Setiap saya pulang ke Ungaran , saya selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam ayah di Taman Makam Pahlawan di Ungaran , beliau wafat 10 Oktober 2006. Setiap berkunjung ke makam saya teringat kisah-kisah heroik beliau waktu dikejar-kejar Belanda di daerah Boyolali, setelah membakar gedung –gedung yang ditinggalkan supaya tidak digunakan oleh musuh, dengan ketakutan beliau bersembunyi di selokan yang berlumpur dimana diatas gorong-gorong tersebut Belanda lewat dengan kendaraan dan pasukan perangnya. Mungkin itu situasi yang traumatik buat beliau, setiap bercerita momen tersebut, saya amati ekspressi wajah beliau berubah , kecemasan yang pada saat itu masih tersimpan di dalam hatinya.
Beliau seorang muslim yang taat, hampir tidak pernah lupa untuk berdoa lima waktu, bahkan saat menjelang wafatnya beliau berpesan pada kami, “Saya sudah lelah, sudah saatnya saya pulang ke rumah Allah” kemudian beliau berdoa dan beberapa saat kemudian wafat, seperti seorang yang tidur dengan damai. Kami yang ditingalkan mendampinginya dengan rela, tanpa kesedihan malah bahagia, beliau berpulang dengan damai dan bahagia.
Beliau sering kali berpesan kepada kami anak-anaknya supaya dalam hidup in mejadi berkah bagi banyak orang, berbuatlah amal untuk setiap orang yang membutuhkan, dan jujur. Dulu waktu kami masih anak-anak sering kali mengeluh, sebagai perwira TNI, teman-teman ayah hidupnya berkecukupan dan sebagian lagi dalam kelimpahan, mengapa ayah hidup pas-pasan.Beliau selalu menekankan nilai kejujuran, “Cukupkanlah hidup mu dengan rejeki yang diberikan Allah, dan bersyukurlah senantiasa, jangan korupsi, uang hasil korupsi itu uang panas, tidak akan membawa ketentraman lahir dan batin” pesan beliau.
Disamping pusara bapak terdapat puluhan pusara tanpa nama, dipusaranya ditulis “TAK DIKENAL” sebagian besar wafat pada tahun 1945 pada saat terjadi peperangan dengan Belanda.
Terharu dan trenyuh melihat pusara- pusara yang tidak pernah dikunjungi sanak saudaranya, namun juga sedih puluhan ribu anak bangsa yang gugur untuk meraih kemerdekaan tanpa nama dan tidak dikenal, . Dan kita generasi berikutnya yang menikmati buah kemerdekaan yang diraih dengan darah dan airmata, hanya menatap gunjungi pusara-pusara mereka. Kita generasi yang tidak pernah mengalami perjuangan, tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya dan mencekamnya setiap hari bergerilya dalam medan pertempuran dengan desingan peluru yang bertubi-tubi.
Mungkin perjuangan kita sebagai generasi berikutnya berbeda, perjuangan kita lebih ringan, cukup berlaku jujur, adil dan membantu orang lain supaya dapat hidup lebih layak, sudah cukup, atau bagi merekan yang diberi rejeki berlebih membagikan kepada orang yang membutuhkan, atau bagi mereka yang menjadi bos atau pemilik perusahaan berusaha mencipatakan pekerjaan sebanyak-banyaknya dan memperkerjakan orang –orang yang memang membutuhkan penghasilan dari pekerjaan itu dengan memberikan gaji yang layak.
Kita generasi yang lahir setelah tahun 1945 sesungguhnya BERHUTANG terhadap pendahulu kita termasuk pahlawan – pahlawan yang tidak dikenal.Menurut saya cukup berlaku jujur dan adil dan beramal sesuai dengan kemampuan kita, kita sudah membayar hutang kepada pahlawan-pahlawan tak dikenal yang disemayamkan di Makam Pahlawan dengan pusara “TAK DIKENAL”, semoga pengorbanan beliau-beliau tidak sia-sia dan kita lanjutkan sesuai dengan jaman dan situasi saat ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI