagaimana mengerjakan paper berdasarkan pertanyaan yang sudah diberikan dosen. Masing-masing berusaha menjelaskan sesuai dengan kemampuan mereka memahami suruhan dosen.

Saya menjadi bingung. Kan suruhannya ada di pertanyaan. Di sana sudah tertulis dengan sangat jelas, mengapa masih ribut mendiskusikannya lagi? Dalam banyak hal, mahasiswa tidak mau membaca untuk memahami barulan bertanya, tetapi bertanya dulu untuk memahami atau malah semakin bingung; membaca nanti saja.

Beberapa bulan yang lalu, seorang dosen saya berkelakar dengan mengatakan, kesalah-kaprahan ini terjadi karena dua hal. Pertama, kultur ketimuran adalah kultur lisan, bukan kultur tulis. Itulah mengapa orang lebih suka mengobrol daripada membaca. Kedua, kita adalah korban dari pepatah “malu bertanya, sesat di jalan”. Saking memaknai pertanyaan itu, orang tidak mau membaca tapi bertanya. Meskipun, mungkin dengan membaca, hal-hal yang ditanyakan itu menjadi jelas, atau bahkan lebih jelas.

Inikah efek mileniel? Saya yakin bahwa kemajuan teknologi, dalam hal ini media sosial, yang menyediakan ruang diskusi berbasih handphoneorang merasa lebih afdol kalau ngobrol lewat grup. Ia marasa harus bertanya atau menjawab di grup daripada membaca pengumuman yang sudah capek-capek dibuat oleh pihak kampus.

Bagi saya, inilah mahasiswa milenial. Jangan-jangan ke depan, mahasiswa lebih gemar ngobrol ria di grup daripada membaca buku. Hasilnya, pengetahuan mahasiswa lebih pada potongan-potongan gosip di grup daripada pengetahuan secara menyeluruh. Ini sangat disayangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun