Mungkin saja kita sudah lupa dulu pilkada dilakukan tidak langsung yang menimbulkan istilah KKN. Mungkin juga kita sudah lupa mengapa dirubah menjadi pilkada langsung. Atau pernahkah pertanyaan ini di tanyakan Kepada rakyat (survey), sudahkan rakyat merasa DPR/DPRD mewakalinya?
DPR/DPRD sebagaimana kita ketahui adalah hasil pemilihan Langsung. Tetapi apakah pada saat memberikan suara, kita mengenal dengan baik setiap caleg yg ada dalam lembar pemilihan? Jika tidak, maka ada baiknya anda meneruskan membaca tulisan ini.
Jika pilkada langsung dirasakan banyak kekurangannya dibandingkan tidak langsung. Maka sebaiknya juga Hal tersebut tidak dilihat semata-mata pada pilkada itu saja. Cobalah lihat pada pileg yang juga dilakukan langsung. Berapa banyak caleg harus merogoh koceknya sendiri untuk biaya politik? Berapa banyak yang ga jadi caleg kemudian harus di rawat. Berapa banyak problematika yang timbul dari pileg itu sendiri? Berapa banyak korupsi yang dilakukan oleh Anggota DPR/DPRD di seluruh Indonesia?
Seharusnya pemimpin negeri ini juga memahami bahwa caleg-caleg yg berkompetisi adalah rakyat Indonesia juga. semua orang mempunyai hak dipilih maupun memilih. Dengan adanya pesta politik akhirnya berbagai Cara dilakukan Supaya bisa duduk sebagai dewan terhormat. rakyat yang secara ekonomi sudah mapanlah yang akan tertarik untuk masuk ke dunia politik. bagaimana dengan rakyat yang belum mapan secara ekonomi tetapi punya keinginan untuk berbakti pada nusa dan bangsa? tentu niat tersebut akan disimpan karena kondisi yang tidak memungkinkan. sebetulnya hal-hal yang di khawatirkan politisi pendukung pilkada tidak langsung sebenarnya juga terjadi pada pemilihan Legislatif. Tetapi menurut hemat penulis, ini tidak diangkat ke permukaan saja.
Mengapa pileg harus langsung kalau begitu? Mengapa tidak dibentuk saja badan atau lembaga (Profesional) yang tugasnya menyeleksi caleg berdasarkan kompetensi Dan disiplin ilmunya? Dalam Hal ini semua caleg silahkan lewat partai masing-masing. Bahkan partai dipersilahkan merekrut sebanyak banyaknya caleg yang kemudian di seleksi berdasarkan kompetensi oleh Badan atau lembaga yang dibentuk tadi. Disamping melalui partai, rakyat juga boleh melalui jalur indenpenden. Jika calegnya lolos maka dia mewakili suara partainya masing-masing atau suara indenpenden. Satu orang satu kursi. Yg paling banyak, itulah yang keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian bukankah biayanya lebih murah? Calon legislatif juga tidak perlu mengeluarkan uang beratus-ratus juta untuk kampanye Dan 'money politic'. calon terpilih secara psikologi tidak perlu mencari kembali modal yang sudah dikeluarkan saat berkompetisi, dan yang pastinya adalah calon legislatif yang terpilih adalah orang-orang yang kompetensinya tidak diragukan lagi.
Seandainya ini Benar terjadi, maka lembaga ini lebih pantas disebut dewan terhormat yang akan mewakili rakyat dalam memikirkan berbagai persoalan bangsa. Bukan mewakili partai memikirkan kekuasaannya. Bagaimana ya... jika ternyata yang keluar pemenang adalah dari jalur indenpenden? Hendaknya politisi memikirkannya apakah selama ini yang dilakukan mencerminkan suara rakyat.....? Â :). ini juga sekaligus menjadi tantangan bagi legislatif apakah benar saat ini sudah menjadi wakil rakyat yang di harapkan.
Ini hanya sebuah pemikiran. Silahkan dicermati. Jika menurut anda tidak masuk akal dan tidak baik untuk Indonesia. Abaikan saja. :) .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H