Mohon tunggu...
Stephanie Tandean
Stephanie Tandean Mohon Tunggu... -

Penulis Bebas || twitter @stepitandean || Saya masih belajar, iya, kita semua masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Untuk Seorang Anak di Penjuru Dunia: di Balik Kasus Satinah

22 Maret 2014   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Satinah binti Jumaidi Ahmad seorang TKW asal Semarang yang mengadu nasib ke Saudi 8 tahun yang lalu. Ia memilih merantau dan menjadi pembantu Rumah Tangga dengan harapan bisa mendapatkan uang yang besar, demi sesuap nasi gadis kecilnya, suami dan berharap perekonomiannya berubah menjadi lebih baik. Ia berangkat meninggalkan kampong halaman dengan tekad yang kuat. Demi mereka, gadis kecilnya, suami dan keluarga besarnya di kampung.

Lama tiada kabar sepeninggalnya ke Saudi, keluarga mendapatkan kabar bahwa Satinah akan mendapatkan hukuman mati dari pemerintah Saudi dengan tuduhan membunuh majikannya. Keluarga korban memaafkan Satinah dengan syarat membayar uang senilai 7 juta riyal (17,5 Miliar). Hingga sekarang, uang itu kurang 9 Miliar. Dan ditetapkanlah 3 April 2014 sebagai hari terakhir Satinah menghirup udara sebelum bertemu Tuhan ditangan Sang Eksekutor Vonis Mati Pemerintah Saudi.

Terlepas dari itu semua, mari kita tengok sisi perjuangan Satinah, seorang ibu yang lemah tak berdaya atas nasibnya sendiri. Dia pergi meninggalkan seorang putri kecil 8 tahun yang lalu. Sebagai seorang ibu, tentu ini menjadi pilihan yang berat baginya. Putrinya yang masih kecil, masih membutuh kasih sayang dan belaian lembut darinya. Berjuang dalam rantauan, demi kucuran rupiah anaknya. Sedangkan sepeninggal Satinah ke Saudi, suaminya enyah kemana. Satinah berjuang keras di Saudi.

Putri Satinah sekarang sudah beranjak dewasa, dan dia mengetahui ibunya sekaligus pahlawannya, akan dihukum mati oleh pemerintah Saudi. Sakinah berkesempatan bertemu dengan putrinya, dan inilah yang dia sampaikan:

Ibu sudah ikhlas dan kamu (putri Satinah) juga ya”

"Ibu tetap minta berdoa yang terbaik buat semuanya, termasuk agar ibu bebas dari hukuman mati di Arab Saudi,"

“Nur (putri Satinah) kamu semangat ya tetap rajin bekerja. Ingat terus berdoa”

Tengoklah perjuangan Satinah, mungkin sebagian orang akan menganggap bahwa memang bekerja adalah tanggungjawab ibu kepada anaknya. Tapi, pernahkan Anda berfikir mengenai harga yang harus dibayar seorang Ibu yang bekerja demi anaknya? Ini bukan saja bentuk tanggungjawab, melainkan bukti dan cinta kasih nyata dari seorang Ibu kepada anaknya.

Ibu, yang mengandung kita selama 9 bulan. Selama itu dia berdoa kepada-Nya agar kita yang berada dalam kandungannya ini kelak menjadi orang yang sukses. Kemanapun dia berjalan, dia membawa kita dalam perutnya, tanpa mengeluh merasakan letih dan beratnya diri kita dalam perutnya.

Ketika persalinan dia bagai menyabung nyawa. Diantara berbagai kemungkinan, apakah kedua insan Tuhan ini akan selamat atau salah satunya dan atau sebaliknya. Dia berada pada titik pertaruhan nyawa, demi mengeluarkan kita ke dunia, demi si buah hati dapat merasakan terang dan redupnya dunia ini.

Perjuangan seorang ibu untuk kita, hingga kita sebesar ini. Tapi nyatanya dan umumnya, semakin bertambah usia kita, semakin kita lupa berbagi waktu dengan ibu. Kita lebih asyik bermain bersama teman. Lebih suka menanyakan kabar pacar dibandingkan kabar ibu. Lebih suka ‘menuntut’ ibu daripada ‘memahami’ ibu. Kita mungkin terlalu risi tentang sikap protektif ibu terhadap diri kita, padahal dia ingin kita aman.

Kita begitu sombong, selalu mengatakan bahwa nasihat dan rasa ketakutan ibu sebagai hal yang primitif. Padahal, kita tidak mungkin bisa membalas jasa seorang ibu. Tidak akan bisa. Terlalu besar harga yang harus kita bayar. Dan harga itu tak terbayang seberapa jumlahnya, harga yang melebihi batas berfikir kita. Terlalu besar.

Bersyukurlah kita yang masih memiliki ibu, merasakan kecupannya. Tempat kita bersandar. Masih sempat merasakan belaian tangannya, ayunan dalam gendongannya.

Andaikan ibu kita berada pada posisi Ibu Satinah, Apa yang akan kita lakukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun