Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Allah Ada, Mengapa Kejahatan Terjadi?

18 Agustus 2018   19:39 Diperbarui: 25 Agustus 2018   18:42 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tentu sering mendengar berita tentang seseorang yang tertabrak oleh sebuah mobil dan meninggal. Setelah acara penguburan, pertanyaan yang mungkin terus membayangi pikiran para anggota keluarga yang berduka adalah “mangapa hal seperti ini harus terjadi?” Ini adalah pertanyaan sama yang telah ditanyakan orang dari masa ke masa ketika sebuah tragedi melanda: mengapa hal-hal buruk terjadi kepada orang-orang baik? Apa yang dikatakan oleh kejadian seperti ini mengenai Allah? Coba pikirkan pergumulan apa yang telah dialami oleh hampir tiga ribu orang yang kehilangan nyawanya dalam serangan teroris di New York dan Washington pada 11 September 2001. George Barna pernah ditugaskan untuk menanyakan orang tentang pertanyaan apakah yang akan mereka tanyakan mengenai Allah jika mereka memiliki kesempatan. Dengan hasil yang cukup menakjubkan, pertanyaan yang paling ditanyakan adalah: “Mengapa banyak sekali penderitaan di dunia?”

Artikel ini ditulis untuk secara singkat menguji beberapa pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai kejahatan. Saya mendekati topik ini dengan beberapa kehati-hatian yang disebabkan karena memang faktanya penanganan yang benar memerlukan satu buku penuh, bukan hanya sebuah artikel pendek. Penanganan yang singkat selalu memiliki risiko kedangkalan. Saya mendorong para pembaca artikel ini untuk membaca beberapa karya yang lebih lengkap yang sudah saya tuliskan di bagian akhir artikel ini.

Sebelum sampai kepada pertanyaannya, alangkah baiknya untuk mencatat beberapa pemikiran mendasar mengenai kejahatan. Kejahatan bukanlah sesuatu yang memiliki keberadaan pada dirinya sendiri; namun, kejahatan merupakan kerusakan atau deviasi dari apa yang sudah ada. Kejahatan adalah absennya atau ketiadaan sesuatu yang baik. Kelapukan pada kayu pohon misalnya, dapat muncul hanya selama pohon itu ada. Kebusukan pada gigi dapat terjadi hanya selama gigi itu ada. Karat pada mobil dan bangkai yang membusuk mengilustrasikan maksud yang sama. Kejahatan ada sebagai kerusakan dari sesuatu yang baik; kejahatan merupakan ketiadaan dari sesuatu dan tidak memiliki esensinya sendiri. Norman Geisler mengatakan, “Kejahatan itu seperti luka pada lengan atau lubang pada sebuah kain. Kejahatan hanya ada di dalam sesuatu dan bukan di dalam dirinya sendiri.”

Tentu, untuk mengatakan bahwa kejahatan bukan sesuatu dalam dirinya sendiri tidak sama dengan mengatakan bahwa kejahatan itu tidak nyata. Kejahatan mungkin bukan suatu substansi aktual, tetapi ini melibatkan ketiadaan dan kerusakan aktual pada substansi-substansi kebaikan. Geisler mencatat, “Kejahatan bukan merupakan entitas aktual tetapi kerusakan yang nyata dalam entitas yang aktual.” Pohon yang lapuk, mobil yang berkarat, gigi yang busuk, kanker otak, bahkan kematian; semuanya ini adalah contoh bagaimana kejahatan adalah kerusakan dari sesuatu yang baik.

Mengerti apakah kejahatan itu merupakan satu hal dan mengerti bagaimana kejahatan semacam ini dapat ada dalam dunia yang diciptakan oleh Allah merupakan hal yang sangat berbeda. Masalah kejahatan dapat dipandang dalam bentuk yang sederhana sebagai konflik yang melibatkan tiga konsep: kuasa Allah, kebaikan Allah, dan kehadiran kejahatan di dalam dunia. Sebagian orang menganggap bahwa ketiganya tidak mungkin benar pada saat yang bersamaan. Solusi terhadap masalah kejahatan biasanya melibatkan modifikasi satu atau lebih dari tiga konsep yang ada: membatasi kuasa Allah, membatasi kebaikan Allah, atau memodifikasi keberadaan kejahatan (seperti menyebutnya sebagai ilusi).

Jika Allah tidak membuat klaim bahwa diri-Nya baik, maka pastilah lebih mudah untuk menjelaskan keberadaan kejahatan. Namun Allah kenyataannya mengklaim diri-Nya baik. Jika Allah dibatasi kuasa-Nya sehingga Ia tidak cukup kuat untuk menghambat kejahatan, keberadaan kejahatan akan lebih mudah untuk dijelaskna. Namun Allah nyatanya mengklaim diri-Nya mahakuasa. Jika kejahatan hanya sebuah ilusi yang tidak memiliki realitas, maka masalah itu tidak akan pernah muncul. Namun kejahatan bukanlah sebuah ilusi. Ini merupakan kenyataan.

Sekarang kita menghadapi realita baik kejahatan moral (kejahatan yang dilakukan oleh agen moral yang bebas, seperti perang, kriminal, pertentangan antar golongan, diskriminasi, perbudakan, pembantaian etnis, bom bunuh diri, dan berbagai macam ketidakadilan) dan kejahatan alami (seperti hujan badai, banjir, gempa bumi, dan hal-hal serupa lainnya). Allah itu baik, dan Allah mahakuasa, namun kejahatan itu ada. Ini adalah masalah kejahatan dalam bentuk yang paling dasar.

Para pemikir ternama seperti David Hume, H.G. Wells, dan Bertrand Russel telah menyimpulkan, berdasarkan observasi mereka mengenai penderitaan dan kejahatan, bahwa Allah Alkitab tidak ada. Hume secara singkat mengatakan ketika ia menulis mengenai Allah, “Apakah Ia berkeinginan mencegah kejahatan, namun tidak dapat? Maka Ia tidak mahakuasa. Apakah Ia dapat, namun tidak ingin? Maka Ia jahat. Apakah Ia dapat maupun ingin: bagaimana bisa ada kejahatan? Jika memang ada Allah - dan Ia mahabaik dan mahakuasa - maka semua malapetaka seperti pembunuhan Hitler terhadap enam juta orang Yahudi tidak akan pernah terjadi.

Pastilah orang-orang Kristen setuju bahwa yang Hitler lakukan terhadap orang-orang Yahudi adalah kejahatan yang sangat mengerikan. Namun saya harus buru-buru mengingatkan, sebelum menyajikan pandangan alkitabiah mengenai masalah kejahatan, bahwa perlakuan mendasar mengkategorikan tingkah laku Hitler sebagai kejahatan mengangkat satu masalah filosofis yang penting. Seperti yang telah ditangkap oleh para pemikir, jika seseorang ingin mengklaim bahwa ada kejahatan di dalam dunia, pertama-tama orang itu harus bertanya dengan kriteria apa sesuatu itu dikatakan sebagai kejahatan. Bagaimana seseorang dapat mengatakan bahwa beberapa hal adalah jahat dan hal lainnya tidak? Alat pengukur moral apakah yang dipakai untuk mengukur orang maupun kejadian secara moral? Dengan proses apa kejahatan dibedakan dari kebaikan dan sebaliknya?

Kenyataannya ialah mustahil untuk membedakan kejahatan dan kebaikan kecuali seseorang memiliki sebuah titik acuan yang tak terbatas yang benar-benar baik. Jika tidak, maka seseorang adalah seperti seorang di dalam perahu yang berada di lautan luas pada malam hari yang mendung tanpa sebuah kompas (di mana tidak ada cara untuk membedakan utara dari selatan tanpa titik acuan absolut dari jarum kompas). Lebih jauh, sebuah garis tidak dapat kita katakan bengkok jika kita tidak pernah tahu seperti apa garis yang lurus.

Titik acuan yang tak berhingga untuk membedakan kebaikan dari kejahatan dapat ditemukan hanya dalam pribadi Allah, karena Allah sendiri dapat memenuhi kriteria atau definisi benar-benar baik atau baik secara absolut. Jika Allah tidak ada, maka tidak ada standar moral yang absolut di mana seseorang berhak mengatakan bahwa sesuatu atau seseorang itu sebagai sesuatu yang jahat. Lebih spesifik lagi, jika Allah tidak ada, tidak akan ada dasar ultimat untuk mengatakan atau memutuskan, misalnya, kejahatan yang dilakukan Hitler. Dilihat dari sudut pandang demikian, realita kejahatan sebenarnya membutuhkan keberadaan Allah dan bukan malah meniadakannya.

Apakah asal-usul kejahatan?

Awal ciptaan adalah “sangat baik” (Kejadian 1:31). Tidak ada dosa, tidak ada kejahatan, tidak ada rasa sakit, dan tidak ada kematian. Namun sekarang dunia dipenuhi dosa, kejahatan, rasa sakit, dan kematian. Mengapa semua ini bisa terjadi? Alkitab mengindikasikan bahwa kemerosotan ini terjadi pada saat Adam dan Hawa menggunakan kehendak bebas yang diberikan Allah untuk memilih tidak taat kepada Allah (lihat Kejadian 3).

Beberapa orang bertanya-tanya mengapa Allah tidak menciptakan manusia, yang entah bagaimana, yang tidak akan pernah berdosa dan oleh sebab itu juga dapat terhindar dari kejahatan. Faktanya adalah, skenario seperti ini akan berarti bahwa kita bukanlah benar-benar manusia. Kita tidak akan pernah memiliki kapasitas untuk membuat keputusan dan untuk mencintai dengan bebas. Skenario ini akan mengharuskan Allah menciptakan robot-robot yang hanya akan bertindak sesuai dengan apa yang telah di programkan, seperti boneka yang dapat berbicara, yang ketika Anda tarik talinya dapat mengatakan, “Saya mencintaimu.” Paul Little mengingatkan bahwa dengan boneka semacam ini “tidak akan ada kata-kata kasar, tidak akan ada konflik, tidak akan ada apa pun yang dikatakan atau dilakukan yang akan membuat Anda sedih! Namun siapa yang mengingini itu semua? Tidak akan pernah ada cinta pula. Cinta itu bersifat sukarela. Allah dapat saja membuat kita seperti robot, namun kita akan berhenti menjadi manusia. Allah rupanya berpikir bahwa memang sepadan dengan risikonya untuk menciptakan kita seperti sekarang ini.”

Cinta tidak dapat diprogram; cinta harus diekspresikan dengan bebas. Allah menginginkan Adam dan seluruh umat manusia untuk menunjukkan cintanya secara bebas, memilih untuk taat. Itulah mengapa Allah memberikan Adam dan manusia lainnya sebuah kehendak bebas. Geisler benar ketika mengatakan “kasih yang dipaksakan adalah pemerkosaan; dan Allah bukanlah pemerkosa ilahi. Ia tidak akan melakukan apa-apa untuk memaksa keputusan manusia.” Sebuah pilihan bebas akan memberikan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam memilih. Seperti yang dikatakan J.B. Phillips, “Kejahatan tersirat dalam pemberian kehendak bebas yang berisiko itu.”

Dalam melihat fakta-fakta Alkitabiah, kita dapat menyimpulkan bahwa rencana Allah memiliki kemungkinan menghasilkan kejahatan ketika Ia memberikan kebebasan memilih kepada manusia, tetapi asal-usul kejahatan sebenarnya datang dari manusia yang mengarahkan keinginannya menjauh dari Allah dan menuju kepada keinginannya sendiri yang serakah. Norman Geisler dan Jeff Amanu mengatakan, “Allah menciptakan fakta kebebasan, manusia melakukan tindakan bebas tersebut; ciptaan membuatnya aktual.” Setelah Adam dan Hawa membuat kejahatan menjadi aktual pada kali pertama itu di Taman Eden, natur dosa telah diwariskan kepada setiap pria dan wanita (lihat Roma 5:12; 1 Korintus 15:22), dan akibat natur dosa itulah kita sekarang ini terus menggunakan kehendak bebas itu untuk membuat kejahatan itu menjadi aktual (lihat Markus 7:20-23).

Bahkan kejahatan yang dialami seperti gempa bumi, tornado, banjir, dan hal-hal serupa-berakar dari penyalahgunaan kehendak bebas kita. Kita tidak boleh lupa bahwa kita hidup dalam dunia yang telah jatuh, dan karena itu, kita rentan akan bencana alam yang tidak akan terjadi jika saja manusia tidak memberontak melawan Allah pada mulanya (lihat Roma 8:2022). Taman Eden tidak memiliki bencana alam atau kematian sampai setelah Adam dan Hawa berdosa (lihat Kejadian 1-3). Tidak akan ada bencana alam atau kematian dalam langit dan bumi yang baru ketika Allah mengakhiri kejahatan selama-lamanya (lihat Wahyu 21:4).

Apakah tujuan ultimat Allah mengizinkan kejahatan?

Fakta bahwa manusia menggunakan pilihan bebas yang diberikan Allah untuk memberontak terhadap Allah tidak mengejutkan Allah. C.S. Lewis mengatakan bahwa Allah di dalam kemahatahuan-Nya “melihat bahwa dari dunia ciptaan yang bebas, walaupun mereka jatuh, Ia dapat menghasilkan... kebahagiaan yang lebih dalam dan kesukaan yang lebih penuh dari apa yang akan dikatakan oleh dunia yang  mekanistis.” Atau, seperti yang dikatakan dengan sangat baik oleh Geisler, bahwa orang-orang yang percaya Allah tidak harus mengklaim bahwa dunia yang sekarang ini adalah yang terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat diciptakan, namun merupakan cara terbaik terhadap dunia terbaik yang mungkin diciptakan: Jika Allah mempertahankan kebebasan maupun mengalahkan kejahatan, maka ini adalah cara terbaik untuk melakukannya. Kebebasan yang dipertahankan di dalam setiap orang membuat pilihan bebasnya untuk menentukan nasibnya. Kejahatan termasuk di dalamnya, segera setelah mereka menolak Allah dipisahkan satu sama lain, semua keputusan itu menjadi permanen. Mereka yang memilih Allah akan diteguhkan di dalam-Nya, dan dosa akan berhenti. Mereka yang menolak Allah ada di dalam perceraian dari kasih Allah yang kekal (baca: neraka) dan tidak dapat mengacau dunia yang sempurna di masa yang akan datang. Tujuan utama dari dunia yang sempurna dengan ciptaan yang bebas akan tercapai, tetapi jalan untuk mencapai ke sana mengharuskan mereka yang menyalahgunakan kebebasan itu dicampakkan.

Sebuah faktor yang sangat penting dalam pemikiran bahwa ini bukanlah dunia terbaik yang mungkin ada tetapi cara terbaik terhadap dunia terbaik yang mungkin ada adalah bahwa Allah belum selesai. Seringkali orang jatuh ke dalam perangkap memikirkan bahwa karena Allah belum berurusan dengan kejahatan berarti Ia tidak berurusan dengan kejahatan sama sekali. Walter Martin mengatakan, “Saya telah membaca pasal terakhir dalam kitab itu, dan kita menang!” Kejahatan suatu saat akan berakhir. Hanya karena kejahatan belum dihancurkan sekarang tidak berarti bahwa kejahatan tidak akan pernah dihancurkan.

Dalam melihat fakta-fakta di atas, keberadaan kejahatan di dunia terlihat sinkron dengan keberadaan Allah yang mahabaik dan mahakuasa. Kita dapat merangkum fakta-fakta yang ada demikian:

  • Jika Allah mahabaik, Ia akan mengalahkan kejahatan.
  • Jika Allah mahakuasa, Ia dapat mengalahkan kejahatan.
  • Kejahatan belum dikalahkan.
  • Maka, Allah dapat dan suatu saat akan mengalahkan kejahatan.

Suatu hari di masa depan, Kristus akan kembali, melucuti kuasa si jahat, dan menghakimi seluruh laki-laki dan perempuan untuk segala perbuatannya selama di bumi (lihat Matius 25:31-46; Wahyu 20:11-15). Keadilan akan mutlak menang. Mereka yang masuk dalam kekekalan tanpa memercayai Yesus Kristus sebagai jalan keselamatan akan mengerti seberapa efektif Allah telah berurusan dengan masalah kejahatan.

Bukankah akan lebih baik jika Allah melenyapkan seluruh kejahatan secepatnya?

Beberapa orang skeptis mungkin tertantang untuk menentang bahwa tidak perlu menghabiskan waktu sepanjang sejarah manusia bagi Allah yang mahakuasa untuk berurusan dengan masalah kejahatan. Allah tentunya memiliki pilihan untuk melenyapkan seluruh kejahatan secepatnya. Bagaimanapun, memilih opsi ini akan memiliki implikasi yang terbatas dan fatal bagi setiap kita. Seperti yang ditunjukkan Paul Little, “Jika Allah harus menyingkirkan kejahatan hari ini, Ia akan menyelesaikan seluruhnya. Itu berarti Dia harus menghilangkan kebohongan-kebohongan dan ketidakmurnian pribadi kita, kekurangan kasih pada diri kita, dan kegagalan kita melakukan kebaikan. Andaikan saja Allah akan menghilangkan kejahatan dari jagad raya ini pada tengah malam nanti, siapa dari kita akan tetap ada setelah tengah malam?”

Walaupun solusi final terhadap masalah kejahatan terjadi di masa yang akan datang, seperti yang telah saya katakan, Allah bahkan sekarang telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa kejahatan tidak merajarela secara liar. Bahkan, Allah telah memberikan pemerintah di bumi ini untuk mengendalikan dan menahan kekacauan yang terjadi (lihat Roma 13:1-7). Allah mendirikan gereja untuk menjadi terang di tengah kegelapan, untuk menguatkan umat-Nya, dan bahkan membantu menghambat pertumbuhan kejahatan di dunia melalui kuasa Roh Kudus (misal Kisah Para Rasul 16:5, 1 Timotius 3:15). Dalam Firman-Nya, Allah telah memberikan kita sebuah standar moral untuk membimbing dan menjaga kita berada dalam jalur yang benar (lihat Mazmur 119). Ia telah memberikan kita unit keluarga untuk membawa stabilitas kepada masyarakat (lihat Amsal 22:15, 23:13). Dan masih banyak lagi!

Apakah keberadaan kejahatan membuktikan bahwa Allah itu terbatas?

Paham Allah yang terbatas (finite godism) dipopulerkan pada awal tahun 1980-an oleh Rabbi Harold Kushner, penulis buku laris When Bad Things Happen to Good People. Dalam bergumul dengan kematian prematur putranya, Kushner menyimpulkan bahwa Allah ingin orang-orang benar hidup bahagia, tetapi kadang Ia tidak dapat merealisasikannya. Ada hal-hal di mana Allah memang tidak dapat mengendalikannya. Allah itu baik, tetapi Ia tidak cukup berkuasa untuk mendatangkan hal-hal baik yang Ia inginkan. Pendek kata, Allah itu terbatas. Kushner menulis, “Saya mengenal keterbatasan-Nya. Ia terbatas dalam apa yang dapat dilakukan-Nya terhadap hukum alam dan oleh evolusi natur manusia dan kebebasan moral manusia.” Ia meratap bahwa “bahkan Allah memiliki kesulitan menjaga kekacauan dan membatasi kerusakan yang dapat dilakukan oleh kejahatan.”

Paham Allah yang terbatas memperkenalkan Allah, yang karena Ia terbatas, adalah Allah yang hanya merupakan keberadaan sekunder di mana diri-Nya sendiri membutuhkan sebab. Allah semacam ini tidak layak atas pujian kita. Juga Allah yang demikian tidak layak atas rasa percaya yang kita berikan kepada-Nya, karena tidak ada jaminan bahwa Ia akan dapat mengalahkan kejahatan di masa depan.

Paham keterbatasan gagal melihat waktu Allah bukanlah waktu manusia. Seperti yang dikatakan sebelumnya, fakta bahwa Allah belum mengalahkan kejahatan saat ini tidak berarti ia tidak akan melenyapkannya di masa yang akan datang (lihat 2 Petrus 3:7-12; Wahyu 20-22). Ini bukanlah yang ter-baik dari seluruh kemungkinan dunia yang dapat diciptakan, tetapi merupakan cara terbaik terhadap dunia terbaik yang mungkin diciptakan.

Paham keterbatasan jelas menentang kesaksian Alkitab mengenai Allah. Alkitab menggambarkan Allah sebagai omnipotent (mahakuasa). Ia memiliki kuasa untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkan-Nya. Kira-kira ada lima puluh enam kali Alkitab menyatakan bahwa Allah mahakuasa (misal, Wahyu 19:6). Allah memiliki kekuatan yang sangat melimpah (lihat Mazmur 147:5) dan kuasa-Nya yang tak tertandingi (lihat 2 Tawarikh 20:6; Efesus 1:19-21). Tak satu pun yang dapat menahan tangan Tuhan (lihat Daniel 4:35). Tak satu pun yang dapat membalikkan tindakan Allah (lihat Yesaya 43:13), dan tak satu pun yang dapat menyingkirkan-Nya (lihat Yesaya 14:27). Tak ada yang mustahil bagi Allah (lihat Matius 19:26; Markus 10:27; Lukas 1:37) dan tak ada yang terlalu sulit bagi-Nya (lihat Kejadian 18:14; Yeremia 32:17, 27). Sang Maha Kuasa memerintah (lihat Wahyu 9:6), dan Ia pada suatu hari akan mengalahkan kejahatan.

Apakah kejahatan hanya merupakan ilusi?

Beberapa orang, terutama mereka yang berafiliasi dengan the Mind Sciences, beragumen bahwa kejahatan adalah sebuah ilusi. Mary Baker Eddy, pendiri Christian Science, beragumen bahwa masalah kejahatan, penyakit, dan kematian itu tidak nyata dan hanya merupakan ilusi dari pikiran yang fana. Penulis dari Unity School of Christianity, Emily Cady juga menulis hal yang sama, “Tidak ada kejahatan... Rasa sakit, penyakit, kemiskinan, usia lanjut, dan kematian adalah hal-hal yang tidak nyata, dan itu semua tidak memiliki kuasa terhadap diri saya.” Ernest Holmes, pendiri dari Religious Science, menulis, “Seluruh kejahatan yang terlihat itu adalah hasil dari ketidaktahuan atau kedunguan dan akan hilang sampai batas di mana hal tersebut tidak dipikirkan lagi, dipercayai, atau dirasakan.”     

Jika kejahatan hanya sebuah ilusi, maka mengapa melawannya? Walaupun Mary Baker Eddy mengatakan bahwa kejahatan terhadap penyakit jasmani dan kematian adalah ilusi, hal-hal tersebut adalah fakta sejarah di mana dalam tahun-tahunnya yang semakin menurun, ia berada di dalam perawatan dokter, menerima suntikan morfin untuk menahan rasa sakitnya, memakai kacamata, menjalani ekstrasi gigi, dan perlahan meninggal, oleh sebab itu ia “bersaksi dusta” akan apa yang ia percayai dan ajarkan.

Ketika orang mengklaim bahwa kejahatan adalah sebuah ilusi, saya berpikir ini merupakan permainan yang adil untuk bertanya kepada mereka apakah mereka mengunci pintu depan rumah mereka pada malam hari. Apakah mereka meninggalkan kunci mobil pada kunci kontak ketika mereka memarkir mobil di pusat kota? Apakah mereka memasang sabuk pengaman dalam kendaraan? Apakah mereka pergi ke dokter gigi? Apakah mereka mengenakan pelampung kepada anak kecil mereka ketika mereka berenang di laut? Apakah mereka memperingatkan anak-anak mereka untuk tidak terlalu dekat dengan api pada saat mereka memasak? Apakah mereka mendukung hukum yang menentang  pedofilia? Jika kejahatan hanya sebuah ilusi, maka hal-hal demikian benar-benar tidak perlu dan harus tidak menjadi masalah bagi siapa pun.

Menyangkal bahwa kejahatan ada tidak menghilangkan realitanya. Penjelasan mengenai kejahatan semacam ini sendiri merupakan bentuk pemikiran delusi yang terburuk. Yesus benar-benar percaya kepada realita kejahatan. Di dalam Doa Bapa Kami, Ia tidak mengajarkan kita untuk berdoa, “Lepaskanlah kami daripada ilusi kejahatan,” tetapi “Lepaskanlah kami dari yang jahat.”

Menerima pandangan Christian Science yang mengatakan bahwa kejahatan adalah sebuah ilusi membuat kita harus menyangkal indra dan pengalaman pribadi kita sendiri. Sangat perlu diperhatikan bahwa Alkitab sering mengingatkan kita untuk memperhatikan bukti-bukti empiris dengan menggunakan lima indra kita. Yesus memberi tahu Tomas si peragu itu untuk mencucukkan jarinya ke dalam luka penyaliban Tuhan Yesus sebagai cara untuk membuktikan kepada Tomas bahwa memang Yesus benar-benar telah bangkit dari kematian (lihat Yohanes 20:27). Dalam Lukas 24:39 dicatat bahwa Yesus yang bangkit memberi tahu para pengikut-Nya, “Lihatlah tangan dan kaki-Ku. Inilah Aku! Sentulah Aku dan lihat; hantu tidak memiliki tubuh dan tulang, seperti yang engkau lihat mengenai Aku.” Kita membaca dalam 1 Yohanes 1:1 bahwa Yohanes dan para murid berbicara “apa yang telah kami dengar, di mana kami telah melihat dan tangan kami telah menyentuh-ini kami beritakan mengenai Firman hidup” (NKJV). Indra yang sama yang begitu yakin bersaksi tentang Yesus yang bangkit, bersaksi pula akan realita kejahatan di dalam dunia kita; bukan hanya kepada beberapa orang, namun secara universal dan di sepanjang masa.

Dapatkah panteisme zaman baru (new age pantheism) menjelaskan kejahatan?

Ronald Rhodes - salah satu kontributor dari buku Who Made God - menulis demikian, “Saya memiliki teman, Jim, yang telah membaca beberapa buku saya mengenai apologetika dan gerakan Zaman Baru. Suatu hari ia terkena penyakit tertentu dan pergi ke dokter yang telah merekomendasikan untuknya. Hampir setengah pemeriksaan, Jim mulai mencurigai bahwa dokternya mungkin seorang penganut praktik penyembuhan Zaman Baru (New Age Medicine). Jadi Jim yang tidak tahu apa-apa terjerembab di dalam situasi seperti itu tiba-tiba bertanya, “Apakah Anda Allah?” Dokter tersebut dengan bersemangat menjawab, ‘Ya memang, dan Anda juga dan setiap orang lain-nya juga.’ Jim keluar dari kantor itu bagaikan kilat.”

Panteisme adalah pandangan bahwa Allah adalah semua dan semua dan semua adalah Allah. Kata panteisme datang dari dua kata Yunani—pan (“semua”) dan theos (“Allah”). Dalam panteisme semua realita dipandang sebagai sesuatu yang melebur dengan yang ilahi. Allah panteisme adalah impersonal, “sesuatu” yang amoral dan bukan “Ia” yang personal dan memiliki moral seperti apa yang digambarkan kekristenan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan sepenuhnya hilang dalam pandangan ini.

Jika benar bahwa “semua adalah satu” dan “semua adalah Allah,” seperti yang dipegang oleh pengikut Zaman Baru, perbedaan antara baik dan jahat pastilah hilang. Penganut Zaman Baru David Spangler menegaskan bahwa etika Zaman Baru “tidak didasarkan atas...konsep dualistik dari ‘baik’ dan ‘jahat’.” Tidak ada kesalahan moral absolut dan tidak ada kebenaran moral absolut. Segala sesuatu adalah relatif. Tentu, para filsuf telah lama menunjukkan kelemahan filosofis dari pandangan semacam ini, karena hal ini sama dengan mengatakan bahwa ini merupakan kebenaran absolut di mana tidak ada kebenaran absolut. Ketika para penganut Zaman Baru memberitahu saya bahwa tidak ada keabsolutan, saya sering bertanya kepadanya apakah orang tersebut secara absolut yakin mengenai hal itu.

Masalah utama dengan cara pandang panteistik Zaman Baru adalah bahwa pandangan tersebut gagal untuk cukup berurusan dengan keberadaan kejahatan yang rill di dalam dunia. Jika Allah adalah esensi dari segala bentuk di dalam ciptaan, seseorang harus menyimpulkan bahwa baik jahat maupun baik muncul dari esensi yang sama pula (yaitu Allah). Dengan kata lain, hal-hal seperti Perang Dunia I dan II, Hitler, pembunuhan, penyakit kanker, pemerkosaan, dan manifestasi kejahatan lainnya adalah bagian dari Allah.

Alkitab secara kontras mengajarkan bahwa Allah itu baik dan bukan jahat (lihat 1 Tawarikh 16:34; Mazmur 118:29; 136:1; 145:8-9; Matius 19:1). Allah Alkitab adalah terang, dan “di dalamnya tidak ada kegelapan sama sekali” (lihat 1 Yohanes 1:5; Habakuk 1:13; Matius 5:48). 1 Yohanes 1:5 berbicara kuat sekali dalam bahasa Yunaninya, yang secara literal dapat diterjermahkan menjadi: “Dan kegelapan tidak ada di dalam-Nya, tidak ada dalam bentuk apa pun.” Yohanes tidak dapat mengatakannya dengan lebih keras lagi.    

Dalam bagian yang sama Rhodes melanjutkan, “Saya berkesempatan untuk berbicara dengan mantan guru Rabi Maharaj, dan ia berbicara panjang lebar mengenai ketidakpuasan etis yang ia rasakan mengenai cara pandang monistik dan panteistik, terutama berkenaan dengan masalah kejahatan. Kesadaran saya yang semakin tinggi akan Allah sebagai Pencipta, terpisah dan berbeda dari alam semesta yang Ia ciptakan, bertentangan dengan konsep Hindu bahwa Allah adalah segala sesuatu, dan bahwa Pencipta dan ciptaan adalah satu dan sama. Jika hanya ada Satu Realita, maka [Allah] adalah kejahatan dan juga kebaikan, kematian dan juga kehidupan, kebencian dan juga kasih. Itu membuat segalanya menjadi tidak berarti, hidup sebagai suatu yang absurd. Tidaklah mudah untuk tetap menjaga kewarasan seseorang maupun pandangan bahwa kebaikan dan kejahatan, kasih dan kebencian, hidup dan mati adalah Satu Realita. Rabi membuat satu-satunya pilihan logis dan menjadi seorang Kristen!”

Apakah kita membuat sendiri realita kita?

Banyak penganut Zaman Baru percaya bahwa orang menciptakan semua realita yang ada padanya—baik jahat maupun baik—dengan kekuatan pikiran mereka. Penulis populer Zaman Baru David Gershon dan Gail Straub mencatat bahwa “kita tidak dapat menghindari menciptakan realita kita; setiap kali kita memikirkan sebuah pikiran maka kita sedang menciptakannya. Setiap kepercayaan yang kita pegang membentuk apa yang kita alami di dalam hidup kita.” Dalam hal ini, “Jika kita menerima premis dasar bahwa pikiran kita menciptakan realita kita, ini berarti kita bertanggung jawab untuk menciptakan semua realita kita—bagian-bagian yang kita sukai maupun bagian-bagian yang tidak kita sukai.”

Masalah yang kritis mengenai pandangan ini adalah bahwa jika manusia (sebagai allah) menciptakan realita mereka sendiri, seperti yang dikatakan para penganut Zaman Baru, maka seseorang tidak dapat mengutuk pribadi-pribadi yang melakukan kejahatan. Misalkan, seseorang harus menyimpulkan bahwa berjuta-juta orang Yahudi yang dieksekusi di bawah rezim Hitler membuat realita mereka sendiri. Maka, tindakan-tindakan Hitler tidak dapat dikutuk sebagai hal yang salah secara etis, karena Hitler hanya bagian dari sebuah realita yang dibuat oleh oleh orang-orang Yahudi sendiri. Begitu juga, seseorang tidak dapat mengutuk teroris yang meledakkan pesawat karena orang-orang di dalam pesawat terbang tersebut menciptakan realitanya sendiri.

Ketika putri dari Shirley MacLaine yang adalah guru seni peran terbakar habis dalam sebuah tabrakan, MacLaine bertanya, “Mengapa ia memilih untuk mati dengan cara demikian?” Apologet Kristen Douglas Groothuis, setelah membaca buku MacLaine it’s All in the Playing, merespons hal ini dengan mengatakan, “Kami menemukan Shirley menangis di depan televisinya ketika ia melihat dampak dari gunung berapi Chilean yang membunuh 25.000 orang. Mengapa menangis? Mereka memilih untuk mati demikian bukan?” Dengan kata lain, semakin seseorang bertanya-tanya terhadap penjelasan Zaman Baru mengenai kejahatan, maka hal ini semakin menjadi absurd.

Apakah reinkarnasi menjelaskan keberadaan kejahatan?

Banyak penganut Zaman Baru mendasarkan etikanya kepada reinkarnasi dan karma. Proses reinkarnasi (kelahiran kembali yang berkesinambungan) dikatakan terus berlanjut sampai jiwa mencapai tahap kesempurnaan dan bersatu kembali dengan sumbernya (Allah atau Sang Jiwa Universal). Karma mengacu kepada “hutang” yang diakumulasi oleh jiwa karena tindakan baik atau buruk yang dilakukan selama kehidupan seseorang (atau kehidupan di masa lalu). Jika seseorang mengakumulasi karma yang baik, ia akan tereinkarnasi dalam keadaan yang diinginkan. Jika seseorang mengakumulasi karma buruk, ia akan tereinkarnasi dalam keadaan yang lebih tidak diinginkan.

Banyak penganut Zaman Baru menjelaskan keberadaan kejahatan di dalam dunia kita dalam konsep pemikiran karma. Penulis Zaman Baru yang terkenal Gary Zukav, misalnya, mengatakan kita tidak seharusnya berprasangka ketika orang-orang menderita dengan sangat buruk, karena “kita tidak tahu apa yang sedang disembuhkan [melalui karma] dalam penderitaan ini.” Apa yang Zukav sebut sebagai “keadilan yang tidak berprasangka” membebaskan kita menjadi hakim dan juri terhadap kejahatan yang muncul; hukum karma akan membawa keadilan pada akhirnya.

Akankah Zukav membuat kita percaya bahwa ketika para tentara di Ceylon menembak seorang ibu yang merawat anaknya dan kemudian menembak ibu jari kaki bayinya untuk sasaran latihan tembak, ini akan membawa “kesembuhan” kepada jiwa sang ibu dan anaknya? Ketika kaum Shiites di Uni Soviet merobek kandungan seorang wanita Armenia yang mengandung dan merobek perut dari janin yang ada (kejadian nyata yang dilaporkan surat kabar), apakah Zukav benar-benar mengharapkan kita untuk menempatkan iman kita pada “keadilan yang tidak berprasangka” alih-alih menjadi marah secara moral? Di mana keilahian dan kesakralan dalam semua ini?

Banyak sekali masalah dalam doktrin reinkarnasi. Secara praktis, seseorang harus bertanya, mengapa seorang dihukum untuk sesuatu yang ia tidak ingat dia lakukan di dalam kehidupan sebelumnya? Lebih jauh lagi, jika (seperti dikatakan kepada kita) tujuan dari karma adalah untuk menghilangkan keinginan-keinginan egois dari kemanusiaan dari berbagai masa kehidupan, maka mengapa di sana tidak terlihat kemajuan dalam natur manusia setelah reinkarnasi yang berabad-abad? Mengapa kejahatan terus bertumbuh? Lebih jauh lagi, jika reinkarnasi dan hukum karma begitu bersumbangsih sampai kepada level praktisnya, seperti yang diklaim oleh para penganut Zaman Baru, maka bagaimana mereka menjelaskan masalah-masalah sosial ekonomi yang terus berlanjut—termasuk penyebaran kemiskinan, kelaparan, penyakit, dan penderitaan yang menyedihkan—di India, di mana reinkarnasi telah secara sistematik diajarkan sepanjang sejarah?

Sudah pasti reinkarnasi tidaklah Alkitabiah, melawan apa yang Alkitab ajarkan mengenai kematian dan kehidupan sesudahnya. Ibrani 9:27 secara gamblang menyatakan bahwa “manusia ditentukan untuk mati suatu saat, dan kemudian harus menghadapi penghakiman” (NKJV). Setiap manusia hidup sekali sebagai manusia fana di bumi, mati satu kali, dan kemudian menghadapi penghakiman. Ia tidak memiliki kesempatan kedua dengan reinkarnasi ke dalam tubuh yang lain (lihat Lukas 16:19-31; 2 Korintus 5:8).

Memercayai Allah dalam dunia yang penuh penderitaan

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, keberadaan kejahatan pada kenyataannya sinkron dengan keberadaan Allah yang mahabaik dan mahakuasa, sangat dekat dengan menekankan bahwa Allah Bapa yang penuh kasih memanggil kita untuk memercayai-Nya dengan iman yang seperti anak kecil selama kita hidup dalam dunia yang penuh penderitaan ini. Kadang-kadang, orang tua harus membuat keputusan bagi putra atau putrinya di mana keputusan tersebut mungkin melibatkan rasa sakit (seperti pergi ke dokter gigi). Dari perspektif sang anak, mereka mungkin tidak mengerti sepenuhnya mengapa orang tua memaksa untuk pergi ke dokter gigi. Terlepas dari ketidaknyamanan yang ada (dan bahkan rasa sakit), hal ini merupakan kebutuhan mereka yang sangat tepat untuk pergi ke dokter gigi.

Kadang kita sebagai manusia bertanya-tanya mengapa Allah mengizinkan kita untuk melalui situasi tertentu yang begitu menyakitkan. Namun hanya karena kita menemukan kesulitan untuk membayangkan apa alasan Allah melakukan itu tidak berarti bahwa tidak ada alasan apa pun di balik ini semua. Dari perspektif kita sebagai manusia yang terbatas, kita seringkali hanya dapat melihat sedikit sekali benang dalam rajutan hidup yang luar biasa dan juga kehendak Allah. Kita tidak memiliki gambaran yang utuh. Ini sebabnya mengapa Allah memanggil kita untuk memercayai-Nya (lihat Ibrani 11). Allah melihat gambaran utuh dan tidak membuat kesalahan-ke-salahan. Ia mempunyai alasan untuk mengizinkan situasi-situasi yang menyakitkan menimpa kita—bahkan sekalipun kita tidak dapat memahaminya.

Geisler memberikan kita sesuatu yang penting untuk kita pikirkan dalam hal tersebut: Bahkan di dalam keterbatasan kita, merupakan hal yang mungkin bagi manusia untuk menemukan maksud-maksud yang baik bagi rasa sakit—hal-hal semacam ini mengingatkan kita untuk kejahatan yang lebih besar (seorang anak kecil hanya perlu menyentuh kompor panas sekali saja untuk belajar tidak melakukannya kembali), dan untuk menghindarkan kita dari penghancuran diri sendiri (saraf-saraf yang ada dalam diri kita mendeteksi rasa sakit sehingga kita tidak akan, misalnya, terus memegang wajan panas di tangan kita). Jika manusia terbatas dapat menemukan maksud-maksud baik bagi kejahatan, maka pastilah Allah yang bijaksana dan tak terbatas memiliki maksud-maksud baik untuk semua penderitaan. Kita mungkin tidak mengerti maksud itu di dalam hal-hal temporal “saat ini,” tetapi bagaimanapun hal ini ada. Ketidakmampuan kita untuk membedakan mengapa hal-hal buruk kadang terjadi kepada kita tidak menampik bukti kebaikan Allah; hal tersebut hanya mengekspos ketidaktahuan kita.

Baik bagi kita untuk terus mengingat adanya dimensi waktu. Seperti yang telah kita lakukan dalam mengevaluasi kunjungan ke dokter gigi itu dalam konteks dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan di masa mendatang, Alkitab mengingatkan orang-orang Kristen untuk mengevaluasi penderitaan sekarang ini dalam terang kekekalan. Seperti yang dikatakan oleh Paulus, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan  zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Roma 8:18; lihat juga 2 Korintus 4:17; Ibrani 12:2; 1 Petrus 1:6-7).

Dan jangan lupa bahwa meskipun kita menghadapi penderitaan, Allah memiliki kemampuan sebagai Penguasa alam semesta yang berdaulat untuk membawa kebaikan darinya (lihat Roma 8:28). Sebuah contoh akan hal ini adalah kehidupan Yusuf. Saudara-saudaranya iri hati terhadapnya (lihat Kejadian 37:11), membencinya (37:4, 5, 8), ingin membunuhnya (37:20), menjebloskannya ke dalam sumur (37:24), dan menjualnya ke pasar budak (37:28). Kemudian Yusuf dapat mengatakan kepada saudara-saudaranya, “sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.” (45:5), dan “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (50:20). Walaupun hal-hal jahat terjadi pada Yusuf, Allah memiliki maksud pemeliharaan dalam mengizinkan semua ini terjadi.

Rasul Paulus tentu tidak suka dipenjara, namun Allah mempunyai maksud pemeliharaan dalam mengizinkan ini terjadi. Bagaimanapun, selama di dalam penjara Paulus menulis kitab Efesus, Filipi, Kolose, dan Filemon (lihat Efesus 3:1; Filipi 1:7; Kolose 4:10; dan Filemon 9). Allah dengan jelas membawa kebaikan dari penderitaan Paulus.

Kadang, “kebaikan” yang Allah datangkan dari penderitaan melibatkan hal-hal yang membawa kita lebih dekat kepadaNya. Joni Eareckson Tada, yang patah leher dalam sebuah kecelakaan renang dan menjadi quadriplegic, mengatakan tragedi dirinya membawanya jauh lebih dekat kepada Allah. Ia bahkan dikutip mengatakan bahwa ia lebih suka berada di kursi roda bersama dengan Allah daripada dapat berjalan tanpa Allah.

Kadang, “kebaikan” yang Allah datangkan dari penderitaan menghasilkan perubahan positif dalam karakter kita. Petrus mengacu kepada hal ini ketika ia mengatakan, “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kris-tus menyatakan diri-Nya” (1 Petrus 1:6-7; parafrasa modern adalah: “No pain, no gain”-“Tidak akan ada keberhasilan tanpa perjuangan yang berat”).

Semuanya ini dikatakan dengan sebuah pandangan untuk menekankan perlunya iman di tengah-tengah dunia yang penuh penderitaan ini. Allah pasti sedang mengerjakan maksud-Nya di tengah-tengah kita, dan kita harus memercayainya! Saya suka dengan cara Gary Habermas dan J.P. Moreland menuturkannya. Mereka mendorong kita untuk memelihara pandangan “atas ke bawah”: Allah alam semesta mengundang kita untuk memandang hidup dan kematian dari sudut pandang kekekalan-Nya. Dan jika kita melakukannya, kita akan melihat bagaimana hal ini merevolusi kehidupan kita: keresahan-keresahan sehari-hari, luka-luka emosional, tragedi, respons-respons kita dan tanggung jawab kepada orang lain, kepemilikan kita , kekayaan, dan bahkan rasa sakit fisik serta kematian. Semuanya ini dan banyak lagi dapat dipengaruhi oleh kebenaran surga. Kesaksian berulang kali dari Perjanjian Baru adalah bahwa orang-orang percaya harus melihat segala masalah, seluruh keberadaan mereka dari apa yang kita sebut pandangan “atas ke bawah”: Allah dan Kerajaan-Nya terlebih dahulu, yang diikuti dengan berbagai aspek dari keberadaan duniawi kita.

Di masa depan—ketika kita akhirnya mencapai “hal terbaik dari semua kemungkinan dunia yang dapat diciptakan” bahwa Allah sedang menghadirkan, negara surgawi itu “di mana arsitek dan pembangunnya adalah Allah” (Ibrani 11:10 NKJV)— kita akan mengalami reuni besar yang tidak akan pernah berakhir! Kematian, kejahatan, penderitaan, dan air mata akan menjadi masa lalu.

Bacaan penting :

  • Ken Boa & Larry Moody, I’m Glad You Asked (Colorado Springs: Victor, 1994).
  • Norman L. Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker, 1999).
  • Millard J. Erickson, Introducing Christian Doctrine (Grand Rapids: Baker, 1996).
  • Norman L. Geisler & Ronald M. Brooks, When Sceptics Ask (Wheaton, III.: Victor, 1990).
  • Robert Morey, The New Atheism and the Erosion of Freedom (Minneapolis: Bethany House, 1986).
  • Paul E. Little, Know Why You Believe (Downers Grove, III.: InterVarsity Press, 1975).
  • Norman L. Geisler & Jeff Amanu, “Evil,” dalam New Dictionary of Theology, ed. Sinclair B. Ferguson & David F. Wright (Downers Grove, III.: InterVarsity Press, 1988).
  • Rick Road, “The Problem of Evil: How Can a Good God Allow Evil?” (1996).
  • Dan Story, Defending Your Faith (Nashville: Nelson, 1992).
  • Harold Kushner, When Bad Things Happen to Good People (New York: Schocken, 1981).
  • Mary Baker Eddy, Miscellaneous Writings (Boston: Christian Science Publishing Society, 1896).
  • Emily Cady, Lessons in Truth (Kansas City, Mo.: Unity School of Christianity, 1941).
  • Ernest Holmes, What Religious Science Teaches (Los Angeles: Science of Mind Publications, 1974).
  • Walter Martin, The Kingdom of the Cults (Minneapolis: Bethany House, 1997).
  • David Spangler, Revelation: The Birth of a New Age (Middleton, Wis.: Lorian, 1976).
  • Rabi Maharaj, “Death of a Guru: The Personal Testimony of Rabi Maharaj,” Christian Research Newsletter 3, no. 3 (1990).
  • David Gershon & Gail Straub, Empowerment: The Art of Creating Your Life as You Want It (New York: Delta, 1989).
  • Shirley MacLaine, dikutip dalam Douglas Groothuis, “A Summary Critique,” review dari It’s All in the Playing, dalam Christian Research Journal (Fall 1987).
  • Lee Strobel, “Why Does God Allow Suffering?” (pesan yang disampaikan di Saddleback Valley Community Church, El Toro, California, 26 Februari 2000).
  • Gary Zukav, The Seat of the Soul (New York: Simon & Schuster, 1989).
  • Norman L. Geisler, The Root of Evil (Dallas: Probse, 1989).
  • C.S. Lewis, The Great Divorce (New York: Macmillan, 1946).
  • C.S. Lewis, The Problem of Pain (New York: HarperCollins, 2001, cetak ulang; dipublikasikan pertama kali, 1940).
  • Gary R. Habermas & J.P. Moreland, Immortality: The Other Side of Death (Nashville: Nelson, 1992).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun