Mohon tunggu...
STENY MUNTIR
STENY MUNTIR Mohon Tunggu... Guru - Mengajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di salah satu SMA Katolik

GURU

Selanjutnya

Tutup

Politik

Suara Hati Tumpul Dalam Politik Indonesia

25 Januari 2016   13:25 Diperbarui: 8 Februari 2016   10:00 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Moralitas politik dan realitas politik merupakan dua hal yang berbeda. Yang pertama menampakkan situasi yang di kehendaki bersama (das soleh) dan yang kedua memperlihatkan situasi sesungguhnya (das sein). Karena itu antara moralitas dan realitas politik selalu berdiri berhadap-hadapan dan kerap saling membelakangi. Keduanya adalah dua sudut pandang yang berbeda yang kerap digunakan secara berbeda pula. 

Dalam panggung politik kita sering melihat dengan jelas dua situasi yang sangat kontras berbeda. Yang satu diharapkan oleh masyarakat namun tidak terealisasi, yang berikutnya dikutuk oleh masyarakat namun terjadi berulang-ulang. Seorang koruptor misalnya bisa bebas berkeliaran di negeri ini karena mereka paham betul bahwa antara moralitas politik dan realitas politik tampaknya tidak hubungan apa-apa. Apa akibatnya jika moralitas politik tidak menghiasi realitas politik?  Atau apa akibatnya jika moralitas politik dibelokkan ke arah kewibawaan nilai-nilai kemanusiaan oleh realitas politik? Politik yang tidak bermoral. Morallitas politik yang dituntut oleh sangat sederhana, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei),  maka dengarkanlah dan jangan memanipulasinya.

Kalkulasi Moral

Sungguh ironis ketika sudut pandang realitas politik saja yang selalu di kedepankan oleh para politisi kita. Nilai kemanusiaan kita tampaknya tidak mampu menundukkan realitas politik ini. Maka demi realitas politik anggota partai yang korup dipertahankan, kasus hukum yang melibatkan elit politik dibuat mengambang. Dalam hal ini politik selalu dikedepankan daripada moralitas politik, dan sering di jelaskan bahwa keduanya tidak memiliki hubungan yang serius. 

Moralitas tidak pernah menjadikan ukuran dalam pengambilan keputusan. Kecenderungannya segala keputusan harus mengikuti kalkulasi politik, bukan kedalaman nilai moralitas. Maka dalam kalkulasi politik yang menjadi ukuran bukan lagi moralitas melainkan prinsip-prinsip egoisme; apakah menguntungkan saya? Seberapa besar keuntungan yang saya dapatkan? Intinya, jangan pernah dirugikan dalam bermain politik apalagi suatu kerugian diterima lantaran karena tegas membela idealisme atau membela rakyat. 

Sebuah kalkulasi, bagaimana pun juga tidak melihat persoalan berdasarkan norma keadilan, kejujuran, kebijakan, kabar ikan dan kemanusiaan. Alasannya jelas sebab parameter yang digunakan adalah kekuasaan. Parameter kekuasaan ditandai oleh serangkaian manipulasi dan dan proses pembalikan berbagai logika kemanusiaan. Jadinya yang korup tetap dipertahankan, yang melanggar hukum tetap diberikan jabatan.

Inilah contoh degradasi moral bangsa di mana realitas politik menjadi satu-satunya hal yang harus dikedepankan dan akibatnya kekuasaan menjadi satu-satunya objek yang harus dikejar, dipertahankan, dan dicapai dengan segala cara. 

Tanda-tanda matinya moralitas politik ini ketika prinsip-prinsip ketatanegaraan yang sudah menjadi kesepakatan bersama tidak lagi dijadikan pijakan oleh pemegang kekuasaan. Moralitas tidak lagi menjadi keutamaan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun