Mohon tunggu...
Stefy Thenu
Stefy Thenu Mohon Tunggu... Jurnalis - I am moluccan and proud to be Thenu

Journalist, writer, organizer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Calon Perawat Itu Harus Kehilangan Kaki Kirinya....

11 Juni 2011   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh: Stefy Thenu

[caption id="attachment_115771" align="alignleft" width="604" caption="cacat fisik yang kini dideritanya, tak memupus cita-cita Tasya menjadi perawat..."][/caption] Anastasya Pietersz (20) masih tergolek lemah di tempat tidurnya. Raut wajahnya pun masih nampak pucat. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, kata-kata yang keluar dari bibirnya nyaris tak terdengar. Suaranya kerap tercekat, karena menahan sakit. Rasa sakit dari luka bekas operasi amputasi kaki kirinya, hingga kini belum juga hilang.

''Luka bekas operasi masih sering terasa sakit. Apalagi kalau malam, sakitnya sangat terasa,'' ujar Tasya, panggilan akrab Anatasya saat ditemui, Sabtu (11/6). Kejadian memilukan yang nyaris merenggut nyawa Tasya, terjadi pada Sabtu, 19 Maret silam. Saat itu, bersama rekan-rekan satu kampus, mahasiswi program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini, baru saja menghabiskan liburan malam minggu di Semarang. Saat akan kembali ke Salatiga, Tasya dan rekannya yang berboncengan dengan sepeda motor mengalami kecelakaan. Di sekitar kawasan Watugong, sepeda motor yang dikendarainya terpeleset ceceran oli di jalan, sehingga terguling. Rekan yang diboncengnya selamat karena terjatuh di sebelah kiri, sedangkan dia yang terjatuh di sebelah kanan langsung ditabrak truk kontener, yang berada di belakang mereka. Beruntung, dia lolos dari maut. Namun, kaki kirinya hancur terlindas truk. Tubuh Tasya yang pingsan, segera dilarikan ke RS Elisabeth Semarang. Dokter yang merawatnya menyatakan bahwa kaki kirinya tak bisa disembuhkan. Lukanya terbilang sangat parah dan menyebabkan infeksi sehingga jika tidak diamputasi, dapat mengancam nyawanya. Dengan berat hati, Tasya dan keluarganya akhirnya merelakan kaki kirinya diamputasi. Amputasi dilakukan hampir sekujur kaki kirinya. Mulai dari panggal paha hingga ujung kakinya terpaksa dipotong, karena sudah hancur dan membusuk. Sungguh, kenyataan pahit itu terpaksa harus diterimanya. Hatinya hancur berkeping-keping mengingat masa depannya nyaris hilang akibat cacat fisik yang dideritanya. Selama hampir tiga bulan, Tasya harus dirawat di rumah sakit. Keluarganya harus jauh-jauh datang dari Saparua, Maluku, untuk menjaga dan menemaninya di rumah sakit. Sudah ratusan juta rupiah dikeluarkan untuk biaya rumah sakit. Orang tuanya, Pieter dan Christina terpaksa harus menjual rumah mereka di Saparua. ''Biaya yang dihabiskan untuk keperluan biaya amputasi dan perawatan selama di rumah sakit mencapai Rp 180 juta. Ini masih belum cukup, karena masih ada biaya lagi yang harus dikeluarkan untuk check up rutin,'' ujar Uci Siahaya-de Fretes, salah seorang kerabat Tasya di Semarang. Menurut Uci, ayah Tasya kembali ke Ambon untuk menjual kembali salah satu rumah mereka di sana, untuk biaya lanjutan bagi kesembuhan putri semata wayangnya itu. Usai pulang dari rumah sakit, 9 Juni lalu, Tasya tidak kembali ke kosnya di Salatiga, namun dirawat di rumah Uci di Jalan Beruang Dalam I, Semarang. Calon perawat mahasiswi Ilmu Keperawatan angkatan 2009 itu, untuk sementara harus cuti dari kuliahnya, untuk menyembuhkan sakitnya. ''Saya rindu kembali ke bangku kuliah. Saya kangen teman-teman,'' ujarnya dengan suara lirih. Tasya merupakan anak tunggal pasangan Pieter Pietersz dan Christina Anakotta yang berasal dari Saparua, Maluku Tengah. Alumnus SMAN 1 Saparua itu dikenal sebagai anak pintar dan bercita-cita tinggi. Dia ingin menjadi perawat agar kelak setelah lulus dapat kembali ke kampung halamannya dan mengabdi dan melayani orang-orang sakit. Karenanya, setelah lulus SMA di tahun 2009, dia memutuskan kuliah di program studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW Salatiga. Namun, nahas, baru dua tahun menikmati bangku kuliah, kecelakaan itu terjadi. Nyawanya memang tertolong, namun masa depannya nyaris gelap. ''Dengan kondisi seperti itu, apa bisa dia melanjutkan kuliahnya. Saya benar-benar cemas dan khawatir,'' ujar Christina, sang ibu. Namun, dibalik kondisinya yang mengenaskan itu, semangat Tasya untuk tetap melanjutkan kuliahnya sangat kuat. Tekadnya menjadi seorang suster atau perawat berkualifikasi sarjana tetap berkobar-kobar. ''Saya masih ingin kuliah,'' ujarnya masih dengan suara amat lirih. Kini, orang tuanya dibantu para kerabatnya tengah mengupayakan dana untuk membuatkan kaki palsu bagi Tasya. Sembari memulihkan kesehatannya, dana untuk kaki palsu yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak kecil, dikumpulkan keluarganya bagi Tasya tercinta, bagi masa depannya.......(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun