Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia

9 Maret 2018   19:00 Diperbarui: 22 Juli 2018   01:32 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu ketegangan teologis yang sering dipersoalkan adalah kaitan antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia. Sebagian orang berpendapat bahwa keduanya bersifat eksklusif. Jika Allah berdaulat, maka manusia tidak bisa bebas. Pergulatan ini memang tidak mudah. Banyak aspek terlibat di dalamnya, baik teologis, filosofis, maupun praktis. Beragam pertanyaan lanjutan bisa diajukan sebagai respons terhadap sebuah penjelasan, tidak peduli posisi apapun yang diambil.

Ada yang mengaitkannya dengan keberadaan kehidupan yang seolah-olah tidak melibatkan persetujuan manusia sama sekali (manusia tidak pernah minta untuk dilahirkan). Ketika menjalaninya pun, manusia tampaknya tidak dilibatkan (manusia hanya sebagai boneka). Jika dugaan seperti ini benar, jelas akan muncul beragam persoalan teologis maupun praktis: Apa makna dari ibadah seandainya manusia tidak memiliki kebebasan? Apakah manusia masih perlu bertanggung-jawab atas setiap keputusan dan tindakan yang mereka lakukan “seturut” dengan ketetapan Allah yang berdaulat? Bukankah pembatasan kebebasan manusia merupakan sebuah kejahatan karena merenggut kehormatan manusia sebagai makhluk yang bebas?

Mencoba menuntaskan semua persoalan di atas dalam sebuah artikel singkat hanyalah upaya menjaring angin. Mungkin hanya sedikit lebih mudah daripada membangkitkan orang mati. Terlalu menggampangkan sebuah permasalahan. Apa yang ditulis di sini memang tidak dimaksudkan ke arah sana. Tujuan yang ingin diraih adalah menguraikan masalah dengan cara menjernihkan beberapa kesalahpahaman di balik pertanyaan yang ada dan mengajak untuk memikirkan beragam alternatif lain yang ternyata lebih sukar untuk dipertahankan.

Menurut saya, kunci untuk memahami persoalan ini justru terletak pada definisi dan keberadaan Allah. Apakah Allah memang ada? Allah seperti apa yang keberadaan-Nya sedang kita bicarakan di sini? Secara definisi (terlepas dari kita mengakui atau menolak keberadaan Allah), istilah “Allah” seharusnya diterapkan pada sebuah Pribadi yang kekal, sempurna, Pencipta segala sesuatu, dan tidak bergantung maupun dibatasi oleh apapun di luar diri-Nya. Jikalau salah satu poin dalam definisi ini ditolak berarti kita bukan sedang membicarakan tentang Allah.

Jika ada seorang ateis yang mempersoalkan kedaulatan Allah dan kebebasan manusia, pokok diskusi sebaiknya diarahkan pada keberadaan Allah terlebih dahulu. Apakah lebih rasional untuk mempercayai Allah itu ada atau tidak ada? Jika yang mempersoalkan adalah seorang teis, dia perlu menjadikan definisi di atas sebagai perspektif.

Dalam Alkitab sendiri, ketegangan ini tampaknya tidak terlalu dirisaukan oleh umat Tuhan maupun para penulis Alkitab. Ada banyak petunjuk tentang hal ini. Sebagai contoh, walaupun Daud sudah diurapi sebagai raja dan dia meyakini kesetiaan Tuhan terhadap janji-Nya, Daud tetap tidak gegabah. Pada saat nyawanya mungkin terancam di Kehila, Daud meminta petunjuk dari Tuhan untuk mengambil arah selanjutnya (1Sam 23). Yang paling jelas adalah penjelasan Paulus di Roma 9. Secara eksplisit dan tegas dia menegaskan kedaulatan Allah atas manusia (ayat 14-27). Bahkan kedaulatan Allah ini justru diberikan sebagai pembelaan terhadap keadilan Allah (ayat 14). Pendeknya, bagi Paulus, Allah berhak melakukan apapun yang Dia mau. Di akhir pergumulannya, Ayub mengakui: “Aku tahu, bah-wa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ay. 42:2). Dia bahkan memahami segala bencana yang menimpa dia sebagai “rencana Allah”. Allah terlibat secara aktif di balik semua peristiwa tersebut (bdk. 1:21). Satu-satunya pembatas bagi kedaulatan atau kebebasan Allah menurut Alkitab adalah natur-Nya sendiri. Misalnya, Allah tidak dapat berdusta (Bil. 23:19; 1Sam. 15:29). Allah tidak dapat dicobai maupun mencobai orang lain (Yak. 1:13). 

Jadi, dalam Alkitab, kebebasan manusia tampaknya tidak dianggap sebagai sebuah persoalan untuk mengamini kedaulatan Allah. Mengapa demikian? Karena mereka menjadikan kedaulatan Allah sebagai sebuah perspektif. Yang lain adalah objek yang dilihat dari perspektif itu. Kedaulatan Allah dan kebebasan manusia tidak boleh diletakkan pada posisi yang sejajar, apalagi sama. Yang satu adalah perspektif untuk memahami yang lain. Tanpa berpikir demikian, ketegangan yang ada akan sulit untuk dipahami, apalagi dituntaskan.

Berbekal perspektif seperti itu, marilah kita sekarang mencoba mendiskusikan tentang kebebasan manusia. Terlepas dari teologi seperti apa yang dianut oleh seseorang, dia tetap tidak bisa mengabaikan sebuah fakta bahwa manusia tidak bebas secara mutlak. Entah dia seorang ateis atau teis, Reformed atau Arminian, dia harus mengakui bahwa manusia tidak bebas secara mutlak. Ada hal-hal tertentu yang memagari kebebasan manusia.

Menyangkali kebenaran ini adalah naif dan tidak logis. Manusia memang tidak mungkin bisa bebas sepenuhnya. Jika ada yang bebas secara mutlak, dia juga bebas untuk merampas kebebasan orang lain. Dia tidak perlu memusingkan orang lain. Dia boleh hidup sesuka hatinya tanpa disalahkan. Hal ini jelas tidak mungkin, baik secara logis maupun praktis. Dengan kata lain, kita harus menerima kebebasan manusia yang terbatas. Sekarang tinggal bagaimana kita menerangkan pembatasan itu.

Apakah yang paling pantas untuk memagari kebebasan manusia? Menurut Alkitab ya kedaulatan Allah. Dalam kuasa dan hikmat-Nya yang tidak terbatas, Allah sanggup menjalankan kedaulatan-Nya yang mutlak tanpa meniadakan kehendak bebas manusia. Jika penjelasan ini ditolak, seseorang harus menyediakan alternatif yang lebih baik. Sayangnya, sejauh ini tidak ada opsi lain yang lebih masuk akal.

Sekarang kita akan melihat pembatasan ilahi atas kebebasan manusia ini dalam kaitan dengan moralitas. Maksudnya, apakah Allah bersalah atau berbuat jahat pada saat Dia membatasi kebebasan manusia? Tentu saja tidak! Kita sudah membahas bahwa kebebasan manusia memang terbatas dan perlu untuk dibatasi. Tanpa pembatasan, seseorang akan bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain. Jadi, kebebasan yang terbatas merupakan sebuah keniscayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun