Bahasa Minahasa itu Rumit nan Ajaib? Apa dan Mengapa Tergusur di Kampung Halamannya Sendiri?
Setelah memaparkan perlintasan bahasa-bahasa dunia (Portugis, Spanyol, Prancis, Belanda, Inggris), melalui bahasa Melayu-Manado, yang banyak sekali mempengaruhi bahasa masyarakat di Minahasa, Alif Danya Munsyi menilai ini dengan takjub penuh penasaran.
Mengapa bahasa Minahasa yang demikian rumit itu kemudian tersingkir oleh bahasa Melayu-Manado, yang berangkat dari bahasa sederhana (dan relatif baru), dan lantas menjadi janggal ketika di atasnya dibangun bahasa Indonesia: seperti bahasa Indonesia-nya Dayoh? (Alif Danya Munsyi, "Dayoh dan Potret Masa Lalu" dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa, KPG, Jakarta, 2005, hlm. 135 - 153.)
***
Sebelum melanjutkan jawaban atas pertanyaan sendiri dari sang penulis yang menyebut dirinya Munsyi ini, sebenarnya pertanyaan yang sama sudah lebih dulu diajukan oleh seorang pemerhati budaya Minahasa, sekitar tahun 1980.
Dialah Benni E. Matindas. Walau  lebih banyak di belakang layar, sekarang telah menjadi tulang punggung wacana dan argumen serta kritik substansial dan komprehensif sebuah realitas budaya Minahasa khususnya bahkan Indonesia yang tak lepas keterkaitannya dengan dunia luar -- seperti yang mulai nampak kelihatan dari karya tulisnya yang monumental Negara Sebenarnya (2005), dan terbaru dalam ratusan serial perenungan filsafat dan sejarah di channel Youtube.
***
Ada apa dengan Dayoh? Tepatnya M.R. Dayoh yg disebut di atas adalah generasi kedua Minahasa yang menuliskan pikiran dan perasaanya dengan menggunakan bahasa Melayu berhuruf Latin. Generasi pertama adalah Pangemanan.
Ada dua jawaban atas pertanyaan ttg fenomena yang dialami orang Minahasa, katakanlah direpresentasikan oleh Dayoh, -- di zaman  kesadaran awal berbangsa dan berbahasa Indonesia sampai kemerdekaan, dan sampai sekarang orang Minahasa relatif sudah banyak yang meninggalkan bahasa leluhurnya sendiri -- adalah sebagai berikut.
1. Pengajaran bahasa Melayu berhuruf Latin kepada orang2 Minahasa sejak paruh pertama sampai kedua abad ke-19, justru dilakukan oleh orang2 Jerman, yakni pendeta-pendeta Protestan yang bekerja di bawah NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap) dalam rangka memperkenalkan kitabsuci Kristen. Para pengajar bahasa Melayu dari Jerman itu harus dikatakan sangat "terbatas".
Dapat dimengerti kritik HB Jassin dalam pengantar buku puisi  Bunga Bakti karya MR Dayoh, walau dibungkus dengan pujian sebagai kreasi bahasa modern sebagai hasil pendidikan ala Barat, tapi jelas ada banyak kejanggalan bahasa Melayu yg dipakai Dayoh itu.
2. Penulis menyebut fenomena bahasa serba janggal ini disebabkan oleh masalah latar belakang bahasa asli Minahasa yang rumit itu. Juga penulis mengakui fakta ini sebagai sebuah keajaiban, untuk sebuah suku bangsa yang katakanlah primitif.