Mohon tunggu...
Rosalia Fergie Stevanie
Rosalia Fergie Stevanie Mohon Tunggu... Penulis - penulis

Dunia Tanpa Sekat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pelukis Langit

24 Maret 2015   19:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:06 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(Chapter 1)

Surat Lava

Aku sedang melukismu bersenandung. Kau gadis muda dalam sketsa-sketsaku. Ikal rambut kepangmu berlekuk menawan. Kau juga gadis tanpa polesan wajah namun meneduhkan pandang lewat derai-derai senyum lepas.

Dan langit sangat cerah; langit seperti namamu, Kirana. Langit pagi yang sentuhkan angin tipis pada kulit langsatmu. Langit di atas sungai yang gemerisik pada tengah-tengah perkampungan ini. Sedangkan pijak langkahmu hanya berjarak pendek dariku. Jarak yang bercorak gurat wajah polos anak-anak Bantaran Kali Code, riang-gembira sambut senandung halus yang kau lantunkan.

Kau begitu senang, kemarin sudah kubuatkan gambar-gambar alam bagi anak-anak. Gambar berwarna untuk iringi syair tembang syahdu yang dicipta Sunan Kalijaga sebagai doa bagi semesta; lir-ilir. Kau pun jelaskan jika lir-ilir bermakna kesetiaan berjaga dalam taqwa serta garis lurus perjuangan hidup;

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir,” suaramu mulai mengalir halus sembari memperlihatkan gambar persawahan yang menghijau, gambar anak-anak bermain di hamparan padang rumput berlatar pegunungan....

Kang ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyarBocah angon, bocah angon, penekno blimbing kuwi.Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiroDodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggirDondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko soreMumpung pandhang rembulane, mumpung jembar kalangane Yo surako surak hiyo.”

Demikianlah adanya harmoni gambar ketiga; anak-anak di perkampungan tepian sungai, sederhana namun gembira. Gadis langit, kau memang sering pesankan jikalau anak-anak harus bersyukur tentang hidupnya, tak masalah walaupun sering kebanjiran atau dikejutkan lahar dingin, tak masalah meskipun terjaga pagi tanpa pemandangan sawah atau deret pohon. Sebab tidak semua sejarah perkampungan di kota ini berwarna dan berkisah seperti disini. Sama halnya pada orangtua anak-anak kau tekankan makna tembang lir ilir bagi perjalanan Kampung Code;

“Kita menempati pusat kota Jogja yang padat dan kampung kita juga disesaki rumah-rumah pada tanah menurun dari batas jembatan namun tak mengapa. Kita bagian lahiriah dari perkampungan Code yang sejarahnya begitu kaya rasa.”

Demikianlah pula kita resapi syahdu tembang lir-ilir yang mengalir olehmu tanpa ragu sebagai doa bagi kebaikan jiwa polos anak-anak. Kau memang selalu hiburkan hati mereka, pantas pula mereka sukai dirimu. Sebab itu aku selalu menyukaimu dan suka menggambar sketsa garis wajahmu. Sketsa pertamaku di usia delapan tahun bertema gadis langit.

Pada momen kanak-kanak itu juga aku selalu ingat jika kita pernah belajar dan bermain dengan pria berjuluk Si Burung Manyar, julukan dari karya sastra yang digarapnya. Ia yang tak simpan harta-benda duniawi bersedia lawan penggusuran lalu menata deret-deret rumah supaya layak huni. Pria itu yang pernah memangku dirimu Kirana, perduli pada banyak soal; orang miskin, rumah kumuh, rancang arsitektur, budaya, sastra, segala rupa humanisme kebangsaan. Baginya pendidikan harus berpatok tujuan memanusiakan sebagai manusia, bukan tangan-tangan kendali sistem bagi ruang kekuasaan orang dewasa.

Maka jelaslah bagiku Pria Burung Manyar itu juga goreskan kesan mendalam di hatimu. Kau pun juga sedia menjaga perpustakaan yang ditinggalkannya untuk anak-anak. Bangunan sederhana, tak masalah tanpa tembok tebal. Yang penting warna serta corak indah luar maupun dalamnya menyampaikan kisah-kisah yang takkan habis dalam singkatnya waktu. Rumah baca tanda kenangan tentang dirinya, pria bernama Y.B. Mangunwijaya, dikenangkan wafatnya bertahun lalu pada hari dimana Ia masih sanggup berbicara soal humanisme kebangsaan. Romo Mangun, jejaknya abadi dicintai oleh mereka yang meresapi nilai kebaikan tanpa pamrih, tanpa sekat kaya-miskin, tanpa sekat agama maupun rasial.

Motivasi berkasih seperti Pria Burung Manyar siapa lagi bisa lakukan apalagi aku yang hanyalah Lavarius---kawan sekampungmu gadis langit, dibesarkan Ibu dan ayahmu bersama adik kembarmu. Tapi aku masih punya Bapak tentara, Bapak kandung yang pernah selamatkan Ayahmu—relawan evakuasi dari kecamuk awan panas. Ayahmu itu rela tak diangkut turun gunung demi kuota warga lanjut usia. Ayah kita sama-sama orang berhati tulus.

Akan tetapi Kirana akhirnya Ibuku lah yang tutup usia. Virus itu, toksoplasma mulanya ancam lenyapkan janin ibu tapi Ibu bertahan demi selamatkan aku dengan merelakan sisa hidupnya sendiri. Bapakku tampil sebagai prajurit tegar akan tetapi percakapan demi percakapan kami membuatku berpikir jika Ia selalu dirapuhkan oleh batas kesetiaan pada tugas negara, kemanusiaan, dan keluarga.

“Nak, aku pernah begitu dekat dengan kematian yang sengaja kudekati,” Bapak berkata saat aku masuk ke kamarnya, pada suatu malam. Hendak kuajak Ia keluar rumah sebab kata orang lahar dingin akan melintas tapi Bapak tak beranjak. Ia duduk di sisi tempat tidur. Ditatapnya foto Ibuku. Dipangkunya seragam loreng-loreng yang telah pensiun.

“Tapi kematian Ibumu justru datang lebih cepat daripada waktuku tiada.“

“Pak, ayo kita keluar...”

“Kau paham, apa yang paling berharga dalam hidupku, Nak?” tanyanya. Aku menatap bingung. Usiaku masih 14 tahun kala itu. Sementara orang-orang ramai mengetok kentongan. Peringatan mengungsi.

“Hartaku cukup tiga hal saja; Istriku, anakku, dan seragamku.” Dipandanginya foto Ibu. Seragam loreng-loreng. Dan aku.

“Bapak...” aku terisak. Ia berkata-kata seolah dalam situasi darurat apapun aku harus siap kehilangan.

“Kau sudah tahu bagaimana berat perjuanganku selamatkan ayahnya Kirana dari zona awan panas. Tapi aku tak pernah menyesal,” Bapak mengusap-ngusap foto Ibu. Gurat wajahnya yang keras sesungguhnya lunak.

“Mungkin seperti itulah norma kehidupan, untuk saling melindungi,” demikian katanya lalu berdiam cukup lama. “Aku ingat pesan itu dari laku hidup Pria Manyar. Ingat-ingatlah pula seumur hidupmu dan tentu riwayat cinta Ibumu.”

Gadis langit, aku mulai menangis sebab setiap saat banjir mulai bertanda Bapak bersikap ganjil seolah saat itulah dia akan menceburkan diri, menyusul Ibu. Tapi setiap aku mulai menangis Ia akan berkata,“Nak, tenanglah. Bapak masih harus menjagamu, kalau tidak Ia pasti menangis dalam mimpiku.”

Melintas pikirku jelas dia pernah ingin melakukannya. Lalu Bapak berdiri untuk mendekatiku,“Lavarius Javasta, jika waktuku tiba kau sudah harus mencapai nilai tertinggi dalam jiwamu. Seorang seniman.”

Lalu Bapak menarik nafas dalam,”Jadi tak akan kupaksa kau mengenakan seragam tentara meskipun itulah inginku sebelum mati. Tapi sekarang mari kita selamatkan diri dan orang lain. Ibumu sangat memaksa.”

Gadis langit, tujuh hari berikutnya adalah peringatan kematian Ibuku. Aku sampaikan seluruh harap di makam Ibu, juga bersamamu, waktu kita sama-sama nyekar.

“Kau sangat berarti baginya,” katamu sambil menabur kembang. Aku tak balas bersuara hanya saja hatiku berjanji di tanah makam Ibuku,“Gadis inilah yang singgah supaya aku bahagia. Terjadilah padaku yang hanya seorang pelukis langit---Lavarius Javasta, pelindung bagi Kirana Shinta Javasari. Apapun itu, jika aku tak bisa memilikinya, cukuplah aku melindunginya. Ibu...”

Gadis Langit

Demikianlah Ia mendaraskan cinta pada gadis muda sejurus pandang. Memang cinta selalu punya pilihan meskipun terkadang memilih untuk tidak memiliki pun adalah sebuah pilihan.

Tak mengapa walaupun nyawa dalam keluarga gadis itu tidak dihitung bakal lunas dengan cinta saja. Walaupun bisa dihitungnya kehilangan Ibu dan nyaris kehilangan Bapak. Sebab kemanusiaan satu-satunya alasan dari aksi pertaruhan nyawa luputkan seorang pria dari maut awan panas Merapi. Mungkin sekian banyak orang akan berpikir aksi nekat itu bodoh namun entah mengapa Bapak tentara yakin jika ada celah untuk menggapai selamat, buah dari perputaran norma-norma sosial tentang kepahlawanan.

Dan benar saja meski bagaimanapun Bapak-anak itu bertahan hidup tanpa tangan Ibu, Tuhan selalu berkasih pada detak-detak kemanusiaan di bawah langit-Nya. Kirana beserta ayah, ibu, juga adik-adiknya bersedia menemani Lava hingga dewasa. Namun dalam lingkaran hutang-budi yang cukup berputar-putar Ia tidak daratkan diri pada muara yang begitu dekat, cinta, meskipun cukup berat hatinya tolak usul dari Ibu Kirana—soal perjodohan.  Bukan tolak karena tak suka. Justru Ia dambakan gadis langit tapi gadis langit terlanjur banyak berkisah tentang Banyu Biru. Gadis langit menanti tujuh tahun untuk kedatangan Banyu Biru, dan Lavarius menemani penantian sang Kirana.

Adapun penantian tanpa ujung menggores kecewa dalam hati Bapak tentara lantaran kehendak hati putranya menjaga gadis langit. Ia pun enggan paksa Lavarius masuk akademi militer. Ia paham anak itu pandai melukis sejak umur delapan tahun sejak digores-gores sketsa wajah seorang anak perempuan. Sejak itu pula sanggup digambarkan apa saja pada media kertas, tembok, juga mural Kampung Code, nyaris sempurna karya tangannya.

Jadilah gadis langit pusat inspirasi dunia seni Lavarius. Dari sekian banyak kisah yang dituturkan pada Bapak tentara nyaris semuanya hanya berpusat pada gadis langit Kirana, demikian terjadi hingga pijak usia dua puluh tiga tahun.

#

“Hey anakku, Lavarius Javasta!” suara pria itu terdengar dari genteng rumah baca Code.

“Kenapa, Pak?” Lava menengok, ada tiga laki-laki sibuk menambal bocor.

”Kamu itu...” sindir Bapak mencibir,”Pakai celana sobek-sobek, kaos kumel, rambut gondrong, punya nama garang. Janganlah lagi malu-malu kucing macam Hello Kitty!”

Sindiran yang menohok Lavarius masih disambung tanggapan dari kawan satu atap,”Ibaratnya cukup ketok pintu sebelah rumah, tapi kok ngomong soal perasaan saja pakai hitung tahun!”

Ibu-ibu pembeli sayur dan semua orang lewat asik menyimak sambil menahan tawa. Guyonan genteng menawan rasa malu Lava yang mendengus kesal,“Bapak selalu ngece. Sebentar lagi anakmu ini sukses jadi perupa, setelah itu...”

“Setelah itu opo?” sambar Bapak. “Lama-lama pergilah dia kalau hanya kamu gambarin terus!”.

Lava merengut Padahal hari-hari biasanya Ia cuek saja disebut-sebut kebalikan total mode cepak dan rapi ala Bapak tentara.

“Aiih! Bapak teriak-teriak macam TV gosip,” batin Lava,“Untungnya si Kirana lagi...”

“Vaaavaaaaaaa!” panggilan Kirana samar-samar dari kejauhan, berlari-lari kecil sambil membawa piring.

Lava didera panik. Ia melirik genteng coba kirimi Bapak sinyal “stop menggoda” yang dikirim balik lewat juluran lidah.

#

Kedua telapak tangan Kirana agak pucat waktu menyodorkan piring berisi nasi gudeg ayam kampung lalu mendekat segaris wajah Lava menawarkan kilas senyum teduh;“Spesial buat VaVa karena kamu baik hati rela kehujanan gara-gara ambil baju baruku di rumah Lea. Thanks Va...”

Dalam tipis jarak antara dirinya dan gadis langit rasa hati Lava campur-aduk. Gudeg bikinan Ibu Kirana mungkin takkan terjamah.

“Thanks rain,” Lava berbisik pelan. Ia semakin suka musim hujan.

Malam kemarin digelayuti langit mendung juga gerimis Lava tetap melaju ke rumah Lea, sahabat Kirana untuk mengambil pesanan dari bisnis butik online milik Lea. Kirana sangat menanti baju cantik yang mendadak ditawarkan Lea supaya bisa dipakai Kirana pada pertemuan dengan Banyu Biru.

“Apa?” tanya Kirana masih tersenyum teduh segaris wajah Lava.

“Iyaaa, thanksss..Na, sama-sama,” jawab Lava gugup. Begitulah Kirana bergantung pada Lava yang tak pernah membiarkan gadis langit pergi di malam hari diterpa cuaca dingin apalagi hujan. Jadi tak mengapa. Lavarius akan melindungi Kirana, gadis langit.

#

Kamuflase menguping Bapak tentara; Selesai menambal bocor genteng Ia duduk di angkringan terdekat dari posisi Lava dan gadis langit. Pelan seruput teh sambil menonton drama putranya sendiri.

“Guyon apa sih tadi, ramai banget ketawanya?” tanya polos gadis langit sembari mencermati gambar pada kanvas di hadapnya. Dan Lava cepat menjawab tapi asal,”Ohh si Dudi jogging supaya kurus tapi gayanya lari, lucu...Hahaha.”

Bapak tersedak menangkap kering ekspresi Lava yang tak pandai mengarang alasan. Dudi, anak pemilik angkring mendelik namanya dipinjam tanpa perjanjian. Sedangkan Kirana memutar ingatan; jelas-jelas Dudi bocah 15 tahun itu ikut mengantre pembelian gudeg. Tapi Kirana tak lanjut membahas sebab fokus perhatiannya tercuri gambar Lava.

”Rasanya, aku makin cantik dalam gambarmu.”

Kirana belum beranjak dari sisi Lava. Konsentrasi sang pelukis muda tertawan obyeknya.

“Kamu selalu sama, Na,” jawab Lava dalam tatap hampa pada gadis langit.

“Aku harap dia suka...” ucap Kirana. Rona wajahnya penuh harap membuat nafas Lava tertahan oleh getir, senyumnya berbuah kecut. Pada saat garis wajah mereka setipis kertas dalam pikiran Kirana hanya ada “Dia”. Demikian juga disaksikan Bapak dan Dudi; Lava rajin mengangguk tapi jemari lukisnya kaku.

“Oke. sedikit lagi,” kata Lava.

Kirana berseri-seri lalu pulang, meninggalkan Lava dalam gurat muka merana. Dari sekian tahun mereka bersama entah kenapa sejak dekat waktu pertemuan Gadis Langit dengan Banyu Biru, Lavarius seperti didera kekonyolan tak terkendali. Ibarat orang yang baru mencintai padahal cinta itu mengalir lebih lama daripada datangnya Banyu Biru.

Mungkin tak sanggup paksakan diri memiliki bukan berarti sepenuhnya rela kehilangan. Tak ada cinta yang sempurna dalam pengorbanan. Terkadang waktu singgah ke rumah Ibu angkat, Ia pun sering tergoda untuk luluskan masalah perjodohan. Betapa mudahnya jika tak menerus dipikirkan soal perasaan Kirana yang selalu merujuk surat-surat Banyu Biru dari lain kota.

“Lava, meskipun gayanya sangar ala rocker tapi nyatanya dia paranoid soal Kirana,” jelas Bapak kepada Dudi yang tiga kali tepok jidatnya sendiri, tanda prihatin, “dan meskipun usia mereka sejajar nampak jelas Kirana bergantung pada Lava, dunia limpahan segala cerita, tapi sekedar dianggap kakak lelakinya.”

#

Lava duduk di angkringan mengunyah nasi gudeg. Jelang suapan akhir Ia kedatangan gadis berpotongan rambut sebatas bahu. Semampai dan modis ala model majalah atau artis ibukota. Gadis semampai mengamat-amati kanvas dengan tangan terlipat.

“Sampai kapan kau menyiksa diri, wahai pelukis muda yang terobsesi, gadis langit,” tukas Elea. Langkah kaki Lava sampai pada dirinya.

“Aku tidak tersiksa dan tidak terobsesi, seperti dirimu. Bisa minggir, miss Elea?”

Lea menatap tajam Lava, muram disisipi kecewa. “Tidakkah kita lelah jadi pengawas Kirana?” tukas Lea pelan. “Bertahun persahabatan SMA ini terjalin aku serasa punya kewajiban untuk memperhatikan kebaikan detak dalam tubuhnya. Tapi lama-lama aku sadar, kalau Kirana akan selamanya mengabaikan perasaanmu. Jadi buat apa, pengorbananku merelakan Lavarius?”

“Tak masalah. Jangan pikirkan aku. Tetaplah jadi sahabat bagi gadis langitku.”

“Cinta membuatmu teramat bodoh...”

“Salah. cinta tidak pernah membuatku bodoh, atau membodohi siapapun termasuk dirimu. Bisa minggir? Aku, mau beres-beres...”

Lea masih menghadang Lava dengan tangan terlipat. Pada pelupuknya mulai membayang air mata. “Bodoh. Panas-hujan, kesana-kemari, selalu dia saja dalam gambar-gambarmu. Padahal kamu jelas tahu siapa yang selalu disebut-sebut Kirana dan siapa dinantinya datang!”

”Dan jika kamu menganggap naluriku bodoh maka kamu akan dibodohi oleh egoisme. Dengar. Ibuku mati karena nalurinya sangat ingin selamatkan hidupku. Bapakku nyaris mati karena perduli pada nasib keluarga orang lain. Tapi aku tidak akan mati sampai datang orang itu untuk sepenuhnya melindungi gadis langit.”

Disambarnya kanvas dan peralatan lukis, lalu beranjak pergi.

“Va! aku sangat perduli, tentang perasaanmu...” teriak Lea pada punggung Lava namun tak lama sedu-sedan Elea ditenangkan seseorang.

“Lea...” panggil pria bertubuh tegap sambil menyentuh pundak gadis semampai itu. Lea kenal baik Bapaknya Lava. Mereka sering berbincang antar hati. Sisi kebapakan lingkupi Lea yang dewasa tanpa ayah. Lea pun tahu kisah si orangtua tunggal harus merelakan banyak hal; Istrinya, serta mimpi melihat Lava mengenakan seragam tentara.

“Maafkan Lava ya?”

“Iya Pak, tapi Lea sudah coba pahami dia...”

“Lava begitu emosional bukan hanya masalah hutang-budi atau detak jantung Kirana yang lemah,” kata Bapak sambil mengajak Elea duduk di angkringan.

“Ada lagi yang kurang kupahami?” tanya Lea yang merasa tahu segalanya tentang Lavarius.

“Cinta, bagi Lava adalah rasa yang tak putus untuk melindungi,” jawab Bapak sembari tersenyum tipis. “Itulah cara Lava merawat kenangan Ibunya, melalui Kirana.”

Dan betapa luas Elea mengagumi pria disampingnya. Ia pun inginkan dunia Bapak-anak itu meski Lava berulang menampiknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun