Mohon tunggu...
Stephani Getta
Stephani Getta Mohon Tunggu... Freelancer - Apa saja yang ada di kepala ditulis

lebih suka berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Untuk Bapak Penjual Koran

19 Maret 2020   10:11 Diperbarui: 19 Maret 2020   14:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah pukul sembilan pagi. Tumpukanmu masih cukup tinggi. Masih kau lakoni dengan sangat hati-hati. Menimang setumpuk harapan untuk makan siang nanti. Menjual koran di masa ini, apa iya masih ada yang peduli? Tanyamu dalam hati.

Tepian lampu lalu lintas menurutmu strategis. Aku yakin kau suka sekali warna merah. Lampu merah selalu jadi penantian pasti setiap pagi, meski langkahmu tidak seberapa pasti, seperti kebanyakan mereka yang punya kaki untuk berlari. Memang aku lihat, kau juga punya kaki tapi sepertinya tidak untuk berlari. Terlalu berbahaya untuk kau yang lahir dengan situasi demikian.

Ada yang membuka kaca mobilnya! Sepertinya yang didalam memanggilmu, dia memunculkan tangannya memintamu mendekat. Koranmu laku satu pagi itu. 

Akhirnya, lima ribu pertama, semoga menjadi pertanda baik selanjutnya. Lembaran lima ribu itu jatuh ke aspal, terbang memilih mengikuti laju angin. 

Masih bisa kau tangkap meski harus sedikit berjuang. Jarakku berdiri masih terlampau jauh untuk membantumu yang terseok mengambil lembaran bernilai itu. Kuusahakan, tapi kau berhasil meraihnya lebih dulu.

Lima ribu saja untuk mengurangi tumpukanmu satu demi satu, kuputuskan ambil bagian mengurangi tumpukan itu. Halaman utama koran pagi ini soal BPJS kesehatan yang batal naik nominal. 

Aku mengeluarkan satu lembar lima ribuku, kau menerimanya dengan tangan bergetar tidak karuan. Tanganmu ternyata juga sulit mengambil salah satu tumpukan itu. 

Senyumku mengembang saat aku tahu usahamu berhasil. Menarik salah satu dari tumpukanmu untuk kau tukar dengan lima ribu kepunyaanku. Cukup unik karena kau memilih menariknya dengan lipatan mulut sehingga koranku terjepit diantaranya. Tak apa, aku sangat maklum sekaligus kagum.

Aku beranjak dengan terimakasih. Doamu tak putus. Terbata tak jelas baris katanya tapi aku yakin penuh makna dan segera bisa jadi nyata.

Terima kasih bapak penjual koran di tepian lampu lalu lintas, di pukul sembilan pagi, di tengah kota Surabaya yang tiba-tiba saja sejuk hari itu.


(Bertemu dan bersapa dengan bapak penjual koran yang berjuang dengan keterbatasan fisiknya)
Surabaya, 11 Maret 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun