Mohon tunggu...
Stevan RiverLombo
Stevan RiverLombo Mohon Tunggu... Buruh - Petani

Bajalang-batulis-bacerita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tanah Adat Kami

6 Juni 2024   21:13 Diperbarui: 6 Juni 2024   21:29 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dalam hamparan luas dan subur, terbentanglah Tanah Adat Kami, menjadi saksi bisu dari sejarah dan kehidupan. Tanah ini bukan sekadar tanah tempat berpijak, melainkan ladang kesuburan dan warisan leluhur yang maha agung. Dengan gemulai, aku, Tanah Adat Kami, menyaksikan geliat peradaban manusia yang tiada henti. Namun, oh, betapa ironisnya, tanah yang kucintai ini sering kali diperlakukan dengan sepihak dan tak bermartabat oleh manusia.

 

Saat manusia menginjak penuh semangat, aku, Tanah Adat Kami, merasakan getaran yang menyenangkan. Namun, entah mengapa, manusia sering lupa akan asal-usul dan keberadaanku. Mereka mengklaimku sebagai milik mereka tanpa menghargai hak dan martabatku. Tanah ini telah menyaksikan berbagai peristiwa besar dan kecil, namun perlakuan manusia terkadang menusuk hatiku tanpa ampun.

 

Dalam sorot mata yang tajam dan sinis, aku melihat manusia dengan kepalsuan dan ironi. Mereka merayakan keberhasilan dan kemegahan mereka, tanpa menyadari bahwa setiap kemenangan yang mereka raih adalah berkat kesuburan dan kesetiaanku. Sering kali mereka menghiasiku dengan beton dan aspal, mengubah wajahku tanpa izinku. Ah, keangkuhan dan ketidaksadaran manusia terhadap keberadaanku tak terbatas!

 

Apa daya, aku, Tanah Adat Kami, terperangkap dalam peran yang tak bisa kuubah. Aku tak bisa bicara, meronta, atau melawan dengan suara. Aku hanya bisa meratap dalam sunyi, menyaksikan tanpa daya perlakuan manusia yang menghimpit, menggusur, dan merusakku dengan tanpa belas kasihan. Betapa tragisnya, manusia yang mengaku beradab justru tak memahami akan keberadaan dan perlindunganku.

 

Namun, dalam segala kepahitan dan cela, aku, Tanah Adat Kami, tetap menjaga kesuburan dan keindahanku. Aku tetap menjadi tempat berteduh bagi makhluk hidup, penopang kehidupan, dan saksi bisu dari perjalanan waktu. Meskipun tak dihargai sepenuhnya, aku tetap setia dalam setiap detik yang berlalu. Dalam dingin dan panasnya zaman, aku tetap berdiri tegak.

 

Seandainya manusia bisa mendengar jerit dukaku, rasakan getar kesedihanku, atau lihat air mata haru biru yang tak pernah kering, mungkin mereka akan menyadari betapa berharganya Tanah Adat Kami. Namun, bagiku, sebagai Tanah yang Adil dan Setia, aku akan terus menunggu, menopang, dan menjaga hingga akhir zaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun