Saya percaya setiap kita yang pernah ada di dalam pelayanan pasti sudah tahu apa artinya penolakan dan kegagalan. Kita yang berada di dalam pelayanan namun tidak pernah dikecewakan, ditolak, dan mengalami kegagalan, mungkin termasuk dalam salah satu kategori di bawah ini. Pertama, mungkin kita berada dalam sebuah gereja yang begitu sempurna, yang berisi orang-orang yang sempurna dalam kesuciannya; bersama para malaikat berada satu tingkat di bawah takhta Allah yang mahakudus. Dan kita semua tahu bahwa tidak ada gereja yang seperti itu. Kedua, mungkin kita tidak pernah terlibat dalam pelayanan sehingga tidak mengerti apa artinya ditentang, dikritik, dan dikecewakan.
Penolakan dan kegagalan di dalam pelayanan adalah hal yang biasa. Pelayanan tidak selalu menyenangkan. Setiap orang yang pernah menerjunkan diri ke dalam pelayanan dengan mudah dapat mengamininya. Ada kritikan dan fitnahan. Ada pula kegagalan dan kekecewaan. Tidak jarang bahkan ada penolakan dan pertentangan.
Namun yang membuat situasi ini menjadi sulit adalah ketika kita tetap menghadapi ini semua di saat kita sudah memberikan yang terbaik dari apa yang kita bisa. Kita sudah berkata-kata dengan baik. Kita sudah menyampaikan firman dengan baik. Kita sudah bekerja dengan keras. Kita sudah melayani dengan sungguh-sungguh. Kita sudah melayani dengan tulus, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Kita benar-benar mengasihi orang-orang yang kita layani. Kita sudah berusaha mengalah kepada banyak orang. Kita sudah berusaha untuk menghindari konflik. Kita sudah mengoptimalkan segala sesuatu untuk sebaik mungkin berada di dalam pelayanan. Kita sudah melakukan hal yang benar, dengan cara yang benar, dan motivasi yang benar. Namun tetap saja orang tidak bisa menerima kita. Mereka tetap menolak dan mengecewakan kita. Kegagalan tetap menanti di ujung jalan. Tentu saja situasi ini bukan merupakan situasi yang kita harapkan. Sangat tidak mudah untuk dihadapi.
Bagaimana respons kita biasanya? Mungkin kita akan marah dan membela diri. Mungkin kita diliputi oleh perasaan kesedihan yang luar biasa; kita menangis tersedu-sedu. Mungkin kita akan patah semangat dan putus asa karena tidak bisa menghadapi situasi yang sedemikian rumit ini. Jika kita pernah, sedang, atau mungkin akan berada dalam situasi serupa - entah itu di dalam relasi, pelayanan, maupun pekerjaan - maka artikel ini dalam anugerah Tuhan Yesus Kristus, bisa menjadi salah satu jawaban yang dibutuhkan.
Situasi yang sama juga dialami oleh Paulus pada saat dia menulis surat 2 Korintus. Sebagian jemaat tergiur dengan para rasul palsu (11:13) yang berusaha memikat hati jemaat demi mendapatkan keuntungan tertentu (2:17). Mereka berusaha mengganti firman Allah dengan berita-berita yang menyenangkan telinga manusia (baca: sesuai dengan minat pasar). Mereka juga membanding-bandingkan Paulus dengan para penyesat itu (12:11). Ditambah dengan kondisi pelayanan Paulus yang penuh dengan penderitaan, kelemahan, dan penolakan (4:7-10; bdk. 11:23-28), Paulus terlihat "kalah" dibandingkan para rasul palsu itu. Keberhasilan tampaknya ada di tangan para rasul palsu. Paulus dianggap sebagai gembala yang gagal. Karena itu, kuburlah dalam-dalam keinginan untuk menyenangkan semua orang! Kita hanya bisa menyenangkan semua orang dengan cara mengorbankan kesenangan Allah.
Secara khusus, apa yang terjadi pada pelayanan Paulus sekilas tidak selaras dengan konsep pelayanan yang dia sudah terangkan di pasal 2-3. Bukankah Allah selalu membawa dia pada jalan kemenangan (2:14)? Bukankah pelayanannya di dalam Roh lebih hebat daripada pelayanan Musa (3:6-13)? Bukankah Roh memberikan kemerdekaan (3:17-18)? Lalu mengapa Paulus masih menghadapi penolakan?
Situasi seperti ini memang tidak mudah bagi seorang pelayan Tuhan. Banyak orang mungkin berpikiran negatif terhadap Paulus. Penolakan dianggap sebagai kegagalan yang memberikan petunjuk ke arah ketidakberesan pelayanan. Menghadapi situasi seperti ini, seorang pelayan Tuhan tidak jarang menjadi lemah. Mungkin kita ingin menyerah saja dan keluar dari pelayanan.
Tidak demikian dengan Paulus. Rahasianya terletak pada kemurahan Allah (4:1a) sebagai dasar dari pelayanan Paulus. Dia menerima pelayanan berdasarkan kasih karunia Allah (1Kor. 15:9-10). Dilibatkan oleh Allah dalam pelayanan Roh yang penuh kemuliaan (3:6-18) juga merupakan bentuk kemurahan ilahi. Kesadaran terhadap kemurahan Allah inilah yang membuat Paulus tidak tawar hati (4:1b, lit. "tidak kehilangan hati" RSV/NRSV, kontra LAI:TB). Pelayanan yang diterima sebagai kemurahan Allah tidak menjamin jalan di depannya selalu lurus dan tidak berbatu. Kemurahan Allah bukan berarti sepi masalah. Namun kemurahan Allah membuat kita tidak kehilangan hati di tengah semua persoalan yang ada.
Kesadaran tentang kemurahan Allah juga menolong Paulus untuk melakukan pelayanannya dengan penuh integritas (4:2). Dia hanya menyampaikan firman Allah apa adanya. Tidak ada maksud terselubung. Tidak ada motivasi yang bengkok. Dia bahkan membiarkan hidupnya diteropong semua orang. Ketulusan menjadi ciri dalam pelayanannya. Sikap ini jelas berbeda dengan para rasul palsu. Di pasal 2:17 Paulus dengan lantang berkata: "Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya".
Kesadaran bahwa pelayanan kita berasal dari Allah seharusnya membuat kita melayani dengan cara Allah. Pekerjaan Allah yang dikerjakan dengan cara Allah pasti selalu mendatangkan pertolongan Allah.
Jikalau pelayanan Paulus dipenuhi dengan kemurahan Allah, mengapa masih ada penolakan? Jikalau dia sudah melayani dengan penuh semangat (4:1) dan integritas (4:2), mengapa masih banyak orang yang tidak mau menerima dia dan Injil yang dia beritakan? Mengapa cara dan motivasinya yang benar ini justru menghasilkan kegagalan? Apakah kehidupan yang benar dan pemberitaan kebenaran yang murni tidak selamanya berujung pada keberhasilan? Benarkah keberhasilan bukanlah sebuah anugerah melainkan hasil dari sebuah metode? Jawabannya diberikan dalam teks kita hari ini. Persoalan bukan terletak pada Paulus, melainkan pada kondisi rohani mereka yang dilayani oleh Paulus. Bagaimanakah kondisi orang-orang yang selalu menolak Injil yang diberitakan oleh Paulus? Seberapa parahkah keadaan mereka?