Banyak orang yang berusaha mencari-cari arti dan asal kata 'bolaang' dan 'mongondow' yang menunjuk pd wilayah dan penduduk di barat laut Minahasa dan timur Gorontalo sekarang yang sebelum era Reformasi adalah satu provinsi Sulawesi Utara.
Wilayah Nusa Utara sampai Gorontalo pernah menyebut diri dengan istilah 'bohusami', singkatan dari 4 nama etnis besar di wilayah provinsi Sulawesi Utara: BOlaang-Mongondow, HUlontalo, SAnger-talaud, dan MInahasa. Asimilasi sosial budaya bahkan biologis tak terhindarkan terjadi dalam pelbagai sikonnya, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Di lain pihak fragmentasi dan konflik terpendam rupanya tetap mengincar dan muncul mengganggu harmoni dan persaudaraan. Misalnya masih dalam masa pandemi ini pernah terjadi  peristiwa ketegangan dan  perdebatan dipicu oleh pementasan teater kisah legendaris "Pingkan-Matindas" versi Minahasa di ibu kota provinsi.Â
Contoh lain, diakui atau tidak, alasan ekonomi dan tentu sosial budayanya, bisa jadi penyebab fragmentasi yg makin besar maka Gorontalo akhirnya menjadi provinsi tersendiri. Mengapa  Bohusami menjadi tinggal Bosami, minus hulontalo (Gorontalo)?
Bagaimana dengan Bolaang Mongondow sendiri? mengapa Bolmong tidak ikut bergabung ke Gorontalo? Memilih atau terpaksa tidak bergabung? Faktanya, sekarang masih seprovinsi dengan tetangganya Minahasa bersama Nusa Utara. Posisi apa yang akan diambil dalam rangka tetap atau membuat provinsi Bolmong Raya yg pernah jadi wacana para elite politik?
Pencarian jawaban atas pertanyaan2 itu jauh dari maksud tulisan ini. Tapi mungkin kita bisa mulai mengenali latar belakang nama yang sekarang menjadi identitas penduduk di wilayah tersebut.
Ada penjelasan yang terkesan rai-rai atau asal tangka raba saja, istilah bahasa melayu-Manado, alias kurang meyakinkan bukti alasan yg diberikan. Sementara penjelasan resmi mungkin belum bisa diterima juga kepastiannya, adalah hal yang lumrah saja di Indonesia di mana banyak sekali catatan sejarah daerah bahkan nasional mulai dipertanyakan secara kritis bahkan terbukti tak logis dan tak cukup bukti bahkan keliru samasekali.
Salah satu dasar mendesak ya kriti sejarah adalah fakta bahwa penulisan sejarah dan penentuan sah tidaknya dibuat pada masa rezim otoritarianisme, yang melahirkan mentalitas 'asal bapak ibu atasan senang' dan 'kejar batas waktu proyek' pemerintah, dengan segala konsekuensi dan penilaiannya.
Kiranya arti dan asal usul nama berikut ini dan penjelasan dari Weliam H. Boseke layak didiskusikan dan diteliti lebih jauh lebih masuk akal dan mengandung kebenaran obyektif.
Dua kata itu berasal dari bahasa Minahasa tua yang berakar dalam bahasa Han. Dua kata itu berarti:
"wilayah tak punya pejabat (sehingga) datanglah orang2 dengan damai tanpa perlawanan."
Ini sejalan dengan bagian sejarah yang antara lain mencatat bahwa pemimpin wilayah itu pernah dijabat oleh seorang yg bernama Manopo, yang kemudian dibaptis menjadi Katolik di zaman Portugis dengan nama Jacobus.Â