“Saya tidak marah kalau Anda seperti semua lidah Melayu, kepalang melafazkan ca-bau-kan menjadi cabo. Yang saya marah, kalau Anda kira ca-bau-kan atau cabo itu perempuan yang tiada bermoral. Ini pembelaan. Bukan hanya pembetulan.”
Begitulah bunyi dari paragraf 2 dari novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado. Novel yang ditulis oleh Remy Sylado yang merupakan nama pena dari Yapi Panda Abdiel Tambayong ini, menceritakan kisah Nyonya Dijkoff yang menyelidiki bahwa Ibunya adalah Siti Nurhayati atau yang lebih dikenal sebagai Tinung. Nyonya Dijkoff ingin mencari, sebenarnya siapa ayahnya.
Sebab Tinung ternyata memiliki 2 Tang Peng Liang dalam hidupnya. Tinung diceritakan mulai dari saat dia masih seorang remaja berumur 14 tahun. Tinung adalah perempuan Betawi yang menikah dengan Bang Obar namun kemalangan terjadi dan Bang Obar meninggal dunia.
Tinung yang keluarganya bertikai dengan keluarga Bang Obar pun dipaksa menjanda tanpa ditinggali harta sepeserpun. Dari kejadian ini, kehidupan Tinung berubah jauh. Saodah yang bekerja sebagai wanita penghibur di Kalijodo, mengajak Tinung untuk bekerja bersama dia. Disana, Tinung belajar berbagai hal baru.
Tinung di didik menjadi seorang penyanyi dan penari apik untuk menghibur para lelaki tionghoa yang datang untuk berdagang. Tinung pun bekerja sebagai Cabo. Cabo sebenarnya adalah bahasa Hokkien dengan arti Wanita yang diperistri oleh lelaki Tionghoa. Dari sini, Tinung dipertemukan dengan Tang Peng Liang dan kisah cinta mereka pun dimulai. Jelas dari ringkasan diatas, novel ini mengandung banyak unsur kebudayaan Tionghoa.
Remy menggunakan pengetahuannya akan kebudayaan Tionghoa, Thailand, Betawi, Jepang dan Belandanya dalam menyusun kisah ini. Cerita sedemikian detail sehingga sangat mudah membayangkan kejadian yang diceritakan. Kemampuannya berbahasa Hokkien disini pun terlihat jelas. Meski kita tidak tahu bahasa Hokkien, terdapat catatan kaki yang disediakan sebagai sumber untuk kita mengetahui apa arti kata-kata itu.
Remy menulis cerita dengan sangat detail. Dia menulis lagu tanpa meninggalkan siapa pengarang lagunya. Dia juga mampu merangsang imajinasi kita dengan deskripsi situasi dan tempat yang detail, dan dia menceritakan setiap tokohnya dengan baik. Menurut saya kisah ini sangat unik. Bagaimana Remy bisa memunculkan ide bahwa seorang wanita mencari siapa ayahnya dan ternyata ibunya bertemu dengan dua Tan Peng Liang yang keduanya kemungkinan adalah ayahnya. Ini hanya bisa terjadi 1 diantara 1000 kemungkinan.
Novel ini mengandung banyak unsur budaya Tionghoa. Buktinya dengan adanya bahasa hokkien yang merupakan salah satu suku di Cina dan lagu-lagu mandarin yang digunakan sebagai properti dalam cerita. Selain budaya Tionghoa yang pada masa itu membanjiri Betawi, Remy menjelaskan sejarah kota Jakarta dengan lengkap. Seperti bagaimana jalan-jalan yang ditulis dengan nama awalnya. Misalnya Gang Chaulan sebagai Jl. Hasyim Ashari. Dengan konsisten, nama asli dari jalan-jalan ini digunakan selama 35 bab.
Setelah membaca novel ini, nuansa tionghoa dan kebudayaan serta imajinasi yang saya dapatkan dari kalimat yang dituturkan masih terbayang-bayang dalam angan. Rasanya seperti saya menyaksikan semua itu, mendengar lagu mandarinnya, menonton tariannya, tertawa saat Tinung belajar menari, dan merasakan perasaan yang Tinung rasakan ketika melihat Tan Peng Liang. Seolah saya benar ada dalam kejadian ini. Seolah saya telah menjadi Tionghoa. Sebab saya sangat terlarut dalam cerita ini.
Selain kebudayaan Tionghoa yang kental dan latar yang begitu membekas, pesan moral pun ditemukan. Seperti jangan mudah putus asa, setiap orang memiliki jalan hidup masing-masing yang unik, dan berusahalah melihat sisi positif meski sedang terpuruk. Bagi pelajar, kita juga bisa belajar bagaimana menyusun novel yang baik. Lengkapnya catatan kaki, detailnya penokohan dan latar yang membuat cerita semakin mudah dibayangkan, dan kekonsistenan dari novel, akan sangat berguna untuk kalian yang ingin menulis novel. Bagi semua orang yang membaca, buku ini juga layaknya sebuah buku pengetahuan yang menceritakan sejarah Jakarta beserta bahasa Hokkien namun tidak membosankan untuk dibaca sebab adanya plot yang bagus.