Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu...
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika Allah Baik, Mengapa Ada Neraka?

10 Februari 2018   15:21 Diperbarui: 18 Agustus 2018   11:22 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang, neraka bukanlah sebuah topik yang menarik untuk diperbincangkan. Ada banyak kebingungan. Ada banyak pertanyaan yang terungkit ke permukaan. Salah satunya berkaitan dengan kebaikan Allah. Bagaimana Allah yang baik dapat mengirim manusia ke neraka? Jika Allah memang baik, mengapa Dia tega menghukum manusia ke dalam neraka? Mengapa hukuman yang diberikan begitu mengerikan dan bersifat kekal? Ada beragam cara untuk menjawab pertanyaan di atas, salah satunya berdasarkan penjelasan Paulus di 2 Tesalonika 1:9. Hukuman neraka tidak bertentangan dengan kebaikan Allah. Ada dua poin utama: (1) kebaikan Allah tidak terpisahkan dari keadilan-Nya; (2) orang di neraka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Kebaikan Allah tidak terpisahkan dari keadilan-Nya (ayat 9a)

Pilihan LAI:TB dan beberapa versi Inggris (RSV/NASB/ESV) untuk menerjemahkan ayat 9a dalam bentuk kalimat aktif merupakan keputusan yang tepat (kontra KJV/NIV “mereka akan dihukum”). Dalam teks Yunani kata kerja yang digunakan memang berbentuk aktif (tisousin). Jadi, penekanan terletak pada “mereka”, bukan “Allah”. Penekanan seperti ini perlu digarisbawahi. Apa yang mereka akan jalani di akhir zaman nanti lebih merupakan sebuah konsekuensi dari tindakan mereka. Allah memang menghukum, tetapi penekanannya bukan di sana. Allah tidak akan menghukum orang tanpa alasan. Mereka memang pantas menanggung hukuman. Semua ini berkaitan dengan situasi yang sedang dihadapi oleh jemaat Tesalonika. Mereka sedang menghadapi penganiayaan dan penindasan (1:4, 6-7).

Paulus ingin meneguhkan hati jemaat Tesalonika dengan cara mengingatkan mereka tentang keadilan Allah. Kata “adil” muncul berkali-kali dalam bagian ini (1:5-6). Begitu pula dengan kata “penghakiman” (1:5) atau “pembalasan” (1:6, 8). Bagi jemaat Tesalonika yang sedang ditindas dan dianiaya, penghiburan ini sangat diperlukan. Walaupun kebenaran ini tidak mengurangi penderitaan mereka, namun tetap berfaedah untuk meneguhkan iman dan ketabahan mereka. Walaupun iman dan ketabahan mereka belum tergoyahkan, tetapi mereka tetap membutuhkan dukungan. Allah tidak pernah mengabaikan penderitaan mereka. Penganiayaan dan penindasan tidak akan meniadakan kasih dan kebaikan Allah. Allah tetap mengasihi mereka. Kasih itu akan diwujudkan dalam bentuk keadilan, karena dua hal ini – kebaikan dan keadilan – memang tidak terpisahkan. Tatkala waktunya tiba, Allah yang adil akan memberikan kelegaan kepada umat-Nya (1:7). Inilah bukti dari kasih Allah.

Pada momen yang sama Allah juga akan menjatuhkan hukuman atas para penindas (1:6, 9). Respons ini bukan lahir dari kebencian Allah terhadap mereka. Sikap ini muncul dari keadilan-Nya. Orang berdosa patut dihukum. Keadilan Allah menuntut hal tersebut. Allah itu adil dan Ia harus menghukum dosa (Hab. 1:13; Why. 20:11-15). Mereka yang menganggap neraka dan kebaikan Allah sebagai dua hal yang kontradiktif perlu untuk mengkaji ulang pandangannya. Sampai di sini sepertinya kasih dan keadilan merupakan atribut-atribut yang tidak harmonis. Jika Allah adalah adil, maka Ia harus menghukum dosa. Tetapi jika Allah adalah kasih, Ia harus mengampuni dosa. Bagaimana Ia dapat menjadi dua-duanya?

Setiap tindakan Allah pasti melibatkan semua sifat-Nya. Tidak ada kebaikan tanpa keadilan. Begitu pula tidak ada keadilan tanpa kebaikan. Atribut-atribut (karakteristik) Allah tidak saling bertentangan. Ia benar-benar adil dan juga mengasihi tanpa syarat. Setiap atribut melengkapi atribut lainnya. Allah adalah kudus secara adil dan adil secara kudus. Keadilan-Nya terlihat di dalam kasih-Nya dan kasih-Nya terpancarkan secara adil.

Bukti paling sempurna dan paling jelas tentang bagaimana kasih dan keadilan Allah bertemu adalah pada kayu salib Yesus Kristus (Rm. 3:24-26). Di kayu yang tua itu tergambar jelas kasih karunia Allah yang mau menyelamatkan orang berdosa. Dia menyelamatkan kita tanpa mempertimbangkan perbuatan baik kita. Dalam kasih-Nya, Allah mengutus Putra-Nya untuk membayar upah atas dosa-dosa kita sehingga keadilan-Nya dapat terpuaskan dan kasih-Nya tersalurkan. Karena upah dosa ialah maut (Rm. 6:23). Dan dosa terhadap Allah yang kekal menghasilkan kematian kekal (Why. 20:14-15). Jadi ketika Kristus mati bagi dosa-dosa kita (Rm. 5:8), Yang Adil menderita bagi yang tidak adil (1Pet. 3:18) sehingga Ia dapat membawa kita kepada Allah (2Kor. 5:21).

Namun, di kayu yang kasar itu keadilan-Nya juga terukir dalam-dalam. Hukuman ditimpakan di pundak Anak-Nya sendiri. Salib adalah perpaduan sempurna antara keadilan dan kebaikan Allah. Keadilan Allah mengharuskan dosa untuk dihukum, namun kasih-Nya mendorong Allah untuk menyelamatkan orang berdosa. Dengan kematian Kristus bagi kita, keadilan-Nya terpuaskan dan kasih-Nya terpancarkan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara keadilan absolut dan kasih yang tanpa syarat. Sebagai ilustrasi, Allah seperti hakim yang setelah memutuskan hukuman kepada orang yang bersalah, meletakkan jubahnya, berdiri di samping sang terdakwa, dan membayar hukuman bagi terdakwa tersebut. Yesus melakukan hal yang sama bagi kita di Kalvari. Keadilan dan kasih-Nya benar-benar bertemu di atas kayu salib. Inilah yang menjadi keunikan kekristenan dalam Injil Yesus Kristus.

Orang di neraka mendapatkan apa yang mereka inginkan (ayat 9b)

Pada bagian ini Paulus tidak menggunakan kata “neraka” sama sekali. Tidak ada gambaran tentang api, kegelapan, ulat, maupun gertakan gigi (bdk. Mat. 3:12; 8:12; 13:42, 50; 22:13; 25:30). Sebaliknya, dia menerangkan tentang esensi neraka. Semua metafora tersebut hanyalah sebuah cara untuk mengungkapkan esensi ini. Dari esensi ini terlihat keadilan Allah dalam penghukuman-Nya atas orang-orang di neraka: mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Untuk memahami poin ini, kita perlu mengingat bahwa penghuni neraka adalah “mereka yang tidak mau mengenal Allah dan menaati Injil Yesus, Tuhan kita” (1:8). Mereka bukan orang yang tidak tahu, melainkan yang tidak mau. Bagi mereka, pengenalan tentang Allah dan kabar baik dalam Kristus Yesus bukanlah hal yang menarik sama sekali. Mereka menolak mentah-mentah. Kelak di neraka mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hukuman kebinasaan kekal dijelaskan dengan kalimat “dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya” (1:9b). Bukankah hadirat Tuhan dan kemuliaan-Nya yang mereka tolak dari semula? Bukankah mereka dari awal memang tidak menginginkan persekutuan dengan Tuhan? Itulah yang mereka akan dapatkan! Inti dari neraka adalah keterpisahan total dari hadirat Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun