Pada Minggu 21 Juli 2024 lalu, saya turut mengadiri undangan sebuah keluarga perantauan tou (manusia) Minahasa di Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Keluarga Jemmy Jacobus Mantouw-Solang asal desa Tataaran dan desa Sampiri di tanah Minahasa ini ikut-ikutan mengadakan acara Pengucapan Syukur tahunan yang hari itu diadakan di Minahasa (induk) yang beribukota Tondano di Sulawesi Utara.
Saya bertanya kepada tuan dan nyonya rumah apa bahasa makatana dari Pengucapan Syukur? Â Mereka juga tidak tahu, termasuk dua bapak yang masih paham bahasa Tataaran 2 (campuran bahasa sub etnik Tombulu dan Tondano) yg bersama saya berkunjung ke rumah tersebut.Â
Bagaimana dengan orang Minahasa sendiri bahkan yang didaku sebagai pejabat dinas kebudayaan, para intelektual dan ahli bahasa budaya Minahasa? Rasa-rasanya belum pernah saya mengetahui ada yg bisa memberi penjelasan.
Padahal kata SYUKUR sebagai sebuah kualitas batin sangat bermakna bagi orang beriman atau orang yang senantiasa terbuka pada yang maha ada dan segala kemungkinan tak terbatasnya dari perspektif manusia (terbatas), tentu mesti ada kata ungkapannya yang pas dan tepat dalam bahasa asali dari masyarakat yang mengadakan sebuah tindakan sosial komunal itu, dalam hal ini acara PENGUCAPAN SYUKUR, yang bahkan sekarang diatur oleh lembaga pemerintah dalam kerjasama dengan lembaga keagamaan yg sebelumnya tidak ada; diyakini bahwa tindakan sosial "pengucapan syukur" adalah warisan budaya masyarakat arkais sebelum agama kristiani dan pemerintahan modern datang dan mendominasi struktur dan tatanan budaya masyarakat Minahasa.
Merujuk pada Júrgen Habermas, filsuf Jerman yang berteori tentang asas dan kimiawi bahasa (dari pelbagai lintas ilmu), seorang budayawan dan filsuf Minahasa, Benni E. Matindas, dalam suatu seminar bedah buku Penguasa Dinasti Han dan Leluhur Minahasa tahun 2018 di Kalbis Institute, Jakarta, memberi komentar menarik tentang "tesis" atau temuan Weliam H. Boseke yang menyatakan bahwa bahasa Minahasa itu: asasinga hanya satu, berformat monosilabel (Han), dan bersifat klasik.
Kata klasik diusulkannya memakai terminologi 'etik', karena memang pembuktian Boseke menjadi sah dan masuk akal serta tak terbantahkan antara lain karena menyingkap demikian banyak kata dan ungkapan dalam bahasa Minahasa yang ternyata mengandung keterangan-keterangan atau bermakna filosofis etis.
Jadi, masih menurut para filsuf bahasa di atas, tindakan sosial manusia itu dari hulu sampai muara berdimensi etis, maka demikian juga pembentukan kata bahasa manusia itu berorientasi etikal apapun perbedaan komunitas masyarakatnya.
Nah terkait kata syukur atau lengkapnya pengucapan syukur itu, yg jelas teks dan makna bahasa Indonesianya. Lalu, apa padanannya dalam bahasa asli Minahasa? Tampaknya belum ada yang memberi jawaban tegas, seolah tidak ada kata penting yang bisa merekam tindakan sosial komunal mengucap syukur, yang jelas sangat bermuatan etik filosofis bahkan etik spiritual masyarakat Minahasa awal?
Temuan Boseke tentang bahasa Minahasa bersifat klasik etik itu turut menyingkap apa yang disebut Riedel tentang tabir 'rimbengbeng' (gelap) tentang puhuna (awal) dan budaya bahasa tou Minahasa, bisa membantu ahli pikir dan aktivis bersama semua lapisan dan pemangku kepentingan penggalian dan pelestarian budaya bahasa Minahasa, sesuai asali ada, menjadi, dan tujuan ultimnya "manusia hidup menjadi utuh sepenuhnya untuk menghidupkan manusia lain" (terjemahan monosilabel dan etik dari motto Minahasa: Si Tou Timou Tumou Tou: Manusia hidup untuk menghidupkan manusia lain).
Menurut Boseke dengan pendekatan monosilabel, makna literal dan filosofis aktivitas sosial 'pengucapan syukur' itu ditemukan dalam kata 'KAMBERU' yang dalam bahasa Han berarti 'menyampaikan syukur kepada Tuhan/yang dimuliakan paling tinggi'. Memang dalam arti kontemporer: 'nasi baru'.
Pengertian ini tentu nampak sudah bergeser makna, tapi masih bisa dilacak dan dijelaskan keterkaitannya, misalnya bila dilihat konteks aktivitas mengucap syukur itu adalah terkait panen baru, dalam hal ini panen padi gabah (wene = grain) sebagai hasil bercocok tanam untuk memenuhi sumber makanan (tikohon)Â terutama nasi (kan) yang untuk pertama kali setiap panen diolah menjadi kan weru (baru), yang mana secara istimewa tanaman sumber pangan ini diyakini dan diritualkan sebagai tanaman surgawi, karena berasal daru benih pemberian makhluk dewata/dewiti, maka sepantasnya dipersembahkan juga kepada sumber darimana tanaman itu pertama diperoleh atau berasal.#