Mohon tunggu...
Stella Julia Cuanda
Stella Julia Cuanda Mohon Tunggu... -

Mungkin sudah karunia dan kewajiban saya menggunakan talenta saya dalam menulis, yang meskipun belum ada apa-apanya dibanding penulis lain, untuk menginspirasi orang yang membaca tulisan saya. Saya adalah Mahasiswa Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV) jurusan Digital Cinematography di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), yang memang masih satu keluarga dengan Kompas-Gramedia group. Jadi, saya pikir tidak ada salahnya mengirimkan tulisan saya kemari, hitung-hitung belajar dan tambah pengalaman. Siapa tahu kritik atau komentar pembaca ada yang dapat membangun saya nantinya. Salam :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Elders (Yang Lebih Tua)

28 Juli 2010   08:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Alsa Rays, 17 tahun, pekerjaan pelajar, termasuk cewek paling populer di sekolah karena sangat cantik, pintar, berbakat dan super kaya raya. Di luar semua itu, ada satu hal yang membuatnya benar-benar populer: sebagai bahan gosip cewek-cewek SMA Newtons. Hari ini pun begitu, gosip mengenai Alsa Rays seolah sudah menjadi agenda rapat harian, sehingga dengan ringannya dibicarakan saat sedang berganti pakaian setelah olahraga.

“Kau sudah dengar gosip terbaru mengenai Alsa?”

“Yeah. Kudengar dia punya cowok anak kuliahan kali ini. Berapa umurnya? Dua puluh tujuh?”

“Wah, itu sih belum seberapa. Kudengar dia pernah pacaran dengan cowok yang umurnya tiga puluh lima tahun.”

“Ah, yang benar?”

“Tentu saja. Dia bahkan pernah pacaran dengan guru bahasa Prancis kita, kan? Kau tahu, umurnya sudah tiga puluh lebih.”

“Oh, kurasa dia memang suka dengan bapak-bapak dan semacamnya.”

“Yeah, kemana sih, otaknya? Masih banyak kan cowok-cowok oke yang lebih muda di sekolah kita?”

“Atau dia cuma suka dengan uang mereka?”

“Kau bercanda, dia kan sangat kaya.”

CUKUP SUDAH. Alsa membanting pintu locker di hadapannya sekencang mungkin sehingga membuat cewek-cewek itu terlonjak. Ketika dia lewat di depan mereka, wajah semua cewek itu langsung bertampang bersalah, mereka jelas tidak tahu kalau dia sudah mendengarkan sejak tadi.

“Ups. Kurasa kita sudah keterlaluan. Dia pasti sakit hati sekali.”

“Siapa peduli? Memangnya kita rugi kalau dia sakit hati?”

“Tapi dia kan bukan tipe cewek menyebalkan yang pantas dibeginikan.”

“Ah, sudahlah. Ayo, setelah ini aku masih ada kelas.”

Alsa berlari ke lantai tujuh dan menyendiri disana, di sebuah balkon sempit di sudut sekolah, tempat dia biasa menenangkan diri semenjak bersekolah di Newtons. Untung saja ini bukan kali pertama dia mendengar sendiri gosip tentang dirinya. Pertama kalinya dia mendengarnya secara langsung, dia nyaris saja melompat dari balkon itu dan bersumpah akan menghantui cewek-cewek jahat itu selamanya.

Dia tahu seharusnya dia tidak boleh menangis, semua yang mereka bilang itu kenyataan, kecuali bagian tentang ‘hanya ingin uang mereka’ itu, tentu saja. Tetap saja, air matanya mengalir turun menetes ke jas kelabunya, membuat jas itu berbercak-bercak tekena air mata. Tahu bahwa dirinya tidak akan sanggup mengikuti kelas apa pun sekarang ini, dia memutuskan untuk bolos kelas Biologi hari itu, dan kelas selanjutnya, yaitu kelas Matematika, sebab di kedua kelas itu dia akan bertemu dengan cewek-cewek tanpa otak yang membicarakannya tadi. Dia perlu waktu lebih dari sekedar beberapa jam untuk membuat hatinya datar kembali.

Dia benci pada cewek-cewek yang terlalu mau tahu urusan orang. Memang apa salahnya kalau dia pacaran dengan orang yang lebih tua, bahkan lebih dari sekedar lebih tua? Semua orang berhak menentukan siapa yang akan menjadi pacar mereka dan siapa yang tidak akan menjadi pacar mereka, dan ini seharusnya normal-normal saja. Tapi tampaknya hal ini tidak berlaku untuk cewek-cewek Newtons.

Pernah suatu hari Bu Jean memanggilnya ke ruang konseling untuk membahas masalah ini. Wanita berumur tiga puluhan itu mengatakan bahwa ini mungkin ada hubungannya dengan kematian ayahnya sepuluh tahun silam. Alsa terlalu merindukan sosok pelindung disisinya, yaitu sosok laki-laki yang jauh lebih tua dan dewasa. Tempat dia bisa bermanja-manja namun tetap merasa aman. Tapi menurut Alsa, itu semua omong kosong, bukan itu alasannya.

Dia baru saja menyeka air matanya ketika tiba-tiba saja pintu dibelakangnya menjeblak terbuka dan seorang cowok anak kelas sepuluh masuk dengan terburu-buru sehingga menabrak tubuhnya dengan cukup keras.

“Hey!”

“Ah, maaf, maaf. Aku sedang diburu oleh gerombolan Hars. Tolong sembunyikan aku, ya. Sebentar saja.” Cowok berambut cokelat tua dan bermata hijau itu kemudian menyelipkan badannya di antara tiang penyangga dan dinding sekolah sambil menyatukan kedua tangannya di depan kepala untuk memohon diselamatkan.

Semua orang yang pernah bersekolah di Newtons pasti kenal dengan gerombolan Hars. Mereka itu brengsek, sampah masyarakat, dan sudah menetap di Newtons selama tiga tahun di kelas sepuluh. Satu-satunya alasan mereka tidak dikeluarkan adalah karena ketua geng mereka adalah anak donatur terbesar sekolah, yang sepertinya sama sekali tidak peduli dengan perkembangan akademis maupun mental anaknya. Lagipula, sepertinya anaknya itu dan kawan-kawannya lebih cocok masuk SLB (Sekolah Luar Biasa) karena terlalu idiot.

Pintu balkon sekali lagi terbuka dan Gerry, si ketua geng yang bertubuh besar tapi luar biasa idiot melongok ke dalam. Semua orang di sekolah begitu menyegani Alsa karena reputasi ibunya yang pemilik sebuah stasiun televisi nasional, sehingga Gerry hanya bisa memandanginya selama beberapa saat.

“Ada yang bisa kubantu, Mr Hars?” tanya Alsa.

“Er, ya. Kau melihat anak cowok ceking yang rambutnya cokelat lewat sini?”

“Apakah tempat ini terlihat seperti koridor yang tembus ke suatu tempat?” Alsa memberikan jeda sebelum melanjutkan, hanya untuk menerima tatapan idiot lainnya dari Gerry. “Tidak, kan? Kecuali kalau kau mengira si anak cowok ceking yang rambutnya cokelat itu loncat dari balkon ini langsung ke bawah sana.”

“Tentu saja tidak, Alsa, Miss. Aku akan mencari di tempat lain.” Kata Gerry, jelas tidak ingin dianggap idiot oleh Alsa. Wajahnya merona saat dia mengucapkan terimakasih dan menutup pintunya pelan-pelan. Alsa memastikan keadaan sudah aman sebelum memanggil si cowok ceking berambut cokelat itu, yang sebenarnya sama sekali tidak ceking, malahan tubuhnya atletis sekali. Dia ceking, kalau dibandingkan dengan si Hars yang bobotnya setara dengan anak gajah.

“Terimakasih, Alsa, Miss.” Kemudian dia tertawa sendiri. “Namaku Ronny Hudson, tapi orang-orang memanggilku Ron.”

Alsa memandanginya dengan tatapan mencela. “Oke Ron Hudson, jadi kenapa kau tertawa sendiri?”

“Habis aku tidak menyangka kalau aku akan mendapat kehormatan bicara langsung dengan Anda, Miss. Anda kan populer sekali!” Kemudian Ron tertawa lagi.

“Kau ini senang sekali tertawa, ya? Memangnya kenapa kalau aku populer? Berarti kau ini sama saja dengan semua orang itu. Hanya karena aku populer. Hah!” Alsa memutar bola matanya, “kalau kau tidak keberatan, Hudson, aku masih banyak urusan. Dan jangan berani-berani cerita soal ini pada siapa pun!”

Alsa menarik pintu balkon hingga terbuka dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Tapi dia sempat mendengar Ron berseru, “pasti, Miss. Tidak akan ada yang tahu. Janji! Dan panggil aku Ron saja.”

Alsa memutuskan untuk izin pulang saja siang itu, lagipula dia memang merasa tubuhnya demam. Dan satu hal yang paling penting: dia harus bicara dengan Lyle.

Lyle adalah laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun yang dulunya adalah guru pianonya. Laki-laki itu berambut pirang halus dan bermata biru laut, tipe laki-laki lemah lembut dan penuh perhatian. Dan Alsa yakin, dia berbeda dari cowok-cowoknya sebelum ini, yang secara pasti hanya mempermainkannya seperti boneka. Dia kangen sekali pada cowoknya itu, sudah seminggu ini mereka tidak pernah bertemu karena kesibukan Lyle menyusun skripsi (sebenarnya dia sudah lulus S1 musik—tahu kan, belajar piano—tapi kemudian melanjutkan S2 Business Entertainment).

Maka setelah semua izin selesai diurus, dia langsung pulang naik mobil Koenigsegg-CCR warna kuning pisang kesayangannya, dan sesampainya di kamarnya yang luas, dia langsung menekan nomor Lyle.

Hallo, sweety.” Terdengar suara Lyle di ujung sana.

Alsa menghela napas lega. Mendengar suara Lyle membuatnya sedikit lebih tenang. “Hai. Bisa ke tempatku sekarang? Aku sedang tidak enak badan, dan kita perlu bicara.”

Lyle sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “mm... sebenarnya, aku masih ada wawancara dengan beberapa sukarelawan setelah ini... jadi...”

Mata Alsa rasanya panas, “ya, aku tahu. Tidak, apa-apa, Lyle.”

“Baiklah, kalau begitu. Trims, honey. Love you.”

Love you too.” Kata Alsa hampa, sebab sambungan sudah keburu terputus. Bantal berbentuk hati di sudut tempat tidurnya jadi sasaran amarahnya. Bantal malang itu dia tinju sampai benar-benar melesak ke dalam dan sepertinya tidak akan pernah kembali ke bentuk semula kalau tidak ditepuk-tepuk dahulu.

Tiba-tiba saja Alsa membuka matanya dan menyadari kalau dia baru saja tertidur. Kamarnya gelap karena tidak ada lampu yang dinyalakan, dan tirai kamarnya masih terbuka. Dia bangun dengan malas untuk menutup tirai kamarnya, tapi sebuah pemandangan mencengangkan di halaman belakang tepat di bawah membuat tangannya terhenti di udara.

“Ini hanya mimpi, atau aku sudah gila?” gumam Alsa pada dirinya sendiri. Dia memutuskan kalau ini tidak mungkin mimpi, ini terlalu hidup untuk menjadi mimpi.

“Nona Alsa!” pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka membuat tubuhnya melonjak di tempat. “Nona, Anda harus segera turun ke bawah. Oh, Anda tidak akan percaya ini. Anda dikirimi kuda putih! Benar-benar kuda hidup!”

Jadi, ini memang bukan mimpi. Alsa hanya memandangi pelayan mudanya itu dengan wajah tanpa ekspresi. Sebab, kalau ini bukan mimpi, berarti dia sudah gila, dan begitu juga pelayannya.

“Nona! Ayo!” tanpa peringatan, Alsa merasa tangannya ditarik begitu saja. Mungkin ini pengaruh keadaan baru bangun tidur, sebab dia merasa otaknya tidak bisa digunakan untuk mencerna segala sesuatu yang sedang terjadi.

Angin dingin yang menerpa wajahnya agaknya membuat seluruh indranya sedikit lebih tajam. Dia mendengar suara ringkikan pelan kuda dan setelah melewati sebuah pohon pinus tua, dia melihat kuda putih itu. Mengais-ngais tanah dengan telapak kudanya yang ramping dan anggun, surai keperakan kuda itu bergoyang-goyang saat kuda itu mengentak-entakkan kepalanya. Seketika itu juga, Alsa tahu bahwa dia baru saja jatuh cinta.

“Selamat malam, Alsa, Miss.”

Seolah menemukan seekor kuda putih di halaman belakang belum cukup membuat seseorang merasa tidak waras, seorang pemuda jangkung berambut cokelat dan bermata hijau muncul dari balik pohon yang lain dengan mengenakan setelan jas putih dan dasi keperakan yang memukau, dia mengelus surai kuda putih itu.

“Kau!”

“Ya, aku.”

“Sedang apa kau?” tanya Alsa menahan amarah.

“Berdiri, tentu saja. Ada yang aneh?” tanya Ron Hudson dengan tatapan aneh.

“ADA YANG ANEH, KATAMU? SEDANG APA KAU DI HALAMAN BELAKANGKU? MENGENAKAN TUXEDO DAN MEMBAWA KUDA?!!”

“ALSA!” seru seseorang yang suaranya sangat Alsa kenal: Mrs Rays, ibunya sendiri. Wanita tua yang mengenakan blazer merah muda itu berlari-lari secepat sepatu tumit-tingginya bisa membawanya.

“Selamat malam, Mrs Rays.” Sapa Ron ramah.

Wanita berumur empat puluhan itu tersenyum ramah pada Ron dan langsung melotot begitu pandangannya beralih pada Alsa.

“Kau! Masih mengenakan seragam pada pukul enam sore, apa yang kau lakukan seharian, Alsa Rays?!” bentak Mrs Rays sambil bertolak pinggang.

“Ap-apa?” Ini jelas-jelas tidak adil. Apa yang sudah dilakukannya, yang lebih buruk daripada Si Asing Ron di rumahnya sendiri?

“Kau baru saja memaki Mr Hudson yang terhormat, Alsa Rays! Dan kau seharusnya sudah siap untuk acara malam ini, mengapa kau masih mengenakan seragammu?” Mrs Rays menunggu, tapi Alsa yang kebingungan sendiri tidak bisa menjawab apa-apa.

“Maaf, Mrs Rays, bukan maksudku menyela. Tapi menurutku ini bukan sepenuhnya salahnya,” Ron menunjuk Alsa, yang melotot padanya, tapi diabaikannya, kemudian melanjutkan, “mungkin dia hanya kaget melihat ada kuda cantik ini di halaman belakang rumahnya, dan kehadiran orang asing bertampang aneh ini mungkin membuatnya sedikit tidak nyaman.”

Mrs Rays tertawa kecil, dan sekarang Alsa benar-benar yakin ada suatu pengertian yang hilang dalam dialog mereka ini. Bagaimana mungkin seorang murid yang baru duduk di kelas sepuluh selama sebulan ini, mengenal ibunya dan disapa hangat dengan panggilan Mr Hudson yang terhormat!

“Baiklah, kalau begitu. Lola, pastikan putriku yang manis ini kembali ke kamarnya dan bersiap-siap untuk acara kita malam ini.”

“Segera, Madame.” Pelayan muda yang tadi menarik Alsa turun, kemudian menariknya lagi ke dalam rumah.

Segera setelah Alsa merasa bahwa ibunya tidak bisa mendengar dia lagi, dia menarik Lola supaya perempuan muda itu menghentikan langkahnya sebelum mereka sempat mandaki anak tangga pertama.

“Jadi, apakah kau bersedia menceritakan padaku, apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini, Lola tersayang?” tanya Alsa dengan wajah dimanis-maniskan.

“Tentu saja, Miss. Anda akan dijodohkan!” kata Lola dengan riang, sementara Alsa merasa tubuhnya tiba-tiba saja meriang. Selama beberapa detik dia hanya memandang Lola dengan mata mengerjap kebingungan. Dia pasti baru saja salah mendengar perkataan Lola.

“Maaf, aku mungkin salah dengar. Bisa kau ulangi sekali lagi?”

“Ya, Miss, dengan senang hati: Anda akan segera dijodohkan dengan Mr Hudson!” Lola kembali bersikap riang dengan bodohnya, sampai melonjak-lonjak kecil di tempat segala.

Sementara Alsa merasa kakinya lemas, dia tertuduk dengan shock di anak tangga rumahnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap pengumuman paling aneh yang baru saja dia dengar sepanjang hidupnya.

Miss, Anda harus segera mandi dan mengenakan gaun yang sudah saya siapkan di atas.” Lola menarik tangannya lagi, tapi Alsa menariknya kembali dengan hampa.

“Aku tidak ingat ada yang pernah memberitahuku sebelum ini?”

“Tidak, Miss. Madame memang sengaja tidak mau memberitahu Anda dulu sebelum Anda berkenalan secara resmi dengan keluarga Hudson. Tapi saya sempat mencuri dengar pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu, Miss.” Jawab Lola dengan sedikit nada bangga dalam suaranya.

“Tapi, aku tidak ingat pernah diberitahu kalau malam ini aku harus makan malam dengan mereka!”

Lola terlihat bingung, “tapi, bukankah saya sudah menempelkannya di papan jadwal di kamar Nona? Kemarin malam Nona sudah tidur, jadi saya pikir...”

Alsa mengangkat sebelah tangannya untuk menyuruh Lola berhenti bicara, kemudian menghela napas panjang dan berdiri dengan putus asa. Ini semua tidak mungkin terjadi di dalam kehidupan nyata. Tadi siang dia baru saja mengenal seorang pemuda bernama Ronny Hudson dan menyelamatkannya dari risiko patah hidung atau gegar otak ringan. Malam ini, dia baru saja mengetahui bahwa pemuda ini akan dijodohkan dengannya. DIJODOHKAN!

Dengan langkah terseret-seret, Alsa mendaki anak tangga satu-persatu, merasa luar biasa putus asa, sementara Lola mengikuti dengan penuh rasa bersalah. Tiba-tiba saja, ketika dia ingat bahwa ada satu orang yang bisa menolongnya, dia langsung menaiki tangga itu dengan terburu-buru, membuat Lola kaget dan nyaris terjungkal ke belakang.

“Siapkan gaun dan make-up-ku, Lola! Aku akan segera mandi!”

“Baik, Miss!” kata Lola riang lagi.

Alsa menyambar ponselnya dan masuk ke kamar mandi sebelum Lola sampai di kamar. Dan bukannya langsung mandi, dia malah menekan nomor Lyle. Setelah beberapa nada sambung, terdengar suara Lyle di ujung sana.

“Lyle...”

Maaf, saat ini saya sedang tidak bisa dihubungi. Harap meninggalkan pesan setelah nada berikut...”

Dicobanya sekali lagi dan sekali lagi, tapi jawabannya selalu sama.

“Sial!” maki Alsa. Dia melempar ponselnya begitu saja ke samping wastafel dan terduduk di atas kloset, air matanya sudah keluar lagi.

“Nona, Alsa?” panggil Lola sambil mengetuk pintu kamar mandi.

“Ya, aku sedang menggosok punggungku.”

“Anda perlu bantuan, Nona?”

“Tidak, sepuluh menit lagi aku selesai.”

Jadi, dia harus melewati ini sendirian. Lyle jelas-jelas tidak mungkin muncul disini sekarang juga. Kemungkinan untuk kabur adalah kurang dari lima persen, mengingat kamar mandi ini tidak memiliki jendela yang langsung mengarah ke luar. Dan kemungkinan untuk pura-pura sakit adalah kurang dari nol persen. Ibunya itu terlalu mengenal dirinya, sehingga akan langsung tahu segala jenis kebohongan yang dilakukannya, lagipula dia sama sekali tidak bisa berakting. Terpaksa, dia akan menolak pertunangan ini secara halus dan menceritakan yang sejujurnya pada ibunya. Paling-paling dia akan dikunci di kamar setelah pulang sekolah selama sebulan. Yah, itu memang pantas diterimanya, pacaran dengan guru pianonya sendiri di depan hidung ibunya, dan bahkan wanita itu sama sekali tidak mengetahuinya atau bahkan mencurigainya. Oh, semoga saja orang-orang terhormat itu bisa menerima semuanya.

Alsa mandi sebersih dan secepat yang dia bisa, kemudian cepat-cepat mengenakan handuk dan keluar dari kamar mandi. Di dekat meja rias, Lola sudah siap dengan segala perlengkapan make-up. Mungkin dia memang agak bodoh dalam beberapa hal, tapi untuk masalah rias-merias, Lola setara dengan profesional.

Lola membantu Alsa mengenakan pakaiannya—gaun putih dengan rok balon selutut, dikombinasikan dengan high-heels-nya yang keperakan—kemudian mulai merias wajahnya dan rambutnya. Setengah jam kemudian, Alsa sudah siap. Oke, ini bagus sekali, sekarang dia tidak bisa menunda malapetaka itu lagi. Dia turun ke bawah dengan gugup. Saat mencapai ruang makan, dia melihat Ron dan kedua orang tuanya sudah duduk di meja makan dengan ibunya.

“Ah, itu dia putriku, Mr dan Mrs Hudson.” Kata-kata Mrs Rays itu diikuti tolehan kepala ketiga Hudson dan pandangan takjub ketiganya.

“Wah, benar apa yang dikatakan Ron, anakku, kau memang cantik sekali, Miss Rays.” Kata Mr Hudson. Laki-laki tua itu sudah botak dan perutnya buncit, tapi jelas sekali dia orang yang sangat menyenangkan, mengingatkan Alsa pada Sinterklas yang baik hati. Sementara Mrs Hudson adalah wanita ramah dengan tubuh agak tambun dan rambut-rambut yang sudah memutih di sela-sela sanggulnya yang tinggi.

“Te-terimakasih.” Kata Alsa lemah, sambil duduk di kursinya sendiri.

“Baiklah, karena semuanya sudah lengkap, mari kita mulai saja makan malam ini.”

Hidangan pembukanya sangat lezat, cream soup asparagus dengan jagung, tapi Alsa menelannya seolah-olah dia menelan lumpur. Hidangan utama berupa sirloin steak dan kentang panggangnya juga lezat, tapi Alsa merasa menelan karet ke dalam tenggorokannya. Hidangan penutup, es krim stroberi kesukaannya dengan cacahan almond dan kismis, tapi bagi Alsa rasanya seperti menjilati es batu, dingin dan hambar.

Dan akhirnya, ketika acara makan malam yang menyenangkan itu selesai, mereka semua berpindah ke ruang duduk sementara para pelayan merapikan meja makan dan menyiapkan buah-buahan kering sebagai camilan. Bukan berarti Alsa adalah tipe gadis yang banyak bicara dan senang bergaul dengan orang-orang yang baru dikenalnya, tapi Alsa terlalu diam malam ini, sehingga Mrs Rays merasa ada yang tidak beres dengan keadaan ini.

“Alsa sayang, kau terlihat pucat, apakah kau merasa kurang sehat?”

Alsa sedang termenung sampai harus disenggol dulu oleh Ron untuk menyadari bahwa dia sedang diajak bicara.

“Ah, aku baik-baik saja, Mom.” Alsa mengusap keringat dingin yang mengucur di dahinya dengan diam-diam.

Mrs Rays tersenyum, “kalau begitu, mungkin kau bisa mengajak Ron untuk berjalan-jalan di taman dan menunjukkan kolam air mancur kita?”

Oh, tidak. Mereka akan membicarakan tentang masalah pertunangan itu. Habislah sudah.

“Eh, tapi...” Alsa berusaha mencari alasan, tapi tidak ada yang bisa dikatakannya, sementara Mrs Rays memberikan tatapan mengancam dari balik cangkir tehnya. Terpaksa, dia berdiri dengan enggan dari sofa antik di ruang duduk itu dan berjalan kaku ke arah taman, sementara Ron mengekor.

Mereka berdua duduk di sebuah kursi taman yang dingin, dan Alsa hanya diam saja sampai Ron terpaksa harus bicara.

“Jadi, kenapa kau lebih berniat untuk diam saja malam ini?”

“Apanya?” Alsa malah bertanya balik, berusaha pura-pura tidak tahu.

Ron diam-diam menggaruk kepalanya, “yeah, kau kelihatannya agak...”

“Capek,” potong Alsa tajam. “Ya, aku agak capek hari ini. Kau tahu, aku tadi izin pulang karena sakit.”

“O, Oh ya. Aku tadi melihatmu pulang... dan... yah...,” rupanya Ron agak kaget karena dijawab sedemikian tajamnya oleh Alsa. Selama ini dia memang selalu memperhatikan Alsa di sekolah, dan dia belum pernah melihat Alsa “sekelam” ini, jadi dia tidak tahu bagaimana harus bersikap.

“Apa ada yang bisa...?”

“Tidak, terimakasih.” Alsa berdiri dan berjalan menuju kolam air mancur dan duduk di tepinya sambil mencelupkan tangan ke dalam air. Lampu-lampu air mancur yang kekuningan itu pasti akan terlihat sangat indah, kalau saja suasananya tepat.

Ron jelas-jelas mati kutu. Dia benar-benar tidak tahu selanjutnya harus apa. Akhirnya, dia memutuskan untuk menyusul Alsa saja. Tapi, betapa kagetnya dia ketika dilihatnya wajah gadis itu penuh air mata.

“Alsa...” Ron memanggilnya dan duduk perlahan-lahan di depannya. “Kau sedang ada masalah, ya?”

“Ya, satu-satunya masalahku sekarang adalah kau, KAU RON HUDSON!” maki Alsa dalam hati.

Dia benci kelihatan cengeng di depan orang lain—walaupun dia memang sangat cengeng—tapi ini sudah benar-benar keterlaluan utnuk bisa ditahan-tahan. Ini sudah jauh sekali lebih parah dari gosip atau omongan miring jenis apa pun yang bisa dikatakan orang tentangnya. Ini mengenai masa depannya. Dan bagaimana bisa Lyle seperti menghindar begitu saja darinya?

“Oke, jadi kau tetap tidak mau cerita? Baik, aku akan disini saja dan menemanimu sampai kau puas menangis.” Kata Ron tenang, “Atau, kau mau aku pulang sekarang?”

Ron sudah berdiri, ketika tiba-tiba saja, diluar keinginannya sendiri Alsa menahan tangan Ron. Dia tidak ingin sendirian di saat seperti ini, dia butuh seseorang supaya dia tidak menjadi gila, siapa pun—walaupun seseorang itu ternyata baru dikenalnya beberapa jam yang lalu dan akan segera dijodohkan dengannya cepat atau lambat.

“Ron... maaf, aku pasti kasar sekali padamu. Tapi aku benar-benar bingung hari ini. Ini semua diluar kemampuanku.”

“Ceritakan saja, kalau kau mau,” kata Ron sambil duduk kembali.

Alsa mengusap air matanya dan memperbaiki posisi duduknya. “Pertama-tama, aku ingin bertanya kalau kau tahu mengenai rencana orang tua kita?”

Ron tiba-tiba terdiam. Bibirnya terkatup rapat dan gerakannya menjadi gelisah. “M-maksudmu, mengenai p-pertunangan itu?”

“Jadi kau sudah tahu sebelumnya?” tanya Alsa tak percaya, “Jadi tadi siang, waktu kita bertemu di balkon, kau sudah tahu semuanya?”

Untuk menjawab pertanyaan Alsa, Ron hanya mengangguk, wajahnya memerah dalam cahaya kekuningan yang berasal dari kolam. Entah mengapa Alsa tiba-tiba ingin tersenyum, tapi dia menahannya.

“Oke,” Alsa berkata hati-hati, “jadi, kalau aku bilang aku sudah punya cowok dan aku tidak mau menerima pertunangan ini, apa reaksimu?”

Awalnya Alsa kira Ron akan akan menangis atau apa, sebab tiba-tiba saja mata cowok itu terlihat agak terluka. Tapi Alsa pikir itu hanya halusinasinya saja, sekejap mata kemudian, Ron malah tersenyum menenangkan.

Well, aku rasa aku tidak berhak melarangmu menolak pertunangan itu,” kata Ron, kemudian dengan sedikit malu-malu dia melanjutkan, “tapi, kalau kita tidak jadi bertunangan sekali pun, kita tetap berteman, kan?”

“Tentu,” Alsa mengulurkan kepalan tangannya, dan Ron menghantamnya dengan kepalan tangannya sendiri, kemudian mereka tertawa bersama-sama.

Ringkikan kuda membuat mereka menoleh, rupanya si kuda putih diikat pada sebuah pohon tidak jauh dari sana.

“Hey, bagaimana kalau aku memperkenalkanmu pada Engelon?” tanya Ron sambil nyengir.

Alsa terlihat agak ngeri, “tapi aku belum pernah menyentuh kuda sebelumnya.”

“Ayolah, tidak apa-apa. Dia sudah sangat dekat denganku. Lagipula aku memang khusus membawanya kesini hari ini untuk menghiburmu.”

“Menghiburku?” tanya Alsa bingung.

“Yeah. Kau pikir aku tidak tahu, tadi siang waktu aku menabrakmu di balkon, kau habis menangis, ya kan? Pasti cewek-cewek itu jahat sekali padamu.”

Alsa mengerjapkan matanya, merasa terharu Ron sengaja membawa kuda putih ini untuk menghiburnya. Sepanjang sisa malam itu mereka habiskan dengan mengobrol dan bermain dengan si kuda, Engelon.

“Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kau membawanya kemari?” tanya Alsa tiba-tiba.

“Menungganginya.” Jawab Ron polos.

“Kau pasti bercanda, kan?”

“Tidak,” Ron terlihat agak jengkel saat menjawab, “memangnya kau pikir aku tinggal dimana? Hanya perlu lima menit jalan kaki dari rumahku kesini. Apalagi naik kuda.”

“????!!”

Malam itu, Alsa setidaknya bisa tidur, walaupun tidak tenang. Karena setidaknya, Ron sudah berjanji tidak akan apa-apa kalau dia menolak pertunangan itu secara terang-terangan. Masalah Lyle, dia harus memikirkannya dengan lebih tenang. Lyle tidak tahu-menahu soal semua ini, jadi dia tidak sepenuhnya bersalah, namun jelas, dia tetap harus bicara dengan Lyle.

~~~

Klub Salsa akan dimulai hari ini—akhirnya—setelah vakum selama sebulan karena instrukturnya, Ms Juana, berlibur ke Honolulu. Walaupun Alsa belum berhasil menghubungi Lyle, tapi dimulainya Klub Salsa ini sedikitnya membuat dia lumayan terhibur. Ms Juana adalah satu-satunya cewek di SMA Newtons yang tidak pernah membicarakannya, dia tahu itu sebab mereka sangat dekat, bahkan Alsa sudah menganggapnya sebagai kakak perempuannya. Karenanya, waktu mereka bertemu, mereka langsung saling menyapa dengan agak histeris.

“Alsa!”

“Juana! Ups, Miss Juana, kurasa.”

Juana adalah cewek berumur dua puluh dua tahun yang berdarah Asia dan berambut hitam lurus panjang. Tubuhnya sangat memukau akibat latihan keras Salsa selama bertahun-tahun. Dia sangat cantik, dan sampai saat ini belum ada cowok yang bisa menaklukkan hatinya. Dia sibuk membagikan oleh-oleh pada semua orang hari ini, dan untuk Alsa, Juana spesial membawakan bra khas perempuan Honolulu yang biasa mereka pakai untuk menari hula-hula. Haha!

Mereka berdua berpelukan dan tertawa-tawa selama beberapa saat, sampai tawa Alsa terhenti ketika dia melihat sesosok cowok yang dikenalnya. Mengenakan celana training dan kaus, rambutnya kecokelatan dan posturnya tegap, memasuki ruangan dan tersenyum padanya.

“Tidak mungkin.”

“Apanya?” tanya Juana bingung, mengikuti arah pandangan Alsa.

“Hai, Alsa.” Sapa Ron. Alsa sampai ternganga. Hari ini Ron sengaja menarik ke belakang rambutnya yang biasanya berantakan, sehingga dia terlihat agak—tampan.

“Jadi, kau sudah kembali ke jalan yang benar. Haleluya!” seru Juana tiba-tiba, karena secara tidak sadar, tidak satupun baik Alsa maupun Ron yang bersedia melepas pandangan dari satu sama lain.

“Apa maksudmu?” tanya Alsa tajam.

“Yeah, kau sekarang pacaran dengan anak kelas sepuluh. Itu sebuah prestasi, kau tahu.” Kata Juana sambil lalu, kemudian dia maju ke tengah ballroom itu dan menyuruh semuanya berkumpul, meninggalkan Alsa dan Ron yang salah tingkah.

Secara keseluruhan, latihan hari itu bisa dibilang sangat menyenangkan. Alsa berpasangan dengan Ron hari ini, membuat puluhan cowok—yang sebenarnya mengikuti klub ini untuk mendekati Alsa—tiba-tiba saja jadi tidak bersahabat terhadap Ron.

Selesai latihan, Ron sudah merencanakan sesuatu. Dia mengajak Alsa jalan-jalan ke Mall untuk melihat-lihat DVD. Ternyata, semakin banyak mengobrol mereka semakin tahu kalau mereka menyukai banyak hal yang sama. Termasuk menjadi fans berat Johnny Depp, Orlando Bloom dan Keira Knightley, tak terkecuali film mereka: Pirates of Caribean. Kesimpulannya, mereka lumayan cocok untuk berteman.

Walaupun Alsa bisa melupakan masalah Lyle—yang mengabaikan SMS dan teleponnya—untuk beberapa jam selama dia bersama Ron, tetap saja dia merasa khawatir tentang cowoknya itu. Sebab semuanya ini sangat aneh. Lyle belum pernah seaneh ini sebelumnya.

Kesempatan untuk menelepon Lyle kembali muncul ketika Ron membelikan es krim untuk mereka berdua. Tapi ternyata, sampai Ron kembali pun masih tidak ada hasil. Alsa menjilat es krim stroberinya dengan sedih, masih memandangi ponselnya.

“Jadi, kau masih belum bisa menghubungi si Lyle itu?” tanya Ron tiba-tiba.

“Yeah.”

Ron menjilat es krim pisangnya banyak-banyak sebelum bertanya lagi, “memangnya seperti apa sih, dia? Maksudku, sebegitu mempesonanyakah dia, sehingga Miss Rays yang terkenal angkuh rela menghabiskan waktu hanya untuk bicara dengannya di telepon?”

“Kurang lebih begitu.” Kata Alsa termenung, “dia... sangat tampan, dan sangat menakjubkan. Terutama kalau tangannya sudah menyentuh tuts-tuts piano.”

Ron tidak menanggapi. Selama sisa jalan-jalan mereka itu dia jadi lebih banyak termenung, seperti memikirkan sesuatu yang dalam. Sampai dia mengantar Alsa pulang dengan motornya pun, dia terlihat agak buru-buru ingin pulang. Alsa jadi curiga, kalau-kalau Ron merencanakan sesuatu, tapi dia tidak begitu memikirkannya. Fokusnya sekarang adalah menghubungi Lyle dan minta kejelasan.

Baterai ponselnya sampai benar-benar habis dalam beberapa jam hanya untuk mencoba menghubungi Lyle. Dia nyaris saja sampai pada kesimpulan bahwa Lyle sudah mencampakkannya, ketika dia menyentuh liontin berbentuk hati pemberian Lyle pada ulang tahunnya yang ketujuh belas, dan berubah pikiran. Lyle berbeda, dia yakin itu. Lyle hanya sedang sibuk dengan tugas akhirnya, itu saja. Setelah ini dia akan langsung menemui Alsa dan menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Semoga saja.

Sudah lima hari semenjak Ron makan malam di rumahnya waktu itu, dan tidak seperti biasanya, hari ini Ron menghilang seharian. Juana hanya datang setiap Senin dan Alsa kembali merasa kesepian.

Dia tidak menyangka, satu hari tanpa Ron berarti kembali ke masa lalunya yang menyebalkan. Tidak ada Ron yang bisa menjadi tamengnya supaya dia tidak perlu mendengarkan perkataan cewek-cewek menyebalkan itu. Dan, tidak ada Ron untuk membela kalau ada cowok menyebalkan yang berusaha menggodanya. Sialnya, kali ini cowok yang mendekatinya bukan cowok biasa.

“Hai, Alsa.” Sapa Gerry dengan agak kasar, saat Alsa melewati koridor lantai empat saat jam pulang sekolah untuk memeriksa sekali lagi bahwa Ron memang tidak ada di kelasnya. Alsa mengacuhkan saja cowok menyebalkan itu, dan tampaknya Gerry tidak senang.

“Hey, dia bicara padamu, tahu!” kata kroni gerombolan Hars nomor satu.

“Ya, dia bicara padamu, tahu!” kata kroni gerombolan Hars nomor dua.

“Peduli amat.” Gumam Alsa, kemudian dia berlalu dari sana.

Alsa tidak menyangka bahwa ban mobilnya tiba-tiba kempes, dan ponselnya tiba-tiba kehabisan baterai. Dia juga tidak menyangka bahwa geromboral Hars, ternyata mengikutinya saat dia memutuskan untuk berjalan kaki sambil mencari taxi. Mungkin ini hari sialnya, karena saat dia melewati jalan pintas untuk mencapai jalan raya dimana dia bisa menemukan taxi, gerombolan Hars tiba-tiba mencegat jalannya. Oh, bagus sekali.

“Apa yang kalian inginkan?” tanya Alsa tenang.

“Membalasmu, tentu saja.” Kata Gerry.

“Membalasku untuk apa tepatnya?”

Gerry agak kehilangan arah ketika ditanya sedemikian tajamnya oleh Alsa, tapi dia berhasil kembali ke tujuannya dengan dorongan kroni-kroninya yang berjumlah dua orang.

“K-Kau, terlalu cantik dan sombong, dan aku tidak suka itu.” Kata Gerry.

Alsa tahu, sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini Gerry menyimpan perasaan padanya, tapi memangnya siapa yang sudi menerima orang seperti dia?

“Tidak semua yang kau tidak suka harus membuat orang lain tidak suka, Mr Hars.” Kata Alsa super cepat, membuat Gerry mengeluarkan tampang idiotnya lagi.

“Tidak peduli. Aku melakukan apa yang kusuka! Kau...”

Gerry tidak pernah sempat menyelesaikan kata-katanya, sebab sebuah tendangan keras sudah mendarat di wajahnya, membuat dia terhuyung mundur dan jatuh berdebam di jalanan aspal. Kedua kroninya tampak ketakutan melihat bos mereka terkapar tak berdaya, dan memutuskan untuk menyeret Gerry ke mobilnya dan pergi dari sana.

“Duh, Ron! Kemana saja kau seharian ini?” tanya Alsa sambil menjedukkan kepalanya ke lengan Ron, dan menyadari kalau cowok itu tidak mengenakan seragam sekolah. “Kau tahu, sebenarnya kau tidak perlu sekeras itu padanya.”

“Biar cepat. Aku punya sesuatu yang harus kuceritakan padamu.” Tidak seperti biasanya, hari ini Ron kelihatan agak pucat dan terlalu serius.

“O-Oke.” Alsa mengikuti Ron ke mobilnya. Rupanya hari itu Ron tidak membawa motornya, melainkan mobil Jaguar merah darah yang sangat keren. Di dalam mobil, Ron langsung membuka topik.

“Kau sangat menyayangi cowokmu itu, si Lyle itu?” tanya Ron langsung to the point.

Alsa mengangkat sebelah alisnya, “memangnya kenapa?”

“Apa aku boleh memaksamu untuk melupakan saja dia?”

Apa-apaan ini, Ron tidak pernah seaneh ini semenjak Alsa mengenalnya. Walaupun baru mengenalnya beberapa hari yang lalu—dan sangat mungkin dia belum mengenal Ron sepenuhnya—dia cukup yakin Ron tidak mungkin sedang bercanda.

“Kau ini kenapa, sih?”

“Tolong jawab saja. Seandainya dia memang cowok brengsek, apakah kau bersedia melupakannya?”

“Apa maksudmu? Tolong jangan membuatku bingung. Aku tidak suka itu.” Kata Alsa dengan nada marah, nyaris berhasil menirukan Gerry dengan sempurna.

“Cowokmu itu, jalan dengan cewek lain di kampusnya, apa kau tahu itu?”

Alsa merasa seperti terkena sambaran petir. Mana mungkin Lyle melakukan hal sekejam itu? Ron pasti hanya mengada-ada. Dia tidak mau percaya, tapi matanya sudah terlanjur berkaca-kaca.

“Mana buktinya?” tanya Alsa sambil menyeka air mata yang nyaris menetes ke pipinya.

“Aku memata-matai dia selama seharian ini, dan aku yakin itu ceweknya. Mereka berciuman di mobilnya, kau tahu?”

“Apa?” Alsa merasa Ron sudah gila. Khusus membolos sekolah hanya untuk memata-matai orang yang sama sekali tidak dia kenal. “Bagaimana kau bahkan bisa tahu wajahnya? Aku belum pernah memperkenalkannya padamu!”

“Memangnya aku tidak cukup pintar untuk menyadari bahwa semua foto cowok di ponselmu itu adalah fotonya?!” nada Ron meninggi.

“Tapi... Aku tidak percaya! Lyle bukan orang seperti itu! Mung—mungkin kau salah orang, dia hanya mirip atau apa... mungkin...” Alsa tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, air matanya sudah membanjir di wajahnya.

“Baik, aku akan menunjukkannya padamu.” Ron menyalakan mesin mobilnya dan menancap gas. Mobil itu pun melaju menuju ke suatu tempat yang tidak Alsa ketahui.

Rupanya Ron menujukan mobilnya ke sebuah kafetaria di pinggir sebuah jalan raya yang cukup ramai, tapi dia memilih untuk memarkir mobil di seberangnya.

“Untuk apa kau membawaku kesini?” tanya Alsa ketika Ron menariknya turun dari mobil.

“Untuk membuktikan bahwa si Lyle itu memang pantas ditendang. Dengar ya, cowokmu itu sekarang sedang berada di dalam kafetaria itu bersama cewek barunya. Kalau kau tidak percaya, tunggu saja.” Ron kemudian duduk di atas kap mobilnya sambil melipat lengan di dada.

Alsa sudah mau menangis lagi, jadi dia memutuskan untuk diam saja sambil menunggu. Setelah menunggu setengah jam, hari mulai gelap dan Alsa agak kedinginan. Ron menawarkan jaketnya, tapi ditolak, namun Ron memaksa.

“Aku bilang aku tidak mau! Jangan sok peduli padaku, Ron Hudson! Kita baru kenal selama seminggu dan kau berlagak seperti sudah mengenalku selama bertahun-tahun!” bentak Alsa, membuat Ron terdiam dan kelihatan agak sakit hati.

“Kau harus percaya padaku, Alsa. Supaya kau tidak sakit hati lagi.” Kata Ron dengan lembut.

“Memangnya aku peduli! Aku mau pulang...”

“Jangan. Percayalah padaku.” Ron berkata dengan ekspresi memohon.

“Kenapa sih kau begitu ingin aku percaya padamu?”

“Karena...”

Alsa menunggu dengan sangat tidak sabar.

“Kurasa kau sudah tahu jauh sebelum ini.” Ron menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Kesabaran Alsa sudah habis, “Aku mau pulang.”

“Ssst... jangan dulu.” Ron membalikkan badan Alsa menuju kafetaria, dan Alsa melihatnya.

Lyle memang pacaran dengan cewek lain, Alsa melihat dia memeluk pinggang cewek itu saat melangkah keluar dari kafetaria. Cewek itu tinggi, langsing, pirang, sangat modis, dan yang paling penting: cewek itu terlihat sangat dewasa, sangat cocok bila disandingkan dengan Lyle. Alsa rasanya mau meledak. Dia tidak sanggup berlama-lama disini, rasanya ingin lari. Maka, tanpa pikir panjang, dia berlari menjauh dari tempat itu, tidak tentu mau kemana. Ron langsung mengejarnya, tentu saja.

Jadi, sekali lagi dia sudah ditipu oleh cowok brengsek yang sok dewasa, yang padahal adalah seorang pengecut dan suka mempermainkan perasaan cewek. Alsa berlari dan terus berlari tanpa menghiraukan Ron yang menyerukan namanya dari belakang. Dia ingin menghilang dari muka bumi ini. Setidak-berharga itukah dirinya? Tiga kali dicampakkan oleh laki-laki yang dianggapnya dewasa. Dia pikir lelaki dewasa adalah laki-laki yang bisa bertanggung jawab. Dia baru tahu kalau selama ini dia salah. Lelaki dewasa itu semuanya sama saja, mereka selalu mengkhianatimu, mereka meninggalkanmu, mereka selalu pergi disaat kau sangat membutuhkan mereka disisimu.

Alsa memejamkan matanya, dia sudah tidak peduli lagi dengan apa pun, dan dia terus berlari. Sampai seorang waiter berseragam putih-hitam lewat sambil membawa nampan berisi minuman, dan Alsa menabraknya tepat di tengah, sehingga orang itu dan nampannya terpelanting cukup keras, sementara Alsa terseret di jalanan yang kasar. Alsa mendengar Ron meneriakkan namanya dan tak lama kemudian dia merasa Ron mengguncangkan bahunya. Alsa tidak mau bangun, tidak mau.

Ron baru akan mau menggendongnya, saat Alsa menyadarinya, sehingga dia memaksa untuk bangun sendiri. Ketika Alsa membuka matanya, dia menyadari kalau mereka sedang berada di belakang sebuah kafetaria, dan si waiter tadi sedang berusaha bangun dengan hidung berdarah. Ron membantunya sambil meminta maaf dan memberikan sejumlah uang untuk ganti rugi, sementara Alsa sudah berjalan pergi tak tentu arah lagi dengan terpincang-pincang. Rupanya lutut dan sikunya lecet-lecet cukup parah. Yang di lutut malahan sampai meneteskan darah ke kaus kakinya sehingga kaus kaki putih itu jadi berbercak merah.

Alsa terus berjalan beberapa langkah, dan Ron tidak tahu harus berbuat apa. Tapi yang dia lakukan hanya memandangi Alsa yang berjalan semakin menjauh. Tiba-tiba saja Alsa yang berjalan terpincang-pincang itu berhenti dan berjongkok di tengah jalanan sempit itu. Ron langsung berlari ke arahnya, khawatir terjadi sesuatu padanya.

Tapi rupanya Alsa berjongkok dan hanya diam. Tidak menangis, tidak bicara, dan tidak berekspresi, cuma diam. Ron pun tidak bicara apa-apa, dia hanya ikut berjongkok di dekat Alsa dan menemaninya.

“Ron, kau tahu, selama ini aku salah. Maaf, kalau aku sudah membentakmu tadi. Tapi, aku benar-benar berpikir cowok yang lebih tua itu lebih dewasa, sehingga mereka akan lebih bijaksana dalam menjalin hubungan, tapi ternyata...” Air mata Alsa turun lagi.

Ron menepuk kepalanya sehingga Alsa mendongak dan memandang mata Ron lurus-lurus. “Kau tahu, terkadang kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari umur mereka. Semuanya itu tergantung dari bagaimana mereka berpikir mengenai hidup ini. Seseorang berumur sepuluh tahun yang sudah pernah kehilangan ayahnya mungkin lebih dewasa daripada seseorang berumur tiga puluh tahun yang belum pernah kehilangan satu orang pun.”

Alsa tidak percaya Ron bisa berkata seperti itu. Kata-katanya benar-benar mengena di hatinya. “Kau benar, Ron. Terimakasih.”

“Tak masalah. Kalau begitu, kau mau pulang sekarang atau terus berjongkok disini sampai pagi?”

“Kalau kau tidak keberatan, boleh aku minta digendong sampai ke mobil?”

“Tadi rasanya ada orang yang sengaja menolak ketika mau kugendong, tapi aku tidak begitu ingat orangnya...” sindir Ron, Alsa hanya bisa tertawa.

Ron mengantarkannya ke rumahnya dan bahkan menidurkannya di atas tempat tidurnya. Sementara Lola membersihkan luka-luka dan mengganti pakaian Alsa, Ron berbicara panjang lebar dengan Mrs Rays di ruang kerjanya, menjelaskan mengapa dia bisa membawa pulang putrinya dengan keadaan kacau balau begitu. Mrs Rays sudah nyaris pingsan ketika melihat Alsa digendong ke dalam tadi.

Saat Ron kembali ke kamar Alsa, gadis itu sudah nyaris tertidur karena sangat kelelahan. Dia lelah secara fisik dan mental. Tapi saat Ron berlutut di samping tempat tidurnya, Alsa membuka matanya sebentar untuk memberi tahu Ron kalau dia belum tidur.

“Apakah luka-lukamu masih sakit?” tanya Ron.

“Tidak.” Gumam Alsa tidak jelas.

“Kalau begitu istirahatlah,” bisik Ron sambil mengecup kening Alsa, “aku mencintaimu.” Tapi Alsa sudah keburu tertidur.

Beberapa menit kemudian, saat Ron belum juga pergi dari sisi Alsa, Alsa bermimpi mengenai masa kecilnya. Seorang anak cowok berambut cokelat jabrik dan bermata hijau membantunya mendaki sebuah pohon besar di belakang rumahnya, saat mereka berdua sampai di puncak pohon itu, dia sempat mengigau, “Ron, kurasa kau oke juga.”

Ron tidak begitu mengerti maksudnya, tapi dia tersenyum lebar sekali saat meninggalkan rumah keluarga Rays malam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun