"Waduh Le.. kok baru sampai? Orang-orang sudah pada nunggu dari tadi" ujar seorang perempuan paruh baya sambil menurunkan keranjang dari sepeda Arya.
"Maaf Mak Ijah... tadi bangun kesiangan"
Arya bocah sebelas tahun itu tampak ngos-ngosan setelah melaju kencang dengan dua keranjang sayuran disamping kanan dan kirinya. Seragam merah putihnya nampak basah oleh keringat.
Setelah meninggalkan dua keranjang bulat dari sisi sepedanya, ia harus mengayuh sekitar lima kilometer untuk sampai di sekolah. Mentari mulai bersinar terang, sambil memakai sepatu, mulut bocah itu komat kamit menghapalkan jumlah sayuran titipan para tetangga yang dijualnya di pasar.Â
Arya tidak mau menghabiskan buku tulis hanya untuk mencatat semua sayur mayur yang ia jual setiap harinya. Harus cari akal untuk menghemat pengeluarannya, dengan menghapalkan semua sayuran yang ia terima.
"Arya.. bisa ikut Ibu sebentar?" suara lembut Ibu Nafisha membuyarkan konsentrasi Arya. Ia hanya berjalan gontai, mengikuti langkah gurunya.
"Bagaimana kondisi Ibumu nak? Apakah sudah sehat?"
"Si Mbok masih sakit-sakitan Bu, dan tabungan Arya belum cukup untuk membayar SPP" ya, bocah itu seolah paham betul apa yang akan dibicarakan oleh gurunya.
Bu Nafisha hanya tersenyum, dalam hatinya menangis, melihat kenyataan murid kesayangannya harus menerima kenyataan hidup yang sangat keras. "Maaf, Ibu tidak bermaksud membuat Arya sedih" mengurungkan niat untuk menanyakan kesanggupan SPP yang sudah hampir 5 bulan belum terbayarkan.
"Jika ada waktu, mampirlah kerumah Ibu, kebetulan Ibu panen rambutan, kamu bisa ambil dan menjualnya sepulang sekolah nanti"
Wajah Arya berubah, menjadi ceria. Setidaknya ada uang tambahan yang bisa dia dapatkan. Bu Nafisha yang hanya seorang guru honorer pun tak mampu membantu banyak, pendapatannya pun sangat pas-pasan. Tidak mungkin bagi dirinya memberikan uang secara langsung, Â ia hanya membantu Arya agar bisa menambah pundi-pundi tabungannya.